Tadjuk Rentjana:
LANGKAH MODERNISASI P.N.I.[1]
Djakarta, ABADI
Dalam menjoroti Partai2 politik dalam post-Pemilu, kini tiba giliran diruangan ini, ditampilkan serba sedikit tentang2 Partai Nasional Indonesia-PNI.
Partai PNI merupakan Partai-Besar jang mengalami kekalahan paling menjolok dalam Pemilu; sehingga mengedjutkan banjak pengamat politik dinegeri kita maupun di luar negeri, Dalam pemilu jang pertama dulu, PNI keluar sebagai djuara nomor satu, sekarang terbalik sebagai djuru-kuntji diantara parpol besar.
Keadaan tersebut rupanja djuga mengedjutkan pemimpin PNI sendiri. Dan peristiwa itu telah memberikan kesan jang sangat dalam kepada keluarga besar Mahaenis sehingga tampak sekali ketjanggungan mereka dewasa ini ditengah2 masjarakat, chususnja dalam kegiatan politik.
Dalam pertemuan para pemuka PNI tidak menampakkan apa2 jang berarti sebagai pentjerminan kepribadian parpol tersebut jang sesungguhnja sudah punja tradisi lama serta sedjarah jang pandjang.
Kita tentu tidak tahu banjak tentang jang sebenarnja berdjalan dalam tubuh parpol itu sekarang. Tetapi sekedar sebagai pedoman atau pegangan barangkali dapat dipergunakan hal2 jang belum lama dibitjarakan oleh PNI dengan mengambil tempat dikota Medan, Sumatera Utara.
Pada pertengahan Agustus Jl. dilangsungkan musjawarah PNI disana dimana berkumpul pemimpin2 mereka dari daerah2 dan dihadir tokoh2 dari pusatnja seperti Moh. Isnaeni dan Prof. Sunawar Sukowati, Pertemuan itu mempergunakan thema “Modernisasi PNI” jang bertudjuan melakukan konsolidasi partai berhubung dengan kekalahan menjolok dalam Pemilu jl.
Dalam bidang2 tehnis atau organisatoris2 rupanja PNI sangat merasakan tekanan dan kerugian2 jang berat; sehingga berkesimpulan untuk segera menjempurnakan akdemisasi partai dan menertibkan sumber2 keuangan setjara terdjamin setjara prinsipil PNI harus mengubah struktur partai, termasuk tindakan2 untuk mengurangi ormas2 jang bernaung dibawah bendera Marhaenisme karena dirasakan tidak effisien.
Tapi dalam pola politik apa jang disebut “modernisasi” itu kiranja tidak terlalu modern djuga, dimana setjara strategis PNI menganut garis mempertahankan Pantjasila dan UUD ’45 dengan mendukung Dwi-Fungsi.
Terutama apabila diprojektirkan garis itu dengan pedoman idiil partai tersebut, sebagaimana jang diputuskan oleh komisi__ideologi berupa “Marhaenisme berdasarkan ketuhanan” Sosio__nasionalisme dan sosio-demokrasi”.
Mungkin langkah2 PNI itu akan dapat lebih dibatja dari pokok keterangan tokoh2 pusatnja dalam pertemuan tersebut, jang menjinggung hal2 jang menarik. Antara lain ditekankan bahwa PNI akan menggarap bidang pendidikan, karena hendak mendjangkau generasi muda lewat SD sampai Perguruan Tinggi. Sedang sebaliknja gerakan pamong-pradja akan mereka tanggalkan, karena tidak sanggup menghadapi adanja Kokarmindagri sekarang. Namun semangat PNI masih tersisa dalam tjetusan, bahwa itu sangat berminat dengan adanja sedjumlah puluhan pemilih jang masih mentjoblos tanda gambar PNI dalam lingkungan Departemen Hankam jang katanja perlu dibina terus.
Kesulitan PNI terletak pada ruang gerak parpol, jang walaupun rumusan resmi menjebutkan mendukung Dwi-Fungsi, tapi dalam penegasan2 tokoh2nja dalam permusjawaratan menamakan ABRI dan DWI-Fungsinja telah betul2 mempersempit ruang gerak parpol, sehingga dianggapnja Pemilu 1971 sebagai tidak mentjerminkan tjita2 bangsa menghadapi kesulitan tersebut, rupanja tidak ada pilihan bagi PNI selandjutnja, ketjuali harus membina bekas2 anggautanja jang sekarang bernaung masuk dalam Golkar.
Dari hal2 tersebut “modernisasi” rasanja belum mewudjudkan sesuatu jang sungguh2 segar, melainkan berupa usaha2 programatis belaka dari suatu golongan parpol jang menghimpun kaum True-bellevers.
Sebegitu djauh dengan demikian kita belum melihat sesuatu jang berarti jang bisa ditjapai PNI dalam Pemilu berikutnja. (DTS)
Sumber: ABADI (14/10/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 939-940.