Bogor, 17 Juni 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto
di Tempat
TAK ADA GADING YANG TAK RETAK [1]
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya anggota Pramuka yang sudah tidak aktif lagi karena mengurus rumah tangga. Saya dulu aktif di Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Seksi Protokol.
Di bagian Protokol inilah tahun 1991 saya bisa jabat tangan dengan Pak Harto dan almarhumah Ibu Tien untuk acara “ASPAC”. Ada rasa bangga yang begitu besar bersemayam di sanubari saya bahwa saya bisa jabat tangan dengan Presiden dan Ibu yang begitu saya kagumi. Bahkan sampai saat ini pun saya masih bangga dan sayang sama Pak Harto.
Walaupun terlambat, perkenankan saya untuk mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-77 Pak Harto tersayang. Semoga Bapak Pembangunan Indonesia kita diberi kesehatan dan ketabahan hati dalam menghadapi cobaan belakangan ini.
Waktu Bapak berhenti jadi Presiden, saya menangis sambil dipeluk oleh suami. Bapak saya lihat begitu tegar dan tenang waktu itu.
Pak, saya tidak suka dengan teman-teman yang berdemo, mencemarkan nama Bapak. Apakah mereka sudah lupa akan jasa Bapak selama memimpin bangsa ini? Seperti habis manis sepah dibuang ya Pak. Apalagi Bapak pernah mendapat penghargaan dari luar negeri seperti PBB. Saya sebal (tidak suka) dengan cara mereka. Reformasi boleh saja tetap jangan demo terus, saya bosan Pak.
Tak ada gading yang tak retak, setiap orang punya kesalahan, punya dosa. Bapak punya dosa saya pun punya dosa. Tapi orang menganggap Bapak harus seperti malaikat, bersih tanpa cela. Kalau Bapak yakin diri Bapak bersih maju terus pantang mundur, saya do’akan supaya Bapak segera terbebas dari siksaan dunia setelah mengabdi pada negara begitu lama, supaya Bapak lebih khusu’ dalam menjalankan ibadah. Kalau boleh saya mengusulkan, agar Bapak lebih tenang dalam mendekatkan diri kepada Allah, perbanyaklah Dzikir, Al Fatihah sehari 100 kali, Al Ikhlas sehari 100 kali, lebih dari itu lebih baik lagi.
Saya do’akan dari Bogor ya Pak. Maaf beribu maaf bila kata-kata saya ada yang dianggap terlalu kurang ajar atau lancang. Saya hanya bermaksud memberi dukungan mental supaya Bapak lebih tenang dan khusu’ dalam menjalani sisa hidup Bapak. Salam saya untuk keluarga Mbak Tutut dan Mas Tomy. (DTS)
Wabillahi taufiq wal hidayah
Wassalam
Ny. Tri Budiwati Parwini, SS
Bogor
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 638-639. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.