TAK SUKA RADIKALISME

TAK SUKA RADIKALISME[1]

 

Oleh: Redaktur Politik “Merdeka”

 

Jakarta, Merdeka

DALAM sejarah perjuangan politik Indonesia kita melihat adanya dua kekuatan ekstrim yang saling bertentangan, dan keduanya merupakan perjuangan kemerdekaan kita segala bidang.

Kekuatan ekstrim pertama ialah yang kita kenal sebagai ekstrim kanan dikepalai oleh kekuatan politik Partai Ekonomi, kemudian kekuatan ekstrim kedua kekuatan Politik PKI dan semua antek2nya kita kenal sebagai kekuatan ekstrim kiri, hakekatnya kedua kekuatan ekstrim yang bertentangan ini sama-sama merugikan negara dan bangsa serta merusak Pancasila.

Kekuatan politik ekstrim kanan ini diakhiri riwayat hidupnya di tanah air kita ini oleh Presiden Sukarno tahun 1960, dengan dibubarkannya partai Masjumi dan PSI yang waktu itu dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI PERMESTA tahun 1958.

Bubarnya Masjumi dan PSI ternyata memberikan kemujuran bagi kekuatan ekstrim lainnya yang dikepalai PKI, sehingga kekutan ini dapat berkembang secara licik, apalagi pada periode Nasakom dimana Presiden Sukarno waktu itu diberi angin pada mereka, sehingga saat pengkhianatan PKI September 1965. Dan proses penghancuran pemberontakan ini sendiri yang membawa akibat hancur dan dibubarkannya PKI sebagai satu kekuatan politik yang cukup berarti waktu itu.

Bubarnya PKI dan turun tahtanya Presiden Sukarno, menonjolkan kekuatan politik baru ditanah air, angin politik Pancasila dimana ABRI khususnyaAD memegang peranan penting, sesuai dengan tuntutan jaman dan keadaan.

Munculnya Orde Baru dengan ABRI sebagai pemegang peran utama, muncul pulalah tokoh Soeharto yang memang sejak semula sudah bergelimang perjuangan dibatang tubuhnya angkatan Darat sendiri.

Pengukuhan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia oleh MPRS Maret 1968, membuka jalan bagi lajunya perkembangan Orde Baru selanjutnya. Politik Soeharto sejak 1968 itu kita lihat menjurus kepada memupuk kekuatan eksekutif dibawah pimpinan Presiden sendiri dan bersamaan dengan itu dikukuhkan pula posisi ABRI dan GOLKAR sebagai landasan kekuatan pendukung utamanya.

Proses yang sistimatis selanjutnya mengarah kepada Pimpinan Presiden Soeharto yang memberi jaminan pada suasana stabil, baik dibidang politik maupun dibidang ekonomi keuangan. Ikutnya ABRI dalam permainan politik selanjutnya, pada hakekatnya bukanlah hal yang baru, sebagaimana juga masalah “Dwifungsi” ABRI yang belakangan ini begitu menonjol bukan merupakan soal baru bagi bangsa Indonesia, yang dalam sejarah perjuangannya menuntut kemampuan TNI untuk berdwifungsi.

Dalam revolusi fisik, periode 1945-1950 kita kenal lurah2 militer, wedana 2 militer dan bupati2 militer yang berjoang bahu membahu dengan rakyat didesa-desa, sementara pemimpin dan tokoh politik kita ada yang menyerah pada Tentara Belanda atau malah ada yang bekerjasama dengan penjajah Belanda didaerah2 yang mereka kuasai.

ABRI kita khususnya TNI Angkatan Darat waktu itu mau tidak mau harus berdwifungsi, mereka harus mengatur pemerintahan didesa-desa mereka harus mengatur masalah sosial dan politik disamping mereka harus bertempur melawan musuh sesuai dengan fungsinya dibidang pertahanan keamanan.

Kemudian ditahun 1957 pada saat negara dinyatakan dalam keadaan bahaya pada dasarnya ABRI kita menjalankan lagi dwifungsinya sebagai negara yang dituntut oleh keharusan sejarah waktu itu. Sehingga dengan demikian, apa yang sekarang ini kita kenal sebagai “Dwifungsi” ABRI bukanlah hal baru bagi rakyat kita.

Kita melihat sekarang ini bagaimana Presiden Soeharto menganggap “Dwifungsi” ABRI sebagai hal yang penting, dan bagaimana Presiden memberi hak bagi ABRI untuk berperan dibidang politik, walaupun ini cukup jelas batasnya sebagaimana yang diucapkan oleh Presiden dalam amanatnya didepan DPR-GR 16 Agustus 1969, bahwa ABRI disamping mempunyai hak untuk berperan didalam sistim politik ia tidak akan berkembang menjadi sebuah rezim diktatur militer.

DARI hal yang cukup jelas ini, kita pun melihat bagaimana Presiden Soeharto tidak suka pada radikalisme; yang secara mantap dan teguh menolak segala bentuk radikalisme. Rupanja Presiden Soeharto sangat menyadari betapa bahayanya segala bentuk radikalisme ditanah air kita ini, baik dari bentuk radikalnya Masjumi dengan idea pembentukan Negara Islam di Indonesia sampai kepada radikalnya PKI, dengan dia punya Marxisme – Leninisme yang dia mau tanamkan di Indonesia.

Keteguhan dan kemantapan Presiden Soeharto dalam menolak radikalisme dapat kita lihat dari sikap Presiden Soeharto yang dengan tenang dan penuh wibawa menolak emosi radikalisme yang luar biasa dari pendukung2 Soeharto sendiri, pada saat pendukung2 ini menuntut agar bekas Presiden Sukarno segera diseret ke pengadilan dan diperlakukan lebih parah lagi, dari apa yang telah dijalani oleh bekas Presiden itu.

Dalam menolak segala macam manifestasi radikalisme dibidang politik, ternyata Presiden Soeharto cukup bijaksana pula dengan usaha menjurus kearah penjinakan tingkah2 radikalisme ini.

Usaha Presiden Soeharto ini berhasil dan ini dapat dilihat dari bukti2 sejarah selanjutnya, dimana Jenderal Sumitro selaku Panglima Kopkamtib tidak musti harus menggunakan kekuatan yang ada padanya dalam melakukan-penindakan terhadap gejala2 radikalisme selanjutnya, seperti misalnya gerakan2 protes anti korupsi, gerakan anti Mini-project, gerakan Golput dan demonstrasi anak2 muda ke DPR yang pada hakekatnya merupakan demonstrasi dari sikap radikal.

Sikap radikal lainnya yang ditujukan pada tuntutan untuk membubarkan PNI, karena ada pemimpinnya yang terlibat Gestapu, ternyata juga mendapat layanan yang tegas dari Presiden Soeharto, dengan menolak membubarkan PNI, tapi membantu usaha membersihkan partai itu dari pimpinan yang harus dienyahkan dari tubuh PNI.

Sikap simpati Presiden Soeharto dalam masalah radikalisme ini diperlihatkannya pula dalam menghadapi “tuntutan” kekuatan sisa2 Masjumi yang ikut bergerak aktif mengganyang PKl/Gestapu untuk menghidupkan kembali Partai Masjumi.

Soeharto tidak memenuhi tuntutan ini, tapi memberi jalan bagi mereka, untuk menghimpunkan dirinya dalam wadah baru, yang kemudian dikenal sebagai Parmusi, dengan catatan, bahwa partai ini tidak akan dipimpin oleh ex pemimpin-pemimpin Masjumi.

Jelaslah disini bahwa politik Soeharto dalam membendung radikalisme adalah suatu kegiatan politik yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan sikap Presiden ini dapat dijadikan ukuran pula bahwa Presiden telah berhasil menjaga dan memantapkan kestabilan politik, yang merupakan salah satu syarat pula bagi mantapnya situasi yang serasi dalam melancarkan pembangunan.

Sungguh menarik perhatian kita pula bagaimana suksesnya Soeharto menolak radikalisme ini, yang sekaligus berhasil mengurangi jumlah partai2 ini dari 9 buah menjadi dua saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Pembangunan. Dua partai ini bersama GOLKAR telah memberikan bentuk baru penyederhanaan partai yang sekaligus memberikan wajah baru dari sistim kepartaian di Indonesia.

Dengan demikian kepemimpinan Soeharto menjadi lebih mantap lagi, baik kekuatan politiknya dibidang eksekutif yang dipimpin oleh Presiden sendiri, maupun kekuatan yang mendungkungnya dibidang legislatif.

Ini semua menjurus kepada telah berhasil menolak segala bentuk radikalisme, dan sekaligus membuktikan kemampuannya untuk memelihara kestabilan politik di tanah air, sehingga dengan demikian Presiden akan mengembangkan kekuasaannya secara efektif melaksanakan pembangunan bangsa dan negara untuk mencapai satu masyarakat yang adil dan makmur.

Jakarta 15 Oktober 1973. (DTS)

Sumber: MERDEKA (23/10/1973)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 338-341.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.