Negara dan Bangsa Hanya Sebaik Pemimpinnya[1]
Oleh: Tanri Abeng[2]
Sebagai manajer puncak sebuah negara-bangsa, Pak Harto memiliki kombinasi kemampuan manajerial yang hebat dengan kepiawaian memimpin. Tidak banyak pemimpin yang memiliki kompetensi ini. Ada yang pandai memimpin tetapi manajemennya kacau, atau sebaliknya ada yang menguasai manajemen tetapi kepemimpinannya lemah.
Kemampuan Pak Harto sebagai manajer puncak dibuktikannya sejak awal ia mengambil alih kepemimpinan republik ini dari Bung Karno. Ketika itu kondisi sosial, politik, dan utamanya ekonomi, demikian parahnya. Kelangkaan pangan, inflasi yang tidak terkendali pada kisaran 600%, nilai rupiah yang terus merosot, suku bunga yang tinggi, dapat dikendalikan Pak Harto dalam waktu relatif singkat.
Di Antara Dua Pilihan
Pada saat itu Pak Harto dihadapkan pada dua pilihan, apakah harus berbenah dulu baru membangun atau membangun dulu baru berbenah?. Ternyata Pak Harto mampu melakukan keduanya dalam waktu bersamaan, sehingga pada periode pemerintahannya yang pertama telah terjadi proses turn-around, khususnya di bidang ekonomi. Ini bisa dicapai karena Pak Harto menempatkan skala prioritas dari sekian banyak tugasnya yang mendesak. Juga karena kemampuannya mengambil keputusan yang cepat, dan ia memiliki sense of urgency yang tinggi.
Sebagai pemimpin, Pak Harto mempunyai visi yang jelas dan sangat jauh ke depan. Ini disertai kemampuannya menerjemahkan visi ke dalam strategi untuk dilaksanakan oleh orang-orang yang dipilihnya. Misalnya visi pembangunan jangka panjang 25 tahun yang dijabarkan ke dalam 5 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), kemudian mampu dioperasionalisasikannya ke dalam Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN).
Bagi seorang yang sama sekali tidak memiliki latar belakang akademis, pemikiran, konsep, dan wawasan jangka panjang Pak Harto dalam membangun negara-bangsa, sangatlah luar biasa.
Vision, Value, Courage
Saya melihat Pak Harto bukan saja pemimpin secara politis. lebih dari itu, ia memiliki kualitas negarawan. Negarawan berfikir jauh ke depan —yang mereka pikirkan adalah generasi mendatang, bukannya pemilu mendatang (ciri khas politisi). Dalam khazanah kepemimpinan, ada tiga hal yang harus dimiliki seorang pemimpin. Yang pertama adalah vision; Pak Harto mewujudkan visinya dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang masuk dalam newly industrialized nation, dengan berswasembada pangan. Yang kedua adalah value, integritas dan motivasi untuk memberikan yang terbaik bagi negara-bangsa. Hal ini terefleksi dari pikiran dan tindakannya. Yang ketiga adalah courage, Pak Harto berani mengambil keputusan dengan cepat, dan mengangkat orang-orang yang tepat. Ia mendelegasikan tugas dan kewenangan, namun tetap memikul tanggung jawab sebagai pemimpin puncak.
Sebagai kepala negara, Pak Harto sangat memperhatikan detail, suatu kelebihan yang juga dimiliki Bung Karno. Karena ia juga seorang yang berpartisipasi secara aktif dan fokus, Pak Harto mampu berdialog dengan siapa saja, mulai dari petani, nelayan, pegawai negeri, hingga orang-orang di level tinggi dan tertinggi, termasuk kepala lembaga tinggi negara.
Gairah Terhadap Pekerjaan
Karakteristik menarik lainnya, Pak Harto sangat bergairah melakukan pekerjaannya. Ia melaksanakan tugas kepresidenan bukan sekedar sebagai hasil dari pelaksanaan tanggung jawab, melainkan lebih karena gairah dan cinta kepada pekerjaannya. Pak Harto telah menggabungkan unsur-unusr manajemen seperti pengetahuan, ketrampilan, dengan keterikatan emosional, sehingga ia mampu melakukan perubahan negara bangsa dalam waktu yang relatif singkat.
Saya pernah membaca pengakuan Pak Harto yang dituangkan dalam bukunya, “Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya“, bahwa jika sedang di rumah ia memikirkan tentang pembangunan, di kantor ia melaksanakan apa yang dipikirkan, dan pada waktu senggang Pak Harto merenungkan kembali apa yang telah dilakukannya. Bagi saya ini menarik, karena di situ Pak Harto mengevaluasi sendiri semua pekerjaan yang telah dilakukannya.
Dalam perspektif kepemimpinan, hal yang menarik lainnya adalah kepiawaian Pak Harto memilih pembantu-pembantunya (mulai dari menteri sampai dengan kepala daerah). Sejak awal pemerintahannya, tidak seorangpun dari mereka yang tidak kompeten, maka selama pemerintahan Pak Harto tidak pernah terjadi reshuffle kabinet (red=kecuali pada kabinet Pembangunan I, saat awal-awal memerintah).
Sebuah organisasi, bahkan negara-bangsa, hanya akan sebaik pemimpinnya, tetapi pemimpin juga hanya akan sebaik orang-orang yang dipilihnya.
Dari Negara Miskin Jadi Negara Berkembang
Pak Harto mampu membentuk tim yang kompeten dan solid, maka karena itulah beliau mampu melakukan transformasi negara-bangsa dari negara miskin menjadi negara berkembang menuju lepas landas pada akhir kepemimpinannya. Pak Harto adalah seorang pembelajar yang merupakan karakteristik seorang profesional. Ia mampu menyerap dan mengembangkan gagasan dari berbagai sumber untuk selanjutnya dituangkan dalam visi kepemimpinan, kemudian dikomunikasikan dan di delegasikan kepada pembantu-pembantunya. Ini yang menjadikannya sebagai manajer puncak yang efektif. Perpaduan dari legitimasi, keahlian, karisma, dan gairah dalam bekerja itulah yang membuat Pak Harto menjadi seorang pemimpin yang lengkap.
Dalam perspektif manajemen, Pak Harto telah mampu melakukan dua transformasi besar. Dalam buku saya “Dari Meja Tanri Abeng: Gagasan, Wawasan, Terapan dan Renungan” yang saya tulis 1997 —sebelum Indonesia dilanda krisis— saya memberikan dua catatan proses transformasi yang dilakukan Pak Harto. Pertama, ia mampu membawa Indonesia dari negara miskin dengan pendapatan per kapita 60 dolar AS, menjadi negara dengan pendatapan 1.300 dolar AS atau setara dengan 5.000 dolar AS dalam ukuran daya beli.
Pak Harto membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1985. Manajemen pembangunan untuk semua sektor telah tersistem melalui GBHN. Ini kemajuan yang luar biasa dalam perspektif kepemimpinan manajemen.
Minum Teh Berarti Pamit
Pertengahan 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi. Januari 1998 Pak Harto menandatangani Letter of Intent (LoI) untuk bail-out utang luar negeri. Direktur IMF ketika itu, menyaksikan penandatanganan dengan berlipat tangan dan mimik yang angkuh. Usai menandatangani LoI, pada pertemuan dengan wartawan, Presiden Soeharto menyatakan “Saudara-saudara jangan khawatir dengan utang, kita masih memiliki banyak BUMN.”
Seminggu setelah itu, saya yang pernah menulis kata pengantar untuk buku “Manajemen Presiden Soeharto” dipanggil ke Bina Graha. Tentu saja saya bertanya-tanya dulu bagaimana sebaiknya menghadapi Pak Harto. Pak Moerdiono, Mensesneg ketika itu yang cukup saya kenal, menyarankan agar saya melihat-lihat mimik wajah Pak Harto. “Beliau bisa saja tidak setuju, tetapi tidak kelihatan bahwa tidak setuju,” kata Pak Moer. “Dan jika Pak Harto menyarankan untuk minum teh, berarti sudah waktunya Anda berpamitan.”
Ternyata hanya ada saya dan Pak Harto dalam pertemuan itu. Inti pembicaraan kami, Pak Harto meminta saya membuatkan konsep untuk meningkatkan nilai dari 158 Badan Usaha Milik Negara.
Pemberdayaan BUMN
Upaya meningkatkan keuntungan BUMN harus dilakukan untuk menciptakan nilai BUMN, sehingga pada saat BUMN memiliki nilai yang tinggi dapat dijual sebagian untuk membayar utang luar negeri. Saya menangkap visi Pak Harto secara jelas, bagaimana BUMN diberdayakan sehingga dapat digunakan untuk membayar utang luar negeri. Sebagai seorang yang sama sekali tidak berpengalaman sebagai birokrat, saya pontang-panting kurang lebih selama tiga minggu untuk mencari data dan bahan yang diperlukan. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam korporasi, bagi saya masalahnya sederhana, visi pendayagunaan sudah saya tangkap, tugas selanjutnya adalah merumuskan strategi dan membentuk tim sebagaimana biasa saya lakukan di perusahaan.
Tiga minggu kemudian saya sampaikan konsep pendayagunaan BUMN dengan mengajukan alternatif kepada Pak Harto. Saya mengusulkan agar BUMN dikeluarkan dari jalur birokrasi, biar berdiri sendiri saja. Kemudian semua BUMN disatukan dalam national holding company yang dibagi menjadi beberapa sektor, misalnya sektor industri, sektor pertanian, dan lainnya. Dengan begitu akan diperoleh skala usaha, kecepatan respons, kecerdasan usaha, dan proses bisnis internal yang tepat. Saya jelaskan kepada Pak Harto, “Melalui pendirian national holding company, maka nilai BUMN kita bisa lima kali lebih besar dari Temasek.” Itu strategi pemberdayaan yang selama ini biasa saya terapkan dalam perusahaan multinasional maupun perusahaan swasta.
Pak Harto membaca konsep yang saya usulkan sambil manggut-manggut disertai senyum yang khas, ia mengatakan, “Bagus,” lantas memasukkan berkas konsep saya ke dalam laci meja kerjanya. Kemudian Pak Harto mempersilakan minum teh, yang berarti pertemuan selesai.
Saya “Delegasikan” Ke Pak Harto
Tidak lama setelah itu Pak Harto membentuk Dewan Pemantapan Ekonomi dan Keuangan yang tujuannya agar proses pemulihan krisis ekonomi dan keuangan dapat segera dilaksanakan. Anggotanya Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Bappenas, Gubernur BI, dan saya –satu-satunya profesional. Kami bekerja sangat keras di tengah-tengah krisis itu, antara lain untuk mengatasi nilai tukar rupiah yang menurun dari Rp. 2.300 menjadi Rp. 15.000 per dolar AS.
Sementara itu pergantian kabinet akan segera dilangsungkan. Ramai dikabarkan bahwa banyak orang sedang berdebar-debar menanti telepon dari Pak Harto, yang akan menugaskan mereka sebagai salah satu menteri di kabinet baru. Hal itu bahkan sering dijadikan sebagai bahan canda. Tiga hari menjelang pelantikan kabinet baru, saya termasuk yang tertimpa hal itu.
Waktu itu Minggu sore, saya menyetir sendiri dan bersiap akan main tenis. Mendadak ponsel saya berdering. “Ini Ajudan, sebentar Bapak Presiden mau bicara,” kata suara di seberang.
Segera saja saya mengira itu olok-olok teman-teman main tenis saya. Namun belum lagi selesai saya menjawab, sudah terdengar suara Pak Harto yang khas, “Saudara Tanri Abeng bisa membantu saya di kabinet yang akan datang?”.
Saya terkesima, tidak ada jawaban lain kecuali, “Siap Pak”.
Menyadari saya akan memasuki lingkungan baru dan ranah politik yang saya belum kuasai, ketika menghadap Pak Harto dua hari setelah dilantik sebagai menteri, saya pun mengemukakan kepada beliau, “Pak, saya mengerti bagaimana mengelola badan usaha. Tetapi keluarga khawatir karena saya sama sekali tidak mengerti politik. Kalau nanti ada urusannya berkait dengan politik, saya ‘delegasikan’ kepada Bapak saja ya,” ucap saya polos.
Pak Harto tertawa mendengarnya. “Ya, nanti kita bekerja sama,”, jawabnya.
Ketika hal itu saya ceritakan kepada teman-teman, mereka bertanya ulang, benarkah Pak Harto tidak marah ketika mendengar saya berniat “mendelegasikan” urusan politik kepadanya? Tentu saya katakan yang sebenarnya, “tidak.”
Maka teman-teman pun berasumsi, “Pak Harto tidak marah karena kamu bukan orang Jawa.”
Beberapa hari kemudian saya mendapat kiriman buku dari Pak Harto, judulnya “Butir-Butir Budaya Jawa“. Buku itu berisi butir-butir falsafah Jawa yang dinasehatkan Pak Harto kepada putra-putrinya.
Tonggak Sejarah Baru
Semula, untuk mengurangi birokrasi BUMN, dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 12-1998 yang mengatur pembinaan BUMN dipusatkan di bawah satu tangan yaitu: Departemen Keuangan. Dengan demikian dualisme pembinaan BUMN, yang selama ini dilakukan oleh menteri teknis selaku kuasa pemegang saham dan menteri keuangan selaku pemegang saham, dihilangkan. Melalui peraturan pemerintah tersebut wewenang pengelolaan BUMN yang tadinya terdapat pada 17 departemen teknis dipusatkan kepada menteri keuangan.
Langkah strategis tersebut diperbaiki kembali dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 50-1998 yang menetapkan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan selaku pemegang saham dialihkan kepada Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pengelola BUMN. Inilah landasan pembentukan Departemen Pendayagunaan BUMN, sebuah tonggak sejarah baru dalam ekonomi politik bangsa. Tujuan pertama kebijakan ini adalah memisahkan fungsi regulasi dengan fungsi operasional dari BUMN, dan kedua untuk memungkinkan pembinaan operasional BUMN untuk menciptakan nilai yang terfokus pada sebuah instansi setingkat kementerian.
Harapan Besar di Masa Krisis
Selama saya bekerja sama dengan Pak Harto, beliau tidak pernah marah. Saya malah merasa menjadi anak emasnya. Dalam waktu singkat —Maret hingga Mei 1998 saat Pak Harto meletakkan jabatan— lima kali saya bertemu beliau secara empat mata.
Saya pun penuh semangat mengurus kementerian, walaupun kantor kami berupa pinjaman dua ruangan di Bappenas oleh Pak Ginanjar Kartasasmita. Saya tidak mau cengeng soal fasilitas, maka gaji staf dan anak buah saya penuhi sendiri. Yang penting buat saya, kami bisa bekerja secepatnya dan sebaik-baiknya. Saya tahu benar besarnya harapan Pak Harto kepada kami di masa krisis itu.
Pak Harto mempercayakan saya untuk memilih tim sendiri. Saya menggabungkan orang-orang dari berbagai unsur. Marzuki dan Bercelius Ruru dari birokrat, Herwidayatmo dari regulator, Sofyan Djalil dari akademisi dan teknokrat, Setyanto dan Cahyana dari BUMN, Jenderal Mulyadi dari militer, serta dari swasta saya mengajak Markus Permadi, seorang bankir yang diterima luas oleh pasar.
Pak Harto menyetujui dibangunnya suatu sistem yang memungkinkan privatisasi berlangsung secara kredibel, kompetitif, dan transparan. Saya menjamin sistem itu tetap bisa digunakan selamanya. Konsultannya diambil dari World Bank, Asian Development Bank, sehingga selesai dalam waktu tiga bulan. Jika sistem baru telah digunakan, dari privatisasi itu akan diperoleh nilai jual yang sangat tinggi.
Sementara kami bekerja, IMF terus menerus menekan pemerintah agar privatisasi segera dilaksanakan. Sebaliknya, saya juga bersikeras mengatakan kepada IMF, tidak akan melaksanakan privatisasi hingga sistem baru kami terealisasi.
Gugup di Pertemuan Ketiga
Pada pertemuan empat mata kedua dengan Pak Harto, ketika saya hendak pulang, beliau memberikan sebuah map. “Ini tentang Garuda yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya,” kata beliau. “Tugas Saudara menyelamatkannya agar Garuda tidak di-grounded, karena Garuda membawa Bendera Republik.”
Saya mempelajari berkas itu di dalam mobil. Ternyata sudah tujuh tahun Garuda Indonesia merugi. Selama itu kerugian ditanggung maskapai penerbangan nasional itu ditutup dengan utang dolar. Kondisinya menjadi sangat parah ketika nilai tukar rupiah meroket menjadi Rp. 15.000 per dolar AS. Itulah yang terjadi, di hari kelima saya bertugas sebagai praktisi manajemen di bawah kepemimpinan Pak Harto, saya sudah harus membenahi kemelut yang begitu kompleks di ranah kerja orang lain.
Perusahaan adalah sebaik pemimpinnya —prinsip manajemen yang satu ini melintas di kepala saya. Data-data dari berkas di tangan saya memperlihatkan tidak satupun dari direksi Garuda Indonesia saat itu yang tahu duduk persoalannya. Maka seluruhnya haris diganti !
Saya kembali ke kantor yang masih menumpang di Bappenas membicarakannya dengan Marzuki Usman dan Ruru. kami mempunyai pandangan yang sama, namun ada usulan untuk tidak mengganti dirutnya. Beliau itu mantan ajudan Pak Harto yang baru saja ditempatkan di sana. Konon tidak ada yang bisa menggeser mantan ajudan yang ditugaskan Pak Harto di suatu tempat.
Namun situasinya saat itu mengharuskan saya memilih seorang praktisi yang kompeten dan disukai pasar. Saya memutuskan mengambil risiko itu. Terus terang saya gugup pada pertemuan empat mata ketiga dengan Pak Harto, tetapi ini harus cepat. Saya kemukakan usulan pembenahan Garuda Indonesia selengkapnya kepada beliau.
Pak Harto mendengarkan, kemudian ia tersenyum dan mengatakan, “Mengapa hanya dirutnya? Diganti seluruh direksi, di situ sudah lama ada mafia.” Hari itu juga Pak Harto menyetujui penggantian Dirut Garuda.
Minta Satu Diberi Sepuluh
Memilih pengganti Dirut Garuda sepenuhnya diserahkan Pak Harto kepada saya. Begitu juga tim yang akan membantu dirut baru itu nanti. Hari itu saya merasa seperti seorang anak yang meminta satu kepada ayahnya, tetapi diberi sepuluh. Saya mengajukan satu nama, Robby Djohan, seorang bankir dengan reputasi sangat cemerlang pada masa itu. Saya pikir, untuk mendinginkan para kreditur Garuda waktu itu, diperlukan seorang bankir yang kredibel. Dia harus seorang yang tahu, tegas, keras, jelas, dan tidak ada KKN.
Robby sendiri mengajukan syarat, dia harus dibolehkan memilih sendiri anggota direksinya. Robby kaget ketika saya mengiyakan. Mungkin dia pikir, hebat sekali menteri yang satu ini —padahal Pak Harto memang telah memberikan kewenangan itu sebelumnya kepada saya.
Saya pikir, Pak Harto akan menerima saran-saran yang diajukan para pembantunya selama itu didasari oleh pemikiran yang jujur, ikhlas, dan semuanya demi kepentingan bangsa. Pak Harto itu memberlakukan teori manajemen: memilih orang yang kompeten, memberikan kepercayaan, dan mendelegasikan tugs-tugas.
Robby kemudian menarik Emirsyah Satar yang sedang bertugas di Cabang Bank Niaga di Hong Kong, untuk menjadi direktur keuangan. Ia memberlakukan prinsip manajemen yang lain: sebagai pemimpin, Anda adalah sebaik yang dipimpin.
Tanpa Intervensi
Kemudian terjadilah sesuatu yang belum pernah terjadi di negeri ini, departemen saya mengambil alih 158 BUMN dari 17 departemen lainnya. Berhadapan dengan 17 menteri, saya ingat kata-kata Pak Harto sebelumnya, “Saudara sekarang menteri. Saudara itu kalau tidak menjadi menteri, tidak bisa duduk selevel dengan tujuh belas menteri yang lain. Ini posisi politik yang akan membantu Saudara bekerja dengan penuh wibawa.”
Dari berkas Garuda Indonesia yang diberikan Pak Harto, saya mengetahui bahwa anak-anak Presiden juga mempunyai bisnis di situ. Tetapi sama sekali tidak ada protes dari Pak Harto dan anak-anaknya ketika efisiensi yang kami lakukan berdampak kepada perusahaan putra-putri tersebut. Di sini Pak Harto memberlakukan salah satu prinsip manajemen secara konsekuen: menugaskan saya menyelamatkan Garuda dan memberikan kewenangan penuh terhadap pelaksanaannya, tanpa intervensi.
Kenapa Orang-Orang Berbicara Lain?
Persentuhan dengan perusahaan milik putra-putri Pak Harto juga terjadi menjelang pelaksanaan privatisasi Semen Gresik yang begitu banyak peminatnya dari berbagai lembaga keuangan. Ketika saya menanyakan hal itu, tanpa berfikir lagi, dengan tegas Pak harto mengatakan, “Lakukan yang terbaik untuk negara.” Tidak ada satu pun kata Pak Harto yang memberi peluang kepada keluarganya untuk diberi perlakuan khusus.
Merinding saya mendengarnya. Terlintas pertanyaan di hati saya. “Kenapa orang-orang berbicara lain?”. Namun jawaban tegas Pak Harto itu membuat saya merasa tidak perlu bertanya lagi.
Oktober 1998, setelah berproses selama enam bulan, privatisasi Semen Gresik menghasilkan harga 126% atas harga pasar. Sayang ketika itu Pak Harto bukan Presiden lagi, ia tidak merasakan langsung hasil dari kepercayaan besar yang diberikan kepada saya. Proses privatisasi BUMN telah menuai hasil yang fantastis, 1 miliar dolar AS dengan kompensasi harga yang fantastis. Tidak ada penjualan saham di atas 14% sehingga negara tetap menguasai mayoritas (kontrol) BUMN-BUMN tersebut.
Tidak Menikmati Keberhasilannya
Sebagai penggantinya, Presiden Habibie tinggal mengikuti semua yang telah diputuskan oleh Pak Harto. Pada akhir masa pemerintahan Pak Habibie, di tahun 1999 kita sudah mampu mengatasi gejolak perekonomian dengan pulihnya nilai tukar menjadi Rp. 6.700 per dolar AS. Inflasi yang semula 77% turun menjadi 3%, bunga bank yang 60% tinggal 16%, pertumbuhan ekonomi yang minus 14% menjadi nol.
Sungguh sangat saya sesalkan Pak Harto tidak merasakan langsung semua keberhasilan itu, yang berawal dari setrategi yang dilaksanakannya pada akhir masa pemerintahannya yang penuh guncangan. Strategi Pak Harto yang tetap relevan untuk menyelamatkan perekonomian negara di masa krisis itu.
***
[1] Penuturan Tanri Abeng sebagaimana dikutip dari Buku “Pak Harto The Untold Stories”, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 198.
[2] Tanri Abeng, merupakan Menteri Negara BUMN Republik Indonesia yang pertama, lahir di Selayar, 7 Maret 1942. Malang melintang menimba ilmu di Amerika Serikat, di usia 29 ia menjadi Direktur sekaligus Coorporate Secretary termuda sebuah perusahaan asing dan berkedudukan di Singapura. Ia meraih doktor Ilmu Multidisiplin di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dengan predikat cumlaud. Ia pernah menjadi komisaris PT Bursa Efek Jakarta, dan Komisaris Utama PT Telkom. Kini ia juga menjabat host program “Managing The Nation with Dr. Tanri Abeng” di Metro TV.