TELITI KEMUNGKINAN PENGHAPUSAN PROGRAM BIMAS MULAI TAHUN DEPAN
Petani Sudah Lebih Mampu Sejak Bimas Mulai 1965
PRESIDEN SOEHARTO:
Presiden Soeharto memberi petunjuk kepada Departemen Pertanian dan instansiinstansi lain yang bersangkutan untuk meneliti kemungkinan penghapusan program Bimas (Bimbingan Massal) di bidang produksi padi mulai tahun depan.
Petunjuk Kepala Negara itu disampaikan dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin di Bina Graha, Rabu kemarin. Hadir dalam sidang Wakil Presiden/Pengawasan Pembangunan Umar Wirahadikusumah
Menpen Harmoko kepada pers selesai sidang menjelaskan, Presiden Soeharto memberi petunjuk bahwa produksi padi yang dihasilkan melalui program Intensifikasi Massal (Inmas) maupun Intensifikasi Khusus (Insus) cukup memberikan hasil.
Jumlah produksi padi melalui program Inmas dan lnsus, terus meningkat. Produksi tahun 1984 misalnya, diramalkan sekitar 25.047.000 ton atau naik sekitar 4,5 persen dari tahun 1983.
Peningkatan produksi tersebut menurut Kepala Negara tidak lain karena adanya kesadaran dan keyakinan petani terhadap program intensifikasi. Untuk itu di masa datang program intensifikasi itulah yang perlu dikembangkan terus.
Sementara itu, kata Harmoko, peserta Bimas sendiri sekarang ini sudah menurun sekali. Ini menunjukkan bahwa para petani telah memiliki sarana produksi (saprodi) sendiri dan mampu menggunakannya.
Dengan kenyataan-kenyataan inilah Presiden Soeharto memberi petunjuk untuk meneliti kemungkinan penghapusan Bimas padi mulai tahun depan.
Para petani yang kurang mampu dan belum memiliki sarana produksi sendiri dan masih memerlukah bantuan masih akan dibantu melalui KUD (Koperasi Unit Desa).
Tunggakan Kredit Bimas?
Ditanya, apakah dengan dihapuskannya program Bimas nanti berarti tunggakan kredit Bimas yang belum dikembalikan akan diputihkan, Menpen Harmoko mengatakan, termasuk masalah inilah yang akan diteliti sesuai petunjuk Presiden.
Menmud Urusan Peningkatan Produksi Pangan Ir.Wardoyo beberapa waktu lalu mengemukakan sejak berlakunya program Bimas tahun 1970/71, sudah diberikan kredit sebesar Rp 800 milyar lebih. Dari jumlah ini yang masih ditunggak oleh petani dan non petani sampai akhir Juni lalu sebanyak Rp 185 milyar.
Semula banyak sekali petani yang menunggak pengembalian kredit Bimas. Namun dengan inventarisasi oleh Tim Inpres 10 Tahun 1980 yang dipimpin Sesdalopbang Solihin GP, sekitar 45 persen kredit Bimas yang macet selama itu dapat dikembalikan sehingga sekarang tinggal Rp 185 milyar lagi.
Beberapa daerah yang masih mempunyai jumlah tunggakan yang cukup besar antara lain Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Selatan dan beberapa propinsi di Kalimantan serta Sulawesi.
“Kita harus bekerja keras agar kredit Bimas itu dapat dikejar secepat mungkin,” kata Wardoyo akhir Juni lalu.
Selain karena berhasilnya program Inmas dan Insus, sementara jumlah peserta Bimas sendiri sudah menurun tajam, Menpen Hannoko dalam keterangannya kemarin tidak menyebutkan, apakah masalah tunggakan kredit Bimas tersebut merupakan salah satu pendorong untuk menghapuskan program Bimas.
Juga tidak disebutkan, apakah kemungkinan penghapusan itu didasarkan keinginan mengarahkan dana yang ada sekarang untuk menunjang pembangunan di sektor lain.
Beberapa sumber yang mengetahui mengatakan, dana yang tersedia pada pemerintah sekarang cukup terbatas sehingga pemberian kredit Bimas perlu dialihkan. Apa lagi mengingat banyaknya tunggakan yang belum dibayar, sementara program Inmas dan Insus sudah cukup mendorong usaha produksi pangan di tanah air.
Tak Ada Hubungannya
Tetapi Sesdalopbang Solihin GP yang juga Ketua Tim Inpres 10/800 tentang pengembalian kredit program massal mengatakan, penelitian untuk menghapuskan program Bimas padi sama sekali tidak berhubungan dengan banyaknya tunggakan yang dialami sekarang ini.
Penghapusan itu semata-mata berkaitan dengan keberhasilan petani menerapkan panca usaha pertanian dengan baik, sehingga pendapatan meningkat. Berbagai pengetahuan petani juga sudah lebih baik dibanding saat program ini dilaksanakan di tahun 1965, sehingga petani mampu mengikuti program Inmas, lnsus, dan meninggalkan Bimas.
Meski demikian, lanjut Solihin, dalam perjalanan penerapan program Bimas terdapat gejala kurang sehat. Sistem target telah menimbulkan areal fiktif, dan aparat pelaksana Bimas “tidak steril” sebagai pelaksana yang membantu petani. Akibatnya petani tidak bergairah, dan di sisi lain akibat areal fiktif tunggakan Bimas membengkak.
“Namun penelitian dan kemungkinan penghapusan program Bimas sama sekali tidak ada hubungannya dengan tunggakan kredit. Petani sendiri kini banyak yang sudah beralih ke Inmas atau Insus, karena kemampuan dan pengetahuan mereka telah bertambah,” kata Solihin yang dihubungi lewat telepon tadi malam.
Mengenai pengembalian kredit, Ketua Tim Inpres 10 ini mengatakan, pihaknya belum merasa puas dengan keadaan sekarang karena keamanan kredit belum terjamin. Padahal program perkreditan akan semakin meluas sehingga dibutuhkan suatu landasan yang sehat bagi keamanan penyaluran dan pengembalian kreditnya.
Tidak Menjadi Masalah
Bekas Menteri Pertanian, Prof. lr. Soedarsono Hadisaputro juga menilai, dihapuskannya program Bimas padi tidak menjadi masalah. Karena penghapusan itu bukan berarti tertutupnya kesempatan petani untuk memperoleh kredit.
Penghapusan dimungkinkan karena program Bimas sendiri kini sudah semakin tidak diminati ketimbang lnmas dan Insus. Ini disebabkan karena petani semakin mampu berswakelola dalam pengadaan modal dan ketrampilan.
Soedarsono, yang kini menjabat anggota DPA dan ketua umum Dewan Koperasi Indonesia ini berpandangan, meski program Bimas padi di seantero Jawa tidak lagi diperlukan, namun bagi daerah terpencil seperti di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang tingkat intensifikasinya masih rendah dirasa masih perlu. Di samping itu, perlu pula diperhatikan kredit untuk mengatasi kesulitan petani di masa paceklik, sehingga mereka tak terjebak ijon.
Tahapan Tertentu
Dari Yogyakarta, suara senada juga diberikan Prof. Dr. Mubyarto. “Bimas adalah organisasi yang mungkin hanya dibutuhkan dalam tahapan tertentu. Yakni bila kita belum memiliki koordinasi yang baik dalam menangani pertanian dan masyarakat petani belum sadar terhadap kegunaan pupuk. Sehingga kalau dunia pertanian sudah melampaui tahapan tersebut rencana penghapusan program Bimas padi bukan lagi menjadi masalah.” tutur maha guru Universitas Gajah Mada ini.
Diakui program pertanian padi sudah lebih baik dalam hal organisasi dan penanganannya dibanding program lama itu diperkuat dengan hasil penelitiannya di tahun 1972 di daerah Klaten Jateng. Malahan, lanjutnya, jika program Bimas ini dipaksakan, padahal tahapan kemampuan petani sudah melebihinya, maka hasilnya malah merugikan.
“Semuanya telah saya tuliskan dalam buku. Bagaimana hari depan Bimas di Indonesia dan langkah apa yang seyogyanya dilakukan dalam penanganan pertanian padi,” ucapnya.
Ia mengemukakan satu harapan, bila nanti program Bimas padi telah dihapuskan sebaiknya pemerintah selalu mengusahakan agar pengamanan harga dasar betul-betul dapat terlaksana. Sehingga peningkatan produksi betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh petani.
Positif
Imam Churmen, Wakil Ketua Komisi IV DPR yang membidangi Pertanian mengatakan, semakin rendahnya minat petani mengikuti program Bimas memang sudah diperkirakan semenjak dulu.
Ketika itu banyak keterbatasan di pihak petani untuk meningkatkan produksi. Kini, alih teknologi dan berbagai pengetahuan lain sudah meresap, sehingga mereka meninggalkan bimbingan massal itu.
“Dilihat dari sini, penghapusan program Bimas pada suatu hal yang positif,” tambahnya.
Berbeda dengan Solihin, anggota FPP ini berpandangan, di samping faktor bertambahnya kemampuan petani, pemerintah juga agaknya, ingin memperingan risiko tunggakan kredit “Pemerintah nampaknya sadar bahwa banyaknya areal fiktif sebagai efek samping program ini sangat merepotkan,” katanya.
Apa Bimas itu?
Bimas adalah sistem penyul uhan bertanam padi secara massal, dibarengi dengan penyediaan sarana-sarana produksi (saprodi) pupuk, obat-obatan, alat semprot dan uang garapan di desa-aesa. Tujuannya untuk meningkatkan produksi padi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Sistem Bimas ini mula-mula lahir di Jawa Barat dengan dilaksanakannya action program oleh mahasiswa-mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Pemda Karawang tahun 1964.
Pada intinya program itu melaksanakan lima teknik baru menanam padi, yaitu pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pengairan dan perbaikan cara bercocok tanam. Kegiatan di Karawang saat itu dimulai di atas areal seluas 100 hektar.
Sekarang kelima teknik tersebut dikenal sebagai panca usaha dan menjadi inti dari sistem Bimas. Dengan penyuluhan secara massal lewat Bimas ini para petani yang jumlahnya jutaan dan tidak mampu, berpengetahuan rendah dan menanam padi secara tradisional, diajak untuk menggarap sawahnya secara rasional.
Setelah action program di atas tahun 1964 dimulailah penyuluhan panca usaha lengkap secara massal meliputi areal sawah seluas 11.000 hektar. Program ini diberi nama Demonstrasi Massal Swasembada Bahan Makanan, sebagai program massal pertama menjelang Bimas. Atas dasar pengalaman ini, tahun 1965 proyek diperluas menjadi 150.000 hektar dan namanya diganti menjadi Bimbingan Massal disingkat Bimas.
Menjadi Program Pemerintah
Program Bimas ini kemudian menjadi “wadah” pemerintah untuk meningkatkan produksi beras nasional, sekaligus supaya impor beras dikurangi sehingga devisa dapat dihemat sekaligus tidak tergantung lagi dari luar negeri.
Karena menjadi program pemerintah maka pemerintah melibatkan diri sangat mendalam dengan memberikan kredit kepada petani guna melaksanakan panca usaha tani.
Pada tahun 1965/66 kredit produksi disediakan oleh BRI, sedang sasaran produksi (pupuk dan obat-obatan) disalurkan PN Pertani. Tahun 1966/67 kredit produksi disediakan Komando Logistik Nasional (Kolognas, sekarang Bulog). Sarana produksi tetap disalurkan PN Pertani.
Ketika permulaan tahun 1968 pemerintah kekurangan devisa untuk mengimpor sarana produksi, sedang areal Bimas makin luas, pemerintah mengikutsertakan swasta luar negeri dalam pelaksanaan proyek Bimas. Bimas bentuk baru ini lalu dinamakan “Bimas Gotong Royong”. Tetapi kerja sama ini dinilai kurang sukses, lalu dihentikan.
Sementara itu pemerintah pun telah mempunyai cukup devisa. Sarana produksi dapat diimpor sendiri. Maka mulai musim tanam 1970/71 muncul lagi sistem “Bimas Yang Disempurnakan” yang berlaku sampai saat ini dan terus diperbaiki.
Karena tujuan pemerintah tidak saja menaikkan produksi padi, melainkan juga meningkatkan kesejahteraan petani maka ditentukanlah pula batas harga terendah (floor price) dan batas harga tertinggi (ceiling price) bagi padi dan beras. Dan di desa-desa dibentuk BUUD.
lnmas dan Insus
Setingkat lebih tinggi dari Bimas adalah Inmas (Intensifikasi Massal). Petani yang ikut program Inmas ini adalah petani-petani yang sudah lebih berpengalaman dan usaha pertaniannya lebih mantap. Mereka sudah dapat berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada kredit pemerintah.
Sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan mereka beli dari uang sendiri. Kalau pun dia minta kredit dari pemerintah lewat bank pemerintah (BRI), itu merupakan tanggung jawab pribadinya dan prosedurnya biasa seperti kredit umum. Ini berbeda dengan kredit Bimas yang harus dilengkapi berbagai keterangan seperti surat dari lurah.
Para petani Inmas yang tergabung dalam suatu kelompok hamparan lahan (areal sawah) disebut Insus (Intensifikasi Khusus). (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (02/08/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 908-912.