Tidak Ada Penodongan dalam Supersemar

Tidak Ada Penodongan dalam Supersemar

 

Proses keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), yang kemudian dipergunakan oleh Mayor Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tahun 1966, diisukan sejumlah kalangan diwarnai dengan pendodongan senjata. Isu itu terbantah oleh setidaknya oleh tiga fakta sebagaimana terungkap dalam tulisan Julius Pour, wartawan Senior Kompas dalam buku “G.30.S, Fakta atau Rekayasa”, diterbitkan oleh Kata Hasta Pustaka, tahun 2013.

Pertama, kesaksian AKBP (Adjun Komisaris Besar Polisi) Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) atau PPP (Pasukan Pengawal Presiden), Resimen Tjakrabirawa. Mangil sangat dekat dengan Bung Karno dan bisa dikatakan selalu satu langkah di belakang Bung Karno. Ia dekat dan bersama Bung Karno sejak Proklamasi Kemerdekaan. Ia juga ada disamping Bung Karno pada saat rapat raksasa di lapangan Ikada bulan September 1945. Mangil juga sejumlah kecil staf yang satu kereta dengan Bung Karno beserta keluarga ketika pada awal Januari 1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir memutuskan Presiden dan Wakil Presiden mengungsi ke Yogya.

Ketika ditanyakan soal penodongan proses pembuatan Supersemar tahun 1966, dalam buku Julious Pour ia di kutip memberi jawaban sebagai berikut[1]:

“Mana Mungkin? Tidak seorang pun boleh membawa senjata ketika dia menghadap Bapak (Presiden Soekarno). Saya belajar dari pengalaman waktu menangani percobaan kudeta Mayor Jenderal Soedarsono tanggal 3 Juli 1946 di Istana Gedung Agung, Yogyakarta. Bung Karno bisa saya selamatkan, karena Pak Soedarsono langsung saya tubruk, begitu dia sedang meraba pistol.”

“Sejak saat itu saya putuskan, setiap tamu harus dicatat, diperiksa anggota DKP serta menyerahkan senjatanya lebih dulu, ketika akan menghadap Bapak. Jangan lupa, para anggota DKP juga selalu mengawasi ke mana saja Bung Karno bergerak. Oleh karena itu, saya ikut hadir di ruangan, ketika Surat Perintah 11 Maret disusun”, ungkap Mangil, pengawal Pribadi Bung Karno.

Fakta kedua adalah penuturan Amirmachmud soal pembicaraannya dengan Brigadir Jenderal Jusuf usai menghadap Lentnan Jenderal Soeharto dan hendak menuju Bogor menyusul Bung Karno[2]. Setelah Sidang Kabinet dinyatakan bubar oleh adanya isu pasukan tidak dikenal dan Presiden Soekarno meninggalkan Istana Menuju Bogor, keempat Jenderal (Menteri Urusan Veteran Mayor Jenderal Basoeki Rachmat, Wakil Koordinator Hankam Mayor Jenderal Moersid, Menteri Perindustrian Ringan Brigadir Jenderal Jusuf dan Panglima Kodam V Djaja, Brigadir Jenderal Amirmachmud melakukan pembicaraan di dekat tangga barat Istana. Kecuali Moersjid, tiga Jenderal lainnya sepakat menyusul Bung Karno ke Bogor, berusaha menjelaskan bahwa Angkatan Darat tidak meninggalkan Bung Karno. Sebelum berangkat mereka bertiga menemui Letnan Jenderal Soeharto yang sedang sakit di kediamannya Jalan Agus Salim.

Setelah memperoleh penjelasan ketiga Jenderal tersebut atas situasi sidang kabinet yang baru saja berlangsung Letnan Jenderal Soeharto memberi komentar:

“Pertama sampaikan salam saya kepada Bung Karno. Kedua Bung Karno tidak usah khawatir, Angkatan Darat tetap mempertahankan Pancasila, Mengamalkan UUD 1945, mengamankan revolusi Indonesia, dan bakal memelihara keamanan. Asal… saya diberi kepercayaan”.

Brigadir Jenderal Jusuf menyebutkan bahwa Letnan Jenderal Soeharto menambahkan kalimat:

“…bersedia memikul tanggung jawab, apabila kewenangan untuk hal itu diberikan kepada dirinya, agar semakin mantap untuk melaksnakan stabilitas keamanan dan politik, berdasar Tritura.”

Setelah memperoleh jaminan Letnan Jenderal Soeharto, ketiga Jenderal tersebut berangkat ke Istana Bogor. Menurut Amirmahmud, Brigadir Jenderal Jusuf mengusulkan kepada kedua koleganya untuk membawa sten gun guna menjaga diri. Ajakan tersebut ditolak Amirmachmud.

“Tidak usah bawa senjata segala. Bisa-bisa, kita nanti malah langsung di habisi Tjakrabirawa”. Dia sadar, kondisi pengamanan terhadap Bung Karno pasti telah diberlakukan ekstra ketat.

Istana Bogor dijaga dua Batalyon Tjakrabirawa, terdiri dari eks pasukan Gerak Tjepat AURI berikut Batalyon Brimob Kepolisian. Mereka sudah jelas tidak akan mau kecolongan, sebagaimana baru saja terjadi di Jakarta. Membiarkan pasukan di luar kendali Tjakrabirawa, membahayakan posisi Istana Kepresidenan. Apalagi Bung Karno waktu itu sudah berada di Bogor, tampak jelas bendera Kepresidenan, warna kuning keemasan, melambai-lambai di Puncak Istana.

Fakta ketiga, surat perintah itu dibuat oleh tim yang di buat Bung Karno[3]. Tim itu diketuai Basoeki Rachmat, dengan anggotanya Brigjen Jusuf dan Saboer (ajudan Presiden Soekarno). Setelah itu juga dikonsultasikan dengan sejumlah menteri yang ada di Istana pada waktu itu, seperti Soebandrio, Chaerul Saleh dan Leimena dan para ajudan. Setelah Presiden Soekarno membubuhkan tanda tangan dan ketiga Jenderal  (Amirmachmud, Basoeki Rachmat dan Jusuf) hendak pulang, Panglima SIliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, seorang loyalis Bung Karno hadir di Istana. Salah satu apresiasi Bung Karno terhadap Jenderal Ibrahim Adjie adalah dengan diberikannya penghergaan prestisius, Sam Karya Nugara, kepada Kodam Siliwangi. Satu-satunya Kodam yang pada era Bung Karno memperoleh Sam Karya Nugraha. Walaupun sangat loyal, Bung Karno tidak mengangkatnya sebagai Pangab karena istrinya berasal dari Yugoslavia.

Dengan kehadiran Jenderal Ibrahim Adjie, sosok jenderal loyalis Bung Karno ini, jika memang terjadi penodongan atau pemaksaan, maka ketiga Jenderal tentu akan berhadapan dengan Jenderal Ibrahim Adjie. Namun faktanya tidak terjadi ketegangan antara ketiga Jenderal itu dengan Jenderal Ibrahim Adjie di Istana, pada saat Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah di tandatangani Presiden Soekarno hendak di bawa ke Jakarta, diserahkan Letnan Jenderal Soeharto.

Ketiga fakta tersebut menunjukkan bahwa Supersemar dibuat dalam suasana todongan senjata, merupakan opini yang menyesatkan.

***



[1] Julius Pour, “G.30.S, Fakta atau Rekayasa”, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2013: 314.

[2] Ibid, hal 308-310.

[3] Ibid, hal 310-313

2 pemikiran pada “Tidak Ada Penodongan dalam Supersemar

  1. Musuh bebuyutan pak Soeharto adalah PKI. Sudah jelas! Dimanapun kapanpun, anggota PKI yg masih hidup selalu dendam dg yg namnya soeharto. Hanya saat di pemerinatahan saat ini, PKI belagu dan merasa di perkuat. Bukti?? Ntah dapat kordinasi dari mana, yg jelas kelakuan ex PKI yg msh hidup sdh berani tampil terbuka, bahkan saat bulan puasa pd hari jumat, karakter ex PKI semakin PD mengisap rokok saat jumatan. Darimana dia mulai berani???? Krn soeharto soeharto negeri sudah lemah. Hati hati, saat ini PKI Baru sudah mulai berkecambah

  2. Tentang penodongan saat supersemar itu adalah rekayasa PKI. terlalu jauh dari logika keamanan dan sistem pengamanan istana. Apalagi konon katanya Soekarno itukan sakti mandraguna kok bisa ditodong hahahaha.

    Coba lihat NGC online
    Sibuk memberitakan Rekayasa supersemar.
    Bahkan gerhana matahari kemariiinn..masih sempet jg hitamin pak harto haha
    Goblok kan??
    udahlah gak usah bahas Supersemar lagi. Saat ini kita bahas musuhnya Semar, yakni Dorna sang sengkuni bin PKI
    Media2 saat ini sudah banyak PKI nya
    paling semangat dia bahas materi ngebangum publik utk menghitamkan soeharto. Atau berita2 yg sangat pintar memprovokasi sosial
    kalau media lg apes yaa paling banter bilang “minta maaf” gampang biar gak dihukum publik.

    kagak bakalan bisa diprovokasi.. krn ada masa yg masih hangat dlm memori keindahan masa Soeharto. “piye kabare, uenakan jamanku toh” ini fakta kurang lebih seperti itu.

    Coba lihat pemimpin saat ini,
    Paling banter salah2in SBY dan Soeharto haha.
    Presiden aneh tempo dulu malah gak disentuh, krn yaa nenek moyangnya, yg ngangkat dia mana berani dia!
    Coba lihat pemimpin DKI sekarang
    paling banter salah2in pemimpin sebelumnya
    yg disalahin kebetulan suku betawi lagi
    apa gak jadi rasis jadinya?? Apa gak memanas???
    apa situasi politik saat ini gak dimanfaatin PKI utk berkolabirasi, bentuk kekuatan, dan menyucikan diri hahahhaa.

    Saya kasih tau ya
    Semua media paling doyan promosikan 2 tokoh saja.
    gencarrr tiap hari
    bila perlu diberitakan kentutnya 2tokoh itu aja bau kasturi.
    4 tokoh yg lain yaa cuma nebeng haha.
    Apa itu artinya???
    Penilaian rakyat tentang sosok pemimpin baik sudah dihapus oleh peran media.
    Misal “Prabowo dalang kerusuhan 97”
    Berita itu sampe ke desa2 ke pelosok2
    Siapa yg nyebarin???
    Yaa media lah.
    Fitnah supersemar masuk ke pelosok, siapa yg nyebarin??
    Yaa media lah
    Bahkan sampe ke fitnah kejadian Mina jadi bulan2an gunjingan warga kampung berkat peran Media.
    Media itu kebal hukum, ngeyel dan tengil dikit2 HAM dikit2 lapor perlakuan tdk menyenangkan
    Disentil dikit teljnganya sm aparat ngadulah sama komnas hah

    lah elo media sdh berpa kali bakar rakyat, bakar sejarah, fasikitasi kelompok yg akan mengitamkan soeharto.
    itukan media yg punya kerja
    Apa mesti rakyat yg memberi hukuman???
    Aparat gak bisa hukum kejahatan media yg tersirat
    tapi masa bisa!

    AWAS PKI DIBELAKANG ANDA.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.