TRITURA, TRI TUNTUTAN RAKYAT CUPLIKAN DARI BUKU, “PAK HARTO: PANDANGAN DAN HARAPANNYA”

TRITURA, TRI TUNTUTAN RAKYAT CUPLIKAN DARI BUKU, “PAK HARTO: PANDANGAN DAN HARAPANNYA”

 

Jakarta, Pelita

Pengantar Redaksi :

Dalam rangka menyambut HUT ke-23 TRITURA. 10 Januari 1989, Pelita hari ini menurunkan tulisan khusus yang disajikan dr. Abdul Gafur. Tulisan ini dimuat dua kali secara tetap di halaman IV Kepada pembaca selamat mengikuti.

Tritura mempunyai tempat bersejarah dalam pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita. Sebab, Tritura itu merupakan awal dari lahirnya Orde Baru, orde pembangunan. Dengan Orde baru itulah kita meluruskan kembali perjalanan sejarah bangsa kita dengan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Sebagai jalan sejarah yang kita tempuh untuk membangun masyarakat Indonesia yang maju, sejahtera, adil, makmur, dan lestari berdasarkan Pancasila.

TRITURA yang dicetuskan oleh pemuda Indonesia dalam tahun 1966 itu berisi tiga hal. Pertama ialah pembubaran PKI; kedua adalah pembersihan kabinet dari unsur unsur G-30-S/PKl; dan yang ketiga ialah penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Pembubaran PKI mengandung tekad untuk membela, menegakkan, dan melaksanakan Pancasila. Pancasila tidak mungkin dilaksanakan oleh PKI sebab ideologi PKI mengandung unsur-unsur yang setara mendasar lurus dan bertolak belakang dengan Pancasila. Pembersihan kabinet dari unsur PKI mengandung tekad untuk membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena pemerintahan yang orientasinya tidak sepenuh-penuhnya kepada Pancasila tidak mungkin dapat membimbing rakyat dalam melaksanakan pembangunan nasional dalam negara.

Pancasila.Penurunan harga/perbaikan ekonomi mengandung tekad untuk membenahi segala kemerosotan ekonomi yang merajalela waktu itu sebab hanya dengan pembenahan ekonomilah akan dapat dilaksanakan pembangunan yang memberikan kemajuan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan amanat yang harus kita laksanakan dala malam Indonesia merdeka. Karena itulah,tadi saya katakan bahwa Tritura mempunyai tempat yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita.

Pernyataan Pak: Harto di atas dengan jelas menggambarkan Tritura di atas satu kanvas kesinambungan sejarah kepeloporan pemuda Indonesia dengan wama yang sangat hidup.

Pengakuan bahwa Tritura itu adalah satu tonggak: sejarah dan mengandung tiga pilar utama yang menyangga perjuangan Orde Baru dari awal sampai sekarang dan seterusnya ke masa datang adalah absah karena yang mengemukak:an itu adalah Pak: Harto sendiri-pemimpin Orde Baru yang sangat konsekuen.

Sepuluh Januari 1982, Tritura diperingati oleh para eksponen 66 di tengah-tengah keraguan sementara pihak, termasuk para pelaku sepuluh Januari sendiri tentang relevan tidaknya Tritura dengan suasana dan kondisi Orde Baru setelah dwi windu.

Saya kurang mengerti dari sudut apa Tritura itu diteropong sehingga melahirkan pendapat bahwa memperingati Tritura di masa sekarang tidak: relevan lagi. Memang, kalau secara harfiah orang membaca tiga tuntutan rakyat itu

Bubarkan PKI, Turunkan harga, dan Ritul Kabinet dari unsur-unsur PKI-rasanya sudah tidak relevan lagi. Tetapi, masalahnya sekarang bukan lagi Tritura sebagai cetusan rakyat yang disampaikan oleh wakil-wakil Kesatuan Aksi Mahasiswi Indonesia pada tanggal 10 Januari di Sekretariat Negara kepada Waperdan Chaerul Saleh, kemudian tanggal 12 Januari ke DPR-GR dan kepada Presiden Soeharto delapan hari kemudian di Istana Merdeka. Yang harus kita resapi secara lebih dalam setiap kali memperingati peristiwa ini adalah esensi dan semangat serta jiwa.

Tritura itu. Sisiinilah yang dibentangkan oleh Pak Harto dalam sambutan tertulisnya yang saya bacakan di hadapan ribuan pemuda dan bekas demonstran tahun 66 di Balai Sidang Jakarta.

“Tritura memang meletus sebagai jawaban atas kemelut bangsa dan negara yang menyelimuti kita wak:tu itu. Namun, jika kita renungkan sedalam-dalamnya, maka tampak jelas bahwa Tritura merupakan cetusan hati nurani rakyat, yang jangkauannya jauh ke depan dalam rangka memperkukuh kehidupan bangsa dan negara kita agar makin cepat bergerak: menuju cita-cita kemerdekaan.”

Pak Harto kemudian mengajak untuk melihat dengan jelas Tritura itu. Beliau katakan bahwa hakikat Tritura adalah tiga hal mendasar yang menjadi kekuatan bagi kemajuan dan kekukuhan bangsa dan negara kita selanjutnya “Ialah dipertahankannya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adanya pemerintahan yang stabil dan berwibawa, serta pelaksanaan pembangunan yang membawa kemajuan dan kesejahteraan. Karena itulah, tadi saya katakan bahwa Tritura merupakan tonggak sejarah dalam usaha kita untuk membangun Indonesia. seperti yang kita cita-citakan. Dan, memang ketiga hal mendasar itulah yang menjadi sendi­sendi kekuatan Orde Baru yang selama ini terus kita perkuat.”

Kiranya menjadi jelas dan bertambah jelas tentang tetap relevannya Tritura setelah Pak Harto tampil sendiri di hadapan anak-anak muda pelaku peristiwa Tritura dalam tahun 1985 yang inti pidatonya telah saya awali sebagai kutipan di muka.

Hari-hari pertama tahun baru 1966 dilewati dengan tempo yang makin tinggi karena aksi demi aksi Front Pancasila dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Saya sendiri terus mengkonsolidasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Universitas Indonesia.

Dari David Napitupulu dan Zamroni, saya memperoleh semacam instruksi untuk mempersiapkan massa mahasiswa dari Universitas Indonesia sendiri sebagai basis meningkatkan aksi dan tuntutan, hari H-nya adalah tanggal 10 Januari. Yang tidak diberitahukan kepada saya adalah jenis tuntutan yang akan disodorkan kepada Bung Karno.

Penyusunan konsep tuntutan KAMI itu temyata diproses di markas KAMI di “Marga Siswa” Jalan Sam Ratulangi Jakarta. Para konseptornya adalah Cosmas Batubara, David Napitupulu, dan Marie Muhammad dibantu Syavinus dan Ismed Hadad yang memegang biro penerangan kesatuan aksi itu.

Menurut David, pembicaraan dan pembahasan isi pernyataan tidak terlalu bertele-tele karena memang tiga tuntutan itulah dirasakan sebagai gelombang­gelombang yang menggulung di tengah masyarakat.

Tentang tuntutan rakyat dan bukan tuntutan mahasiswa, David menjelaskan bahwa mahasiswa yang bergabung dalam kesatuan aksi hanya sebagian kecil. Padahal tuntutan untuk membubarkan PKI, misalnya, datang dari seluruh lapisan masyarakat- rakyat dan Angkatan Bersenjata.

Oleh karena itu, maka diputuskan topik pernyataan mahasiswa Indonesia di bawah judul “Tri Tuntutan Rakyat” atau Tritura. Lagi pula dengan menggunakan penekanan pada “tuntutan rakyat” maka para mahasiswa ingin membuktikan bahwa mereka tidak ditunggangi oleh siapa pun (seperti yang mulai dituduhkan oleh rezim Orde Lama), tetapi pembawa suara hati nurani rakyatnya. Spontanitas yang diperlihatkan oleh para penyusun Tritura terasa dalam setiap butir tuntutan rakyat. Bubarkan PKI adalah kewajaran karena PKI telah berkhianat untuk kedua kalinya.

Turunkan harga, kenyataan memang harga-harga melambung tinggi hampir-hampir tak dapat lagi dijangkau oleh daya beli rakyat rendah. Ritul Kabinet seratus menteri dari unsur-unsur PKI, juga wajar-wajar saja karena Bung Kamo seperti menantang rakyatnya sendiri dengan mendemonstrasikan penyertaan orang-orang PKI atau setidak-tidaknya diketahui oleh umum sebagai orang yang ada indikasi terlibat G-30-S/PKI.

Meskipun Tritura adalah satu pemyataan tuntutan yang spontan, kemudian setelah keluamya Surat Perintah 11 Maret dengan cepat Pak Harto membubarkan PKI, dan diikuti dengan reshufle Kabinet Dwikora, sehingga seakan-akan selesailah dua tuntutan rakyat dari tiga yang ada, tetapi ternyata Tritura tidak sekedar sampai di situ. Tritura ternyata mengandung hal-hal yang amat mendasar bagi perjuangan Orde Baru selanjutnya.

Oleh Pak Harto sendiri, dari dua sambutan yang isi pokoknya saya kutip di muka telah memberikan merek yang jelas dan bobot strategis dari Tritura itu, yaitu pertama, Tritura merupakan awal dari lahirnya Orde Baru kedua, jangkauannya jauh ke depan (berarti tidak momenter) ketiga, hakikat Tritura adalah mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, pemerintahan yang stabil dan berwibawa, pelaksanaan pembangunan yang membawa kemajuan dan kesejahteraan.

Lahirnya Tritura memang tidak berdiri sendiri. Ia merupakan hasil dari satu proses sejak G-30-S/PKI melakukan perebutan kekuasaan dan membunuh putra-putra Pancasilais di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Jenderal L.B. Murdani, Panglima Angkatan Bersenjata, dalarn peringatan Tritura Tahun 1987 mengemukakan, bahwa Tritura, adalah salah satu bagian yang menonjol di dalam proses tampilnya. Orde Baru. Ia adalah satu peristiwa yang tidak berdiri sendiri, tetapi saling mengait dengan kejadian dan situasi ideologi politik dalam periode-periode sebelum tahun 1966.

Analisis Jenderal Murdani memang tepat. Perbuatan PKI dalam periode-periode sebelumnya, seperti aksi sepihak, aksi tunjuk hidung, ganyang kabir, dan tujuh setan desa kemudian sambil terus bersandar kepada kewibawaan Presiden Soekamo. PKI menuntut mempersenjatai buruh dan tani serta pembentukan Angkatan ke-5 yang semuanya itu adalah caranya untuk mematangkan situasi dalam rangka mencapai tujuannya­melenyapkan Pancasila dan menggantikannya dengan ideologi komunisme. Cara-cara PKI ini telah menarik dan merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Pancasilais untuk menghadapi PKI.

Di dalam dunia kemahasiswaan, baik dalam organisasi PPMI maupun MMI polarisasi itu makin menonjol. HMI dan PMKRI, Pemuda Ansor dan Pemuda Muhammadiyah, serta Pemuda Katolik, dan lain-lain makin kukuh pendirian menghadapi ancaman kekuatan komunis yang bercokol dalam badan-badan mahasiswa maupun pemuda.

Dengan demikian, sebenarnya kehadiran pembela dan pengawal Pancasila dari macam-macam unsur dalam masyarakat telah siap menghadapi PKI, hanya tinggal waktu. Dan, waktu yang ditunggu-tunggu itu pun tibalah.

Kaum komunis sendiri melalui satu gerakan yang mereka berikan nama Gerakan-30-September melaksanakan penculikan dan pembunuhan atas diri perwira­perwira tinggi TNI Angkatan Darat (Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan) yang terkenal kegigihannya membela, mengawal, dan mempertahankan Pancasila ditengah­tengah gelombang rongrongan PKI masa-masa sebelumnya.

Perbuatan jahat dengan selubung “persoalan intern Angkatan Darat” hanya dalam beberapa jam saja rakyat Indonesia seakan-akan dikelabuhi, tetapi tidak untuk Mayor Jenderal Soeharto Panglirna Kostrad. Pagi dini hari, tanggal 1 Oktober 1965 kedok PKI itu telah disimak oleh Pak Harto setelah mendengar nama-nama Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latif, dan lain-lain.

Pak Harto telah terlalu kenai dengan mereka sebagai kader-kader komunis dalam tubuh TNI Angkatan Darat. Kedok lebih terbuka setelah sepanjang hari tanggal satu itu Panglima Kostrad menghancurkan pasukan yang sadar atau tidak telah digunakan oleh PKI untuk mencapai tujuan busuknya.

Seperti diutarakan oleh Panglima ABRI dalam peringatan 21 Tahun Tritura bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap semua perwira tinggi pimpinan TNI Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965 telah ditangkap oleh kekuatan-kekuatan Pancasilais sebagai konfrontasi terbuka dari golongan komunis, yang oleh karena telah melahirkan pula reaksi keras. Dan, reaksi keras kekuatan-kekuatan

Pancasilais di semua daerah terhadap golongan komunis, menurut Jenderal Murdani, harus dicatat sebagai tahap pertama dari peristiwa yang menonjol di dalam proses tampilnya Orde Baru. Tritura dengan tuntutan yang pertama Bubarkan PKI-adalah bentuk paling nyata dari reaksi rakyat di mana-mana yang diformulasikan secara formal pada tanggal 10 Januari 1966. Secara jelas tampak di sini hubungan Tritura dengan kejadian­kejadian sebelumnya, sekaligus melambangkan tekad bulat kekuatan-kekuatan Pancasila untuk melenyapkan PKl dan seluruh pahamnya.

Melihat kaitan dan hubungan itulah, maka Panglirna ABRI pun menjelaskan bahwa Tritura tidak mungkin muncul tanpa adanya peristiwa-peristiwa lain sebelumnya.Tritura tidak mungkin muncul oleh hanya satu potensi Pancasilais. Tritura adalah konsep operasional untuk mendukung strategi lenyapnya komunisme dari bumi Indonesia.

Oleh karena itu, Tritura pada dasarnya adalah sarana operasional dari kekuatan Pancasila yang sudah sejak lama menentang eksistensi komunisme di Indonesia.

Sejarah kemudian mencatat betapa dahsyatnya gemuruh suara rakyat dalam bentuk Tritura itu dioperasikan oleh para pemuda dan mahasiswa Indonesia. Operasi yang pertama tanggal 10 Januari operasi yang II tanggal 12 Januari 1966 ke DPR-GR, operasi yang III ke Bogor tanggal 15 Januari (tetapi tidak berhasil menyampaikan langsung kepada Bung Karno) dan selanjutnya tanggal 18 Januari di Istana Merdeka, langsung kepada Bung Karno.

Seyogyanya delegasi KAMI akan menyerahkan kepada Presiden Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 15 Januari. Tetapi berhubung dengan situasi yang tidak mengizinkan, maka niat itu diurungkan. Baru tiga hari kemudian, pada tanggal 18 Januari 1966, pukul 10 pagi, utusan KAMI diterirna oleh Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Berseragam jenderal berbintang lima, Bung Karno menerima kami didampingi oleh Menteri PTIP dr. Syarif Thajeb.

Menteri Perkebunan Frans Seda dan Menko Ruslan Abdulgani. Hampir lebih dari setengah jam, Bung Karno menggunakan kesempatan itu untuk membombardir kami dengan ucapan-ucapannya yang keras dan meledak-ledak. Ia memperingatkan kami tentang bahaya demonstrasi terus-menerus. Menurutnya, demonstrasi akan membuka peluang masuknya pihak ketiga untuk menunggangi.

“Kalian harus tahu, duta besar Amerika di Jakarta sekarang, (Marshall Green) itu orangnya yang mendalangi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di Korea Selatan yang menjatuhkan Presiden Sing Mang Rhee,”ucap Bung Karno dengan nada berang. Mendengar suaranya yang mengandung tuduhan dan kecurigaan , timbul rasa kecewa dalam hati dan sangat menyesalkan kalimat seperti itu harus keluar dari mulutnya. Sejak detik itu saya yakin Bung Karno tidak akan sungguh-sungguh menanggapi apa yang akan kami sampaikan.

Selain purba sangka kepada duta besar Amerika, Bung Karno juga mengalamatkan kemarahannya kepada sementara orang Katolik yang katanya melalui PMKRI mencoret-coret di Bogor dengan ejekan kepada lbu Hartini. Sambil memandang Frans Seda, Bung Karno berkata, “Saya ini diberi bintang oleh Paus di Roma. Kok orang Katolik di Indonesia menghina saya.” Tiba-tiba hardikannya ditujukan juga kepada saya. “Kau Abdul Gafur, saya tau kau orang Islam. Apakah ini sesuai dengan ajaran Islam?”

Liem Bian Koen tokoh PMKRI, Frans Seda Ketua Partai Katolik yang menteri, saya dan Cosmas, dan lain-lainnya diam seribu bahasa. Suasana jadi tegang, setelah itu hening, dan kemudian dengan nada yang rendah dan datar, Bung Karno memecah kesunyian. “Kalau kalian hendak menyampaikan tuntutan, datanglah dengan muka manis”. Situasi yang mulai mengendor ini segera digunakan oleh David Napitupulu.

“Bapak Presiden kami semua sebenarnya belajar dari ajaran Bapak yang ditulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi bahwa pemuda harus berani dan mendobrak.”

Segera dipotong oleh Bung Karno. “ltu kan saya tujukan kepada Belanda, bukan kalian gunakan untuk ditujukan kepada saya.” Setelah dialog-dialog kecil yang makin menciptakan iklim yang lebih santai, Cosmas angkat bicara atas nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan membacakan isi Tri Tuntutan Rakyat di hadapan Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno.

Seperti telah saya duga semula, Bung Karno tidak akan menanggapi Tritura secara tegas. Hanya janji-janji yang samar kami terima darinya. Dengan pikiran yang tidak pasti tentang nasib Tritura, kami tinggalkan Istana Negara.

Di depan pers, Ruslan Abdulgani berkata bahwa Bung Karno sepenuhnya menerima tuntutan mahasiswa, tetapi menyayangkan cara dan aksi-aksi mahasiswa. Yang terjadi di dalam istana adalah sebaliknya, Bung Karno pada dasarnya tidak jelas menerima cetusan hati rakyat yang disampaikan oleh wakil-wakil KAMI bahkan lebih jauh mencurigai anak-anaknya sendiri seakan-akan telah ditunggangi. Akhimya sejarah menjadi saksi.

Antara Bung Karno, penggali Pancasila, dengan kekuatan-kekuatan Pancasilais timbul konflik hebat. Di sinilah ironinya. Bung Karno terus membela PKI yang akan melenyapkan Pancasila berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Pancasilais yang hendak: melenyapkan PKI demi tegak dan lestarinya Pancasila.

Sepuluh orang pemuda Indonesia turun dari Istana Merdeka dengan keyakinan demi keadilan dan kebenaran-Tritura itu benar dan harus terus diperjuangkan. Di Marga Siswa-markas KAMI- tanpa mempertimbangkan hasil pembicaraan dengan Bung Karno, KAMI memutuskan meningkatkan aksi perjuangan.

Tanggal 24 Februari Bung Karno menyulut api, mengobarkan semangat antipati dan perlawanan pada kebijaksanaan-kebijaksanaannya .Menyempurnakan Kabinet Dwikora dengan jumlah menteri yang ratusan orang, dan yang lebih mencekam perasaan adalah menempatkan orang-orang yang dicurigai terlibat dalam G-30-S/PKI dalam kabinetnya yang baru itu.

Pada hari pelantikan kabinet “100 menteri” itu, Jakarta macet total karena blokade demonstrasi besar para mahasiswa yang menggunakan senjata gembos ban mobil dijalan-jalan raya. Pada hari itu, Arief Rachman Hakim ditembak: oleh pasukan Cakrabirawa. Ia gugur sebagai pahlawan. Jadilah ia sebagai martir dan dengan kematiannya itu, semua kekuatan Pancasilais menjadi lebih solid dan kompak.

Menghadapi kenyataan itu, KAMI dibubarkan pada tanggal 3 Maret dengan harapan aksi demonstrasi akan reda .Perkiraan itu meleset sebab setelah 10 Januari demonstrasi yang terjadi bukan lagi KAMI semata, tetapi semua unsur dan kekuatan pembela Pancasila yang hidup dalam masyarakat. Lagi pula apakah artinya nama sebuah organisasi, yang terpenting adalah semangat dan keyakinan akan perjuangan membela Pancasila, menentang kezaliman, ketidakadilan, dan ketidakbenaran. Selama nilai-nilai itu tetap dihayati, maka 1.000 KAMI dibubarkan pun tidak akan membawa hasil apa-apa.

 

 

Sumber : PELITA(10/01/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 46-52.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.