Tangerang,…….1998
Kepada
Yth. Bapak H. Soeharto
di Jakarta
TURUT PRIHATIN [1]
Saya memberanikan diri mengmm surat kepada Bapak. Tidak lain hanya turut prihatin akan keadaan Bapak sekarang. Masih ada rakyat Idonesia yang berpikiran cetek, tidak tahu terima kasih akan jasa seseorang.
Saya akan selalu mengenang jasa Bapak yang telah menyelamatkan negara ini dari rongrongan PKI. Kalau bukan Bapak apalah jadinya negara ini dan saya akan terus mengutuk penggerak reformasi yang telah merusak suasana negara Indonesia yang aman dan sejahtera menjadi kacau.
Korban rakyat yang tidak mengerti akan hal ini mereka saya anggap hanya dengki dan sirik kepada Bapak selalu ingin mengorek-ngorek masalah saja apakah para penggerak reformasi dapat mengubah keadaan yang sekarang ini sedang tak menentu mereka hanya bisa merusak tetapi tidak bisa dan mengetahui kesusahan rakyat dan saya merasa sedih yang sangat mendalam dengan adanya krisis moneter ini yang disalahkan Bapak beserta putra – putra Bapak yang menimbulkan krisis tersebut padahal krisis tersebut bukan di negara kita saja dan apakah pemerintah Indonesia hanya Bapak sendiri, ada menteri – menteri kabinet mengapa mereka pun tidak disalahkan.
Hanya Bapak yang jadi korban sungguh kerdil jiwa orang-orang tersebut hanya bisa menyalahkan saja padahal dirinya belum tentu dan kalau Bapak sudah jelas kelihatan perjuangannya dari tahun ’45.
Sampai sekarang ini kiranya hanya ini yang dapat saya sampaikan kepada Bapak rasa keprihatinan saya kepada keadaan Bapak sekarang ini dan kecewa kepada orang-orang yang hanya bisa menyalahkan Bapak dengan mengadakan reformasi yang tidak jelas saya mohon maaf bila kata-kata saya ini ada yang tak dapat dimengerti oleh Bapak. Sekali lagi saya mohon maaf. (DTS)
Wassalam,
Sumantri
Tangerang
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 828-829. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.