Ulang Tahun Pernikahan Kami yang Ke-40

Ulang Tahun Pernikahan Kami yang Ke-40[1]

Ulang tahun pernikahan kami yang ke-40 kami rayakan dengan acara yang agak lain. Anak-anak kami yang menetapkan acaranya. Suasana waktu itu santai, penuh tawa riang. Maklumlah, anak cucu saya semua kumpul. Pada tanggal 26 Desember 1987 itu, pagi hari saya meletakkan batu pertama pembangunan Museum Purna Bhakti Pertiwi yang akan dibangun di Kelurahan Pinangranti, Jakarta Timur, persis di samping kiri pintu masuk Taman Mini (TMII). Tanahnya seluas hampir 20 Ha.

Di Museum Purna Bhakti Pertiwi ini nanti akan disimpan benda­benda yang ada hubungannya dengan pengabdian saya dan keluarga pada Negara dan Bangsa. Menurut rencana, bangunan itu akan selesai pada tahun 1990. Sebagian besar dari ide pembangunan museum ini berasal dari istri saya, sebagai ungkapan rasa syukur kami sekeluarga kepada Yang Maha Kuasa yang telah memberkati perjuangan dan pengabdian kami.

Semula peletakan batu pertama museum keluarga ini akan kami langsungkan pertengahan tahun 1987. Tetapi karena sesuatu hal kami undurkan. Tutut, anak saya yang tertua mengusulkan agar acara ini dilaksanakan pada peringatan ulang tahun pernikahan kami yang keempat puluh.

Lalu di siang harinya selamatan itu dilangsungkan di Sasana Adiguna, di TMII itu. Suasana waktu itu benar-benar santai. Titiek Puspa hadir, diajak oleh Tutut, untuk meramaikan. Ia mengajukan pada saya sejumlah kuis keluarga yang menyebabkan tambah gembira. Pertanyaan pada saya diajukan, siapa yang membantu keluarga Soeharto pada masa penumpasan G-30-S/PKI. Saya ingat­ingat. Maka saya menjawabnya. Saya katakan, waktu itu saya sibuk menghadapi peristiwa pengkhianatan PKI. Ke rumah kami datang tamu perempuan yang mengaku keluarga. Istri saya curiga. Lalu tamu perempuan itu ditahan oleh Lettu. Wahyudi. Tapi malamnya perempuan itu kabur dan meninggalkan kopornya yang ternyata berisi racun tikus. Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu bermaksud meracuni kami sekeluarga. Maka Lettu. Wahyudi itulah orangnya yang saya anggap membantu kami sekeluarga pada masa penumpasan G-30-S/PKI.

Anak-anak dan cucu-cucu kumpul. Lalu kami makan bersama hadirin lainnya. Dan acara itu ditutup dengan pementasan “Losmen”, sandiwara yang secara teratur ditayangkan di layar TVRI, dan disukai banyak orang. Suasana seperti itu menarik saya mengenang apa yang telah terjadi dengan kami sekeluarga, dengan saya, dengan istri saya, dengan anak­anak dan cucu-cucu saya.

Sekarang (1988) anak-anak saya sudah pada besar, sudah dewasa. Lima dari mereka sudah berumah tangga dan kami sekarang sudah bercucu sebanyak 9 orang. Yang sulung, Siti Hardijanti Hastuti Indra Rukmana memilih menjadi wiraswasta di samping menjadi ibu rumah tangga. Tetapi nampak sekali ia lebih cenderung, lebih disibukkan oleh kegiatan-kegiatan sosial.

Yang bungsu, yang keenam, Siti Hutami Endang Adiningsih belum lama ini telah menjadi sarjana, menyelesaikan studinya di Institut Pertanian Bogor. Ia memilih untuk menjadi ahli statistik pertanian.

Sigit Harjojudanto, anak saya yang kedua memilih menjadi pengusaha. Bambang Trihatmodjo, anak saya yang ketiga terjun ke dunia bisnis. Siti Hediati Harijadi, keempat, selain menjadi ibu rumah tangga, anggota Persit tentunya karena suaminya anggota ABRI, giat di bidang sosial, mengurus Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Hutomo Mandala Putra, kelima, memilih menjadi pengusaha juga, melewati masa kesukaannya menjadi pembalap dan olahraga terbang

Alhamdulillah, mereka semua jadi manusia —begitu sebutannya di tengah-tengah kehidupan kita sekarang— sementara saya mengharuskan mereka untuk mengetahui akan kewajiban mereka sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat luas. Kami didik mereka terutama supaya ingat pada orang tua, supaya hormat dan mengerti akan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat, dan selalu takwa kepada Tuhan.

Nampaknya mereka mengerti akan kewajiban mereka untuk menaruh hormat pada kami sebagai orang tua. Mereka mengerti akan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat. Mengikuti petunjuk saya dan petunjuk ibu mereka, mereka giat di bidang sosial.

Tutut menjadi Ketua Umum Himpunan Pekerja Sosial Indonesia (HIPSI) sejak organisasi itu berdiri pada tanggal 11 Maret 1987. Maksudnya untuk meningkatkan mutu pelayanan sosial. Ia pun jadi Bendahara·,Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (YDGRK). Ia berkunjung ke berbagai daerah yang tertimpa bencana alam dan menyampaikan bantuan yayasan itu.

Siti Hediati Prabowo —begitu namanya sekarang— adik Tutut, terpilih sebagai Bendahara Umum HIPSI. Gantian dengan Tutut ia menyerahkan bantuan kepada orang-orang yang tertimpa bencana alam di pelbagai daerah.

Tutut juga jadi Ketua Umum Yayasan Tiara Indah, membantu upaya perajin kecil, misalnya penenun dalam memasarkan produksinya. Yayasan ini telah diberi hadiah Upakarti oleh Pemerintah yang diserahkan Iangsung oleh Presiden. Tutut juga duduk sebagai pimpinan PT Citra Lamtoro Gung Persada. Ia juga anggota Majelis Pemuda Indonesia. Ia memang tertarik pada pekerjaan sosial. Ia katakan, sejak Iahir sampai mati kita ditolong orang lain. Itu ajaran yang kami berikan kepadanya, agar tidak hidup sendirian, tetapi bermasyarakat.

Mereka gerakkan organisasi sosial itu, sehingga sekarang sudah ada empat ratus ribu orang anggotanya, lulusan sekolah kesejahteraan sosial atau sukarelawan yang mendapat Iatihan khusus di bidang kesejahteraan sosial. Tentang ini Tutut berpikir —sesuai dengan ajaran yang diberikan ibunya—pekerja sosial harus profesional, jangan setengah-setengah.

Anak-anak kami juga mengagumi cara kami membina dan mendidik mereka. Saya tidak ingin anak-anak saya mendewakan harta dan pangkat. Yang saya harapkan, mereka meningkatkan ketakwaan dan patuh kepada Tuhan, mengabdi kepada orang tua, masyarakat, negara dan bangsa. Pepatah Jawa menyebutkan, mempunyai harta benda itu tandanya dapat menguasai dunia, hanya saja usahakanlah ketentraman lahir batin, yaitu lahir seimbang dengan batin.

Bagaimana pandangan saya mengenai seseorang yang mendapat rizki cukup di tengah pembangunan kita sekarang? Memang kita mempunyai hak untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar mendapat rizki yang cukup, dan berusaha dengan memperoleh petunjuk dari Tuhan agar kita mendapat keberuntungan. Kalau keinginan kita itu sampai terwujud, jelas kita harus bersyukur. Kalau kita berhasil lagi, patut kita mensyukuri-Nya lagi. Tapi ingat, kita tidak boleh mendewakan harta, melainkan menggunakannya untuk melaksanakan kewajiban kita, ialah berbuat baik kepada sesama manusia.

Kebahagiaan itu tidak terletak pada pangkat dan kedudukan, tetapi pada amal yang baik. Itulah ajaran yang saya berikan kepada anak­anak saya. Tutut menyatakan pada sementara media —juga anak-anak kami yang lainnya saya kira— bahwa ia mengagumi keharmonisan hubungan antara ayahnya dan ibunya.

Kami —istri saya dan saya— memang sama-sama setia, saling mencintai, penuh pengertian dan saling mempercayai. Saya ingat-ingat apa yang telah terjadi di tengah-tengah kami selama ini. Saya teringat akan pihak yang mencoba mendongkel saya. Terdengar issue yang menggugah saya untuk menjawabnya, untuk menerangkan yang sebenarnya.

Issue itu bertautan dengan komisi dan tender. Katanya, istri saya selalu menerima komisi dan menentukan kemenangan suatu tender. Seolah-olah rumah di Jalan Cendana itu, tempat tinggal kami merupakan markas besar untuk menentukan kemenangan tender dan komisi. Sewaktu memberi sambutan pada HUT Kopasandha (Baret Merah) di Cijantung sekian waktu ke belakang, saya jelaskan yang sebenarnya, “Hal itu sama sekali tidak terjadi. Jangankan untuk memikirkan itu, untuk memikirkan kegiatan sosial saja waktunya sudah tidak mencukupi.”

Ada lagi issue lain. Issue itu menyebutkan seolah-olah saya, Presiden RI, mempunyai selir atau simpanan seorang bintang film terkenal. Issue itu rupanya sudah lama beredar dan dibangkitkan lagi menjelang Pemilu 1982. Issue itu berkembang di tengah mahasiswa dan ibu­ibu. Padahal kenal dan jumpa pun saya tidak pernah dengannya. Issue­issue semacam itu cuma upaya buruk dari sementara pihak yang tidak suka pada saya.

***


[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 531-535.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.