Yang Terjadi Adalah Siklus

Jakarta, 10 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak H. M. Soeharto

Jl. Cendana 8

Jakarta Pusat

YANG TERJADI ADALAH SIKLUS [1]

Bismillahi

Dengan hormat,

Setelah mengamati dengan seksama, krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi, berlanjut dengan krisis politik, berlanjut de­ngan krisis kepercayaan dan beakhir pada berhentinya pak Haji selaku Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Kemudian disambung dengan Pemerintahan RI yang baru, dipimpin Prof. Dr. BJ. Habibie, tentang Pemerintahan Transisi atau bukan dan lain-lain. Tuntutan reformasi total tetap saja bergulir, bahkan sampai ke daerah-daerah.

Kita saksikan juga beberapa negara di kawasan ASEAN, Asia Selatan, sampai ke Asia Timur termasuk negara maju Jepang dan Korea Selatan, terkena krisis moneter. Eropa dan Amerika pun telah pasang kuda-kuda, menjaga kemungkinan terkena dampak krismon yang meresahkan itu. Hal ini tampak dari kegiatan Presiden Clinton yang sungguh-sungguh berupaya membantu pemulihan krisis moneter di Jepang dan Korea, juga berusaha membantu Thailand, China dan In­donesia di luar IMF (melalui hubungan bilateral). Juga pemerintah Inggris dan Perancis siap-siap membantu negara-negara yang terkena krismon.

Bapak Haji M. Soeharto yang terhormat.

Melihat gambaran secara sederhana (pengamatan amatiran), saya simpulkan bahwa krisis moneter ini merupakan siklus gejala alam, seperti halnya Siklus Gejala Alam tentang timbul dan tenggelamnya penyakit, timbulnya perubahan cuaca, timbul dan musnahnya binatang­-binatang tertentu dari sejak dahulu kala.

Sama halnya dengan lahirnya suatu zaman yang tidak dapat di­cegah ataupun didorong, seperti halnya zaman Rainesance di Eropa, lahirnya zaman Resesi di Benua Amerika, lahirnya zaman mesin (Revolusi Mesin), zaman penerbangan, zaman atom, zaman angkasa luar, dll. Insya Allah hal ini akan terselesaikan dengan siklus baru dari gejala alam dengan bentuk/prosedur lain. Hanya Allah Swt Yang Maha Mengetahui tentang hari esok.

Hal ini, tidak berarti kita harus berdiam diri, kita harus memeras otak dan keringat, bekerja pada alur alam itu yang barangkali dapat segera bersesuaian dengan siklus itu sendiri menuju perubahan zaman.

Atas analisa itu, saya sangat menyesalkan Pak Haji terlalu cepat berkeputusan untuk berhenti sebagai Presiden RI. Jika saja menunggu sejenak (agak-agak 3 hari), mungkin Pak Haji bisa berbuat lebih banyak. Saya berkata demikian, karena Bapak bisa memimpin Negeri ini selama 32 tahun.

Kini, saya betul-betul mengurut dada setelah Bapak berhenti se­bagai Presiden. Entah mengapa, mungkin gejala alam yang negatif ini masih merayap, sebagian masyarakat telah menghujat, mencemooh, mencaci maki menyampaikan uneg-uneg meneror Pak Haji sekeluarga. Mereka seolah-olah telah lupa, betapa Bapak telah menyelamatkan bangsa ini dari kemungkinan berkuasanya PKI, betapa Bapak telah mengangkat nama Indonesia di persada dunia. Dengan bukti-bukti penghargaan dari berbagai Institusi tingkat Internasional, betapa Bapak telah melekat pembangunan dasar infra maupun supra struktur yang nyata-nyata dapat dilihat dengan mata kasat. Saya berdo’a kepada Illahi Robbi, semoga kiranya Pak Haji sekeluarga diberi kekuatan Iman, Islam atas musibah yang berat ini, dan semoga cepat dapat mengatasinya.

Atas hormat saya, cinta saya dan kekaguman saya kepada Bapak, saya tidak terpengaruh oleh kejadian-kejadian, perbuatan-perbuatan negatif yang menyakitkan dari mereka yang memanfaatkan situasi bagi kepentingan masing-masing. Dalam kapasitas saya sebagai Warga Negara biasa (awam), ingin sekali turut merehabilitasi nama baik Bapak sekeluarga dengan cara yang sesuai dengan petunjuk Bapak, jika mungkin. (DTS)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Hormat saya,

Zainal Afiatin D. Brakiti

Jakarta Timur

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 681-682. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.