Mengenai Mereka yang Keturunan Cina[1]
Menjelang perayaan Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agustus 1973, terjadi kerusuhan rasial di Bandung yang sangat menjengkelkan. Peristiwa ini tak ubahnya dengan kejadian 10 Mei 1963, yang kalau tidak cepat diatasi bisa menjalar dan sangat membahayakan usaha pembangunan kita.
Saya melihat kejadian yang menyangkut soal pribumi dan non pribumi itu sebagai sesuatu yang sama sekali tidak patut, sebagai tindakan main hakim sendiri. Saya kemukakan pendirian saya tentang hal ini di depan Sidang DPR-GR. Main hakim sendiri, oleh seseorang terhadap orang lain, oleh kelompok orang terhadap kelompok yang lain, merusak harta benda atau nama baik orang lain dan perbuatan-perbuatan sejenisnya, benar-benar merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab. Alat-alat keamanan dan penegak hukum telah saya instruksikan agar bertindak tegas. Semua yang bersalah dan melanggar hukum harus diajukan ke pengadilan dengan segera. Seluruh lapisan masyarakat saya ajak agar mampu menahan diri, demi terpeliharanya ketertiban dan kelancaran pembangunan. Menahan diri dalam arti yang seluas-luasnya; bukan hanya tidak gampang berbuat “menjadi hakim sendiri”, bukan tidak hanya melanggar hukum, melainkan, yang juga sangat penting adalah: jangan bertingkah laku atau bersikap hidup yang dapat merusak perasaan golongan yang lain; lebih-lebih yang tidak menghargai perasaan rakyat banyak.
Ketidaksenangan saya terhadap peristiwa ini adalah karena sebenarnya sekian tahun ke belakang saya sudah bicara mengenai orang-orang keturunan Tionghoa ini. Di bulan Agustus tahun 1967 saya sudah bicara mengenai orang-orang keturunan Cina itu. Kepada seluruh rakyat, kami serukan agar tidak terjebak ke dalam kegiatan-kegiatan yang menjurus kepada rasialisme. Kita harus menarik garis yang jelas antara orang Cina warganegara asing dan warga negara Indonesia keturunan Cina. Warganegara Indonesia keturunan Cina, meskipun ia keturunan Cina, ia adalah warganegara Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan warganegara Indonesia Asli.
Kepada warganegara Indonesia keturunan Cina waktu itu kami serukan untuk tidak menunda-nunda lagi berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia (asli). Terhadap orang Cina warga negara asing akan tetap diberikan perlakuan seperti yang diberikan kepada warganegara asing lainnya, sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan internasional yang berlaku, tanpa mengurangi kewaspadaan kita terhadap kemungkinan-kemungkinan usaha-usaha subversi dan infiltrasinya.
Begitulah pendirian saya dan tindakan saya mengenai persoalan ini.
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 278-279