Mohon Ijin Bertanya

Kupang, 14 September 1998

Kepada

Yth. Bapak Soeharto (mantan Presiden RI)

di Jakarta

MOHON IJIN BERTANYA [1]

 

Dengan hormat,

Apakah benar bahwa terhadap putra bangsa yang namanya H. Muhammad Soeharto, Tuhan Yang Maha Adil, Maha Benar, dan Maha Baik itu, hanya menempatkan dirinya di dunia ini sebagai ciptaan yang serba tidak benar? Yang pasti, melalui berbagai Mimbar bebas yang digelar di penjuru-penjuru Ibu kota Jakarta, tidak pernah di­kemukakan tentang kebaikan, kebenaran yang pernah diperbuat oleh Bapak Soeharto dalam kedudukannya sebagai Presiden RI ke – II, yang ditonjolkan hanya serba salah melulu. Berangkat dari kondisi phsikologis seperti itu, kita memasuki Reformasi dan harus membuat ramalan ke depan dari perjalanan hidup bangsa dan negara.

Kegagalan dari sesuatu ramalan selalu terjadi karena kegagalan dalam memberikan arti yang sebenarnya pada masa silam, sebab berbagai perubahan dalam pola-pola itu sendiri, justru sangat sedikit kita pahami duduk persoalan yang sebenarnya, tetapi mau saja meramal tanpa penataan sesuatu sistem rekaan yang pengaturannya dapat diketahui karena kita sendirilah yang menciptakannya.

Untuk mengetahui secara benar dan pasti, lebih baik kita bertanya sebagai bentuk ekspresi kejiwaan karena kita ingin mendapatkan jawaban yang validitasnya teruji dan terpercaya. Berlagak tahu tetapi sebenarnya memang tidak tahu, berlagak tahu, itu menipu diri sendiri yang membuat diri sendiri lebih potensial dalam menipu orang lain di luar diri sendiri, yang hakekatnya tidak lain daripada pelunturan nilai-­nilai kemanusiaan dari diri sendiri melalui daimonion, suara hati, bisikan sukma, yang menyalurkan Hikmah Allah terhadap setiap manusia makhluk Theonom, taat pada hukum dan perintah Tuhan.

Teringat kami akan pesan alm. El Tari mantan Gubernur NTT tercinta: “Bila engkau menemui kesulitan dalam perjalanan menuju masa depan, lakukanlah reformasi dalam arti kembali kepada Sumber Kebenaran, Sumber Keadilan, dan Sumber Kebaikan”. Itu berarti, reformasi bagi manusia makhluk yang Theomonom, bukan revolusi membongkar sampai ke akar-akarnya hingga pada perombakan tujuan.

Dalam persepektif ini, reformasi berarti penyempurnaan struktur organisasi kerja, menyempurnakan Prosedur dan Sistem Kerja. Menyempurnakan mental aparatur/rakyat. Hanya dengan cara ini, kita masih tetap mempertahankan eksistensi Negara RI sebagai Negara Hukum, kita masih mau menegara dengan konstitusinya adalah UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional dengan Pancasila sebagai Landasan Ideal.

Hakekat kedudukan Pancasila yang tunggal, sekaligus determinan bagi perjalanan hidup bangsa, adalah merupakan dasar dari filsafat tentang Kedaulatan Rakyat, dalam rangka kita menegara dengan tujuan uni­versal, yakni terciptanya Ketertiban Dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam Cakrawala pandang seperti ini, dan hanya seperti inilah kita akan terus bercermin ke demokrasi pihak lain (dunia barat), dalam kaitannya dengan masalah: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Demokrasi yang kita geluti dan anuti, haruslah berdasarkan prinsip dinamic equivalen dalam melakukan transposisi yang dikenal dalam dunia linguistik.

Ini berarti demokrasi berazaskan Pancasila, bukan bernafaskan Individualisme dari zaman renaisanse, yang tidak relevan dengan kemanusiaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Kerakyatannya harus dipimpin oleh Hikmah Tuhan dalam situasi penuh hikmah, melahirkan kebijaksanaan yang sahi, hakiki, yang memberikan hidup dan kehidupan ini semakin bermakna.

Marilah kita bertanya pada diri sendiri, tentang:

  1. Bila kita masih mempertahankan UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional dalam bernegara dan menegara, mengapa bukan suara MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang kita dengar, tetapi justru yang diikuti adalah suara sumbang yang menggelegar di berbagai Mimbar Besar yang digelar di mana­-mana?
  2. Secara Yuridis Konstitusional MPR yang adalah penjelmaan seluruh rakyat, selalu menyatakan “menerima baik Pidato Pertanggung­ jawaban Presiden mulai PELITA I s/d VI”. Artinya apa yang dilakukan Presiden Soeharto selama itu, baik dan benar. Sebaliknya melalui Mimbar Bebas berbagai orator dadakan mengatakan semua yang dikerjakan Presiden Soeharto salah melulu. Persoalannya, dilihat dari aspek Konstitusi, apakah secara yuridis formal komentar orator dadakan itu harus diterima sebagai baik dan benar, ataukah Pernyataan MPR inilah yang harus benar.
  3. Secara Konstitusional, sampai dengan Bapak H. Muhammad Soeharto lengser keprabon tanggal 21 Mei 1998, MPR belum pernah memberikan penilaian bahwa apa yang telah dikerjakan oleh Beliau semenjak Pelita I s/d VI adalah salah. Dari ketentuan Konstitusi UUD 1945, MPR menilai Presiden Soeharto telah menunaikan tugas kepresidenannya dengan baik. Sebaliknya, konstitusi mana yang dipergunakan hingga penilaian berbagai orator dadakan di mimbar-mimbar bebas itulah yang benar?
  4. Kenyataan penilaian berbagai orator dadakan di mimbar-mimbar bebas menyangkut tugas pekerjaan Presiden Soeharto, justru didasarkan pada: “saya kira, saya sangka”. Jelas tidak pasti; ini konstitusi model apa??? Bukankah ini sebuah cara mendatangkan dehumanisasi? yang hendak diperangi dalam perjuangan bangsa yang bermakna “rehumanisasi”? Apakah itu bukan “makar” sebab kewibawaan rakyat melalui Lembaga MPR, ternyata dilecehkan.
  5. Jika setelah Presiden Soeharto tidak bertugas lagi sebagai Presiden, lalu kembali sebagai rakyat biasa, kita harus menuruti kehendak pihak-pihak tertentu untuk memeriksa harta kekayaan Presiden Soeharto bersama keluarganya, persoalannya dari mana kita mengetahui bahwa ada harta yang diperoleh ketika sedang menunaikan tugas Presiden, sedangkan sewaktu akan menjabat sebagai Presiden kita tidak pernah mengetahui apa saja kekayaannya sebab tidak diperiksa? Apa ada aturan bahwa untuk menjadi Presiden harus orang miskin, atau tidak boleh kaya?
  6. Persoalan Presiden Soeharto menjabat hingga 32 tahun, timbul pertanyaan tentang apakah jika rakyat melalui MPR tidak mengangkat dirinya untuk terus menjadi Presiden selama 32 tahun, dapatkah beliau menjabat Presiden untuk 32 tahun tersebut? Fakta membuktikan bahwa Bapak Soeharto telah lengser keprabon, begitu diketahui bahwa rakyat tidak menghendaki dirinya menjadi Presiden. Jika memang pengangkatan Bapak Soeharto menjadi Presiden selama 32 tahun oleh MPR tersebut bertentangan dengan kehendak rakyat Indonesia, maka apakah tidak benar bahwa semestinya rakyat Indonesia terlebih dahulu membuat Mosi tidak Percaya pada MPR?
  7. Mungkinkah tanpa disertai Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, oleh Bank Swiss dan lain sebagainya membenarkan adanya permintaan pemerintah/rakyat Indonesia untuk melakukan pemeriksaan menyangkut penyimpanan uang presiden Soeharto seperti yang dituduhkan kepadanya? Jika semua itu hanya didasarkan pada adanya kecurigaan sementara pihak tertentu, bahwa Bapak Soeharto memiliki simpanan di bank Luar Negeri, maka tanpa prosedor hukum yang pasti haruslah kita penuhi saja?
  8. Siapa yang sebenarnya secara formal telah melakukan pengaduan/pelaporan menyangkut uang-uang yang diperoleh Bapak Presiden Soeharto secara tidak wajar sewaktu menjabat Presiden, lalu disimpan di bank Luar Negeri? Jika memang ada, boleh saja Bapak Soeharto diperiksa, disidik, dan bila tidak terbukti secara sah melalui putusan Pengadilan, maka apakah tidak berarti terbuka kesempatan bagi Bapak Soeharto untuk membuat pengaduan pidana fitnahan?

Kami anjurkan agar semua yang dipandang salah dalam kaitannya dengan Bapak Soeharto, sebaiknya mereka yang berkomentar diwajib­kan mengajukan pengaduan/melapor secara formal, agar jika tidak terbukti, berarti ada kesempatan bagi Bapak Soeharto menuntut Pemulihan Nama Baiknya.

Akhirnya terima kasih kami persembahkan. (DTS)

Hormat kami,

FORUM PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA INDONESIA

(F.P.K.B.I) NUSA TENGGARA TIMUR

Drs. Michael Betty                                           Richard Rondo                                                   Jack Sine

Ketua                                                                    Wakil Ketua                                                        Wakil Ketua

                                                                            Drs. C.O Bokotei

                                                                            Sekretaris/Jubir

[1]       Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 511-514. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.