AMNESTI – ABOLISI DAN DEKRIT PRESIDEN

AMNESTI – ABOLISI DAN DEKRIT PRESIDEN

 

 

Oleh : Sutan Ali Asli

“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi itu. “

Dekrit Presiden Republik Indonesia I Panglima Tertinggi Angkatan Perang Dijepit dan Diselamatkan

Marilah kita lihat apa arti Amnesti – Abolisi itu!

Sekitar pertengahan tahun 1960, kolonialis Belanda melakukan “unjuk kekuatan” terhadap Republik Indonesia, dengan mengirimkan kapal induk Karel Doorman ke Irian Barat.

Tampaknya Belanda hendak menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda atas Irian Barat melalui kekuatan senjata. Atau Belanda hendak menekan Indonesia dengan ancaman militer, agar Indonesia dapat menerima syarat-syarat perundingan yang didiktekan Belanda.

Jalan pikiran kolonialis Belanda itu realistis dan pragmatis mengingat kondisi Indonesia saat itu. Negeri ini sedang dikoyak-koyak oleh pemberontakan yang amat luas, sehingga bila dipandang dari luar, sudahlah berada dalam situasi “sekarat”. Ekonomi negara hancur dan lumpuh, pembangunan terbengkalai oleh berbagai kekacauan yang timbul (jangan dibalik melihatnya).

Kegiatan subversive berkeliaran di mana-mana, yang siap menunggu atau sewaktu-waktu mencari kesempatan untuk mengobar­ngobarkan bencana yang lebih besar. Selain itu, kaum Imperialis Barat tidak bersedia menjual senjata pada pemerintah Indonesia (tapi rela hati memberikan senjata untuk pemberontak, bandingkan dengan Amerika Serikat dengan pemberontak “Contras” di Nikaragua sekarang).

Belanda ingin memanfaatkan keadaan yang parah ini, dan berusaha menekan Indonesia dengan jalan menakut-nakutinya melalui kekuatan senjata.

Mengingat para “diplomat” pemberontak bebas berkeliaran di Paris, New York, London, Amsterdam, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Manila dan Hongkong, bukan barang mustahil telah terjadi kontak-kontak dengan pihak imperialis tersebut, yaitu usaha untuk memperburuk keadaan dalam negeri Indonesia.

Hubungan itu memang tidak langsung dengan Belanda, tetapi melalui sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat. Diharapkan, gerakan bersenjata Belanda itu dapat menguntungkan pemberontak, dan untuk selanjutnya akan menguntungkan Belanda pula serta sekutu-sekutunya.

Pemerintah Indonesia dapat membaca semua ancaman bahaya yang semakin menggenggam batang leher Republik Indonesia ini, dan untuk mengatasinya pemerintahan Presiden Sukarno membuat pilihan-pilihan dan prioritas-prioritas.

Pilihan ekonomi sangat mungkin, namun belum tepat untuk diprioritaskan. Karena berapapun besarnya trilyun rupiah yang hendak ditimbulkan untuk pembangunan dan memajukan perekonomian negara, maka dalam negara yang sedang dilanda kekacauan dan kerusuhan yang begitu luas, maka timbunan uang bertrilyun-trilyun rupiah itu dengan segera akan menjadi umpan api.

Pilihan ini sia-sia, dan malah mungkin menjadi bumerang yang akan memukul balik pemerintah sendiri. Inilah salah satu sebab dari sekian banyak sebab, mengapa Orde Lama “belum sempat” membangun secara menggebu-gebu, namun sudah memulainya juga.

Pilihan jatuh pada usaha pemulihan keamanan di seluruh negeri, dan pilihan ini diletakkan pada prioritas pertama. Itu berarti usaha pemerintahan terhadap kekuatan pemberontak harus ditingkatkan, serta sudah harus selesai sebelum Belanda mempunyai kesempatan memperkuat kedudukan tentaranya di Irian Barat.

TNI dengan seluruh jajarannya mempertinggi gempurannya. Kawasan hutan di mana kawanan pemberontak bersembunyi dikepung dan disirami dengan tembakan. Dari saat ke saat ruang gerak mereka semakin dipersempit, terus terjepit, dan memasuki tahun 1961 hampir putuslah nafas mereka.

Keadaan sangat genting, dan amat membahayakan keselamatan pimpinan pemberontak. Patut diingat, pimpinan pemberontak itu pernah menjadi orang-orang terkemuka di negeri kita ini, serta pernah menjadi sahabat dan kawan sepengabdian Presiden Sukarno pada bangsa. Bagaimanapun pahitnya perpecahan telah terjadi, mereka yang diancam bahaya kematian di hutan­hutan itu perlu diselamatkan.

Bagi mereka yang tidak memahami betul pertumbuhan sentimen pro dan kontra pemberontakan di Sumatera Tengah dari awal, barangkali tidak dapat memahami sepenuhnya keadaan kritis yang Jaya gambarkan di atas. Padahal bahaya itu begitu nyata yang datang dari Pemuda Rakyat/PKI dan OPR/PKI.

Hampir dalam setiap operasi pembersihan, OPR/PKI adalah pasukan sukarela bersenjata yang berada paling depan. Dengan demikian, bahaya tertangkap lebih dahulu oleh OPR/PKI lebih mungkin dari pada oleh APRI. Perlu kita catat, dorongan Pemuda Rakyat/PKI bergabung dalam OPR/PKI untuk memenuhi dendam yang bersarang di hati mereka. Tujuan dendam itu adalah pemimpin pemberontak.

Kita kembali ke hutan, dimana seluruh kekuatan pemberontak berada dalam ujung ancaman bahaya, terutama para pemimpinnya. Di saat yang genting itulah Presiden Sukamo mengulurkan tangan keselamatan dengan Amnesti-Abolisi. APRI telah menghancurkan PRRI sebagai organisasi kekuatan pemberontak, dan Presiden Sukarno datang menyelamatkan orang­orangnya, pemimpin dan para tokohnya, serta rakyat yang mengikutinya.

Ada satu orang yang tidak sempat diselamatkan, dia telah menjadi korban kecurangan OPR/PKI, yaitu Kolonel Dahlan Jambek. OPR/PKI memberikan alasan, bahwa mereka belum mendengar berita Amnesti-Abolisi ketika Dahlan Jambek ditemukan dalam daerah pembersihan. Mereka mengaku. tidak mengenal Dahlan Jambek. Begitulah berita yang kita dengar sekitar kematian Dahlan Jambek.

Amnesti-Abolisi itu telah menyelamatkan pimpinan pemberontak bersama seluruh pengikutnya, sedangkan pada pihak lain, PKI sangat merasa kecewa. PKI telah kehilangan kesempatan emas untuk melepaskan dendamnya. Juga kesempatan yang luas untuk menguasai jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan jadi terhalang.

Sebab, guru-guru, pegawai­pegawai, tentara dan polisi yang terlibat PRRI dikembalikan pada pekerjaannya semula, gaji mereka yang tidak diterima selama mengikuti PRRI dibayarkan pula. Sedang mereka yang sudah cukup umur untuk pensiun, dipensiunkan. Tak seorang pun dari mereka yang kehilangan hak kepegawaiannya. Inikah cermin dari satu kezaliman?

Mereka yang diselamatkan itu tidak merasa diselamatkan. Mereka hanya merasa dikalahkan. Tidak heran kalau rasa berterima kasih tidak terbit dari hati mereka. Baik mereka yang dijemput dari hutan, atau mereka yang menjadi pendukungnya di kota, bersatu rasa dalam memupuk kebencian terus pada Presiden Sukarno.

Di pihak lain PKI merasa sangat kecewa. Niat balas dendam pada pimpinan pemberontak tidak terlaksana, di samping usaha untuk menguasai jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan seluas-luasnya di daerah-daerah kacau itu tidak sepenuhnya terkabul. Dengan kemampuan menyembunyikan perasaan kecewa. PKI memupuk kebenciannya secara diam-diam pada Presiden Sukarno.

Yang juga sangat kecewa tentulah Belanda. Dia tidak menduga kalau Indonesia yang dipandangnya hampir hancur itu mampu bangkit, dan kini seluruh kekuatan tentara Indonesia bersama rakyat yang sadar ideologis bersatu padu menghadapi Belanda.

Sejarah mencatat, Belanda akhimya terusir dari Irian Barat. Kekayaan yang tidak direlakan, tentu masih memiliki niat jahat berkelanjutan.

Imperialis Amerika Serikat beserta kawan-kawannya lebih kecewa lagi. Boneka-bonekanya dengan mudah dapat digulung. Amerika tidak menyerah, berbagai kegiatan dilakukannya untuk menyampaikan niatnya untuk menguasai Indonesia.

Dapat pembaca lihat betapa kekuatan yang saling berbenturan, berada disekitar kekuasaan Presiden Soekarno, dan semuanya itu secara sendiri­sendiri atau bersama-sama berusaha hendak membinasakan kekuasaan Presiden Soekamo.

Periode ini sangat rumit dan pelik untuk dikaji.

Kita persilahkan ahli sejarah menelaahnya. Tentu saja tidak perlu pakai “kata ridha” dan “kata Bendu”.

Masyumi Semestinya Dapat Diselamatkan Pemimpinnya Uluran tangan Presiden Sukamo untuk menyelamatkan Masyumi tidak disambut oleh pimpinan Masyumi, belum pernah ada kebijaksanaan politik Presiden Sukarno yang begitu memihak pada sesuatu kekuatan politik atau golongan agama, kecuali hanya untuk Masyumi dan Islam. Kebijaksanaan atau keputusan politik yang saya maksud ialah Dektrit Presiden 5 Juli 1959.

Seperti yang sudah saya kutipkan diatas tulisan ini, Presiden Sukarno berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 serta merupakan kesatuan rangkaian tak terpisahkan dari konstitusi itu.

Dengan demikian kembali ke UUD 45 berarti ajakan untuk menempatkan Piagam Jakarta sebagai dasar bagi kehidupan hukum keagamaan di Indonesia, khususnya Islam.

Ajakan untuk kembali ke UUD 1945 secara demokratis di Konstituante gagal, maka untuk menembus kemacetan sistem kenegaraan, malm kembali ke UUD 1945 dilakukan dengan Dektrit.

Agar jalan pikiran Presiden Sukarno dapat dipahami secara utuh, perlu saya kutipkan ini pidato Presiden Sukarno di Konstituante tanggal 22 April 1959 yang berjudul, “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica”, antara lain : “Untuk mendekati dengan penyelesaian dan pemeliharaan keamanan diakui adanya “Piagam Jakarta” tertanggal 22 Juni 1945, yang ditanda tangani oleh Sukarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno, Cokrosuyoso, A.K. Muzakir, Agus Salim Akhmad Subarjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin”.

Untuk keterangan lanjutan marilah kita kutip penjelasan berikutnya, “Maka untuk penyelesaian masalah keamanan itu harus diusahakan persatuan sebesar-besarnya dari pada seluruh potensi nasional kita, seperti juga untuk menormalisir keadaan di bidang-bidang politik, militer dan sosial ekonomi.

Untuk memulihkan setidak-tidaknya haruslah diikhtiarkan persatuan yang sebesar-besarnya antara semua golongan dalam masyarakat Indonesia, termasuk umat Islam, yang mempakan golongan yang terbesar dalam masyarakat kita”.

Selanjutnya dikatakan, “Hal ini dapatlah tercapai, Insya Allah dengan kembali ke Undang-undang Dasar ’45 dan menurut hemat saya, jalan itu dapat disetujui oleh umat Islam dengan diakuinya secara khas akan adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang mendahului Undang-undang Proklamasi 17 Agustus 1945”.

Dengan jujur Presiden Sukarno mengatakan “Pengakuan itu jelas tidak bersifat insidentil. Walaupun Piagam Jakarta tidak merupakan bagian dari pada Undang-undang Dasar ’45 diantaranya meniliktanggalnya 22 Juni 1945 dan bukan 17 Agustus, tetapi naskah itu sebagai dokumen historis besar artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia, dan sebagai bahan untuk menyusun Pembukaan Undang-Undang Dasar ’45 yang menjadi bahagian dari pada konstitusi proklamasi.

Ditambahkan, “Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis berarti pula pengakuan akan pengamhnya terhadap Undang-undang Dasar ’45, tidakhanyamengenai pasal 29 Undang-Undang Dasar ’45, pasal mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan”.

Lebih jauh ditegaskan boleh Presiden Sukarno, “Dengan pengakuan adanya Piagam Jakarta dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar ’45 itu diharapkan dapat dipulihkan. setidak-tidaknya diperkuat, potensi nasional kita, guna menyelesaikan masalah keamanan dan melaksanakan pembangunan semesta secara yang lebih lancar di masa yang akan datang”.

Begitu jelas kejujuran pikiran Presiden Sukarno hendak mempersatukan kekuatan bangsa, temtama untuk menyatukan potensi umat Islam, yang disampaikan di depan bidang Konstituante (Badan penyusun UUD), agar secara ikhlas kembali ke UUD 1945, namun sebahagian kecil umat Islam yang duduk dalam lembaga itu tidak memenuhi ajakan Presiden dan Pemerintah Juanda.

Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, saya dapat memahami kehendak wakil golongan Islam di Konstituante, yang hendak memajukan dan memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara.

Hal ini saya pahami betul­betul mengingat sudah semenjak di Dokoritzu Zyunbi Coosakai hal itu dimajukan dan diperjuangkan dengan gigih. Piagam Jakarta yang disebut-sebut sebagai dokumen historis dan menjiwai UUD 1945 adalah usaha optimal golongan islam di Dokoritzu Zyunbi Coosakai tersebut, yang pada tanggal 10 Juli 1945 ditetapkan sebagai “Pembukaan UUD”.

Tetapi kemudian, oleh beberapa orang pemimpin Indonesia, tanpa persetujuan yang lainnya, anak kalimat yang berbunyi, “dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”, telah dicoret. Bung Karno yang telah mempertahankan kalimat ini mati-matian sebelumnya, untuk menghindari perpecahan terpaksa menerima hasil coretan itu.

Piagam Jakarta yang sudah dibersihkan dari kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” sisanya itulah yang dijadikan “Pembukaan” UUD 1945 sekarang, disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari sesudah Proklamasi oleh PPKI.

Rasanya, sejarah ini semakin dikorek semakin memihak Bung Karno dan orang-orang yang selama ini menuduhnya anti Islam dan pro PKI, akan malu sendiri. Karena sejarah yang semakin dikorek itu akan membersihkan Bung Karno dari tuduhan yang bukan-bukan.

Pencoretan kalimat yang dimaksudkan diatas, merugikan umat Islam, dan adalah wajar kalau kemudian umat Islam memperjuangkannya kembali dengan gigih dalam setiap kemungkinan dan kesempatan. Kesempatan dan kemungkinan itu dibukakan oleh Demokrasi Liberal atas landasan UUDS 1950, dan Konstituante adalah salah satu medannya.

Sangatlah disayangkan, sebahagian wakil golongan Islam di Konstituante terlalu kaku. Mereka kurang mampu bersiasat, serta mereka kurang bijak memahami kearifan sejarah, padahal negara ketika itu dalam kemelut yang berat, sistim mekanisme kenegaraan macet, absolutely at stake. Presiden Sukarno harus bertindak, menerobos kemacetan, lahirlah Dekrit kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.

Kalau di Konstituante terlihat kekakuan sebagian wakil golongan Islam, maka terhadap Dekritpun kekakuan itu masih terlihat. Masyumi kurang bersemangat menerima Dekrit itu.

Tinjauannya terhadap Piagam Jakarta yang dinyatakan Dekrit sebagai menjiwai UUD 1945, tidak mendalam. Pandangan masyumi lebih ditujukan pada lahirnya Dekrit, yang dinilainya tidak konstitusionil.

Penilaian semacam ini sejalan dengan penilaian PSI, tetapi patutkah Masyumi mengikuti jalan pikiran PSI, padahal PSI tidak punya kepentingan apa-apa dengan urutan agama. Titik berat tinjauan Masyumi haruslah Piagam Jakarta itu terlebih dahulu, dan Dekrit telah memberikan sebahagian yang hilang pada Masyumi khususnya, atau umat Islam umumnya.

Pimpinan Masyumi semestinya menerima Dekrit dengan sepenuh­-penuhnya, dan dengan bersemangat. Dengan penerimaan yang ikhlas itu, Masyumi dapat merundingkan penyelesaian pemberontakan dengan Presiden Sukarno dan Pemerintah.

Jadi bukan partai saja yang akan dapat diselamatkan, tetapi para tokoh Masyumi yang terlibat pemberontakan dapat pula diselamatkan. Sudah barang tentu juga rakyat. Bila itu berhasil, saya yakin berhasil, Masyumi akan jadi pahlawan. Jalan ini tidak ditempuh oleh pimpinan Masyumi, uluran tangan Presiden Sukarno tidak disambut.

Mengapa Masyumi tidak menempuh jalan yang lurus itu?

Matanya sudah gelap ke arah Piagam Jakarta yang menguntungkan umat Islam Indonesia tersebut. Pandangannya diarahkan oleh rekan oposisinya PSI ke arah Dekrit yang Inkonstitusionil.

Bila Masyumi menempuh jalan Piagam Jakarta, PSI akan tersisih sendirian. PSI tidak mau terpencil, karenanya dia harus dapat mempengaruhi Masyumi. PSI ini partai kecil yang tak diikuti massa, tetapi para pemimpinnya sangat lihai dan cerdik memainkan politik. Masyumi yang besar dapat dipengaruhinya, sadar atau tidak disadari oleh pimpinan Masyumi.

Masyumi telah terlanjur bubar, akibat dari kekurang piawaian pimpinannya menjalankan politik. Hanya ada satu kecerdikan pimpinan Masyumi yang mengesankan saya, yaitu kemampuan mereka menutupi kesalahan terhadap anggota partai.

Pembubaran Masyumi bukan karena kekeliruan Pimpinan Masyumi menjalankan politik, tetapi adalah karena Sukarno yang diktator pro PKI. Keterangan macam ini bukan hanya masuk otak, tapi meresap dalam ke jantung setiap anggota Masyumi.

Mereka terima keterangan itu, dan semua mereka sepakat untuk menimpakan tanggung jawab pada “Sukarno yang diktator dan pro komunis”, sehingga Pimpinan Masyumi lepas dari tuntutan bertanggung jawab.

Kesetiaan anggota terhadap pemimpin dalam Masyumi memang hebat dan luar biasa. PKI pun tidak memiliki rasa kesetiaan yang begitu tinggi. Itulah sebabnya mengapa sampai hari ini kita tidak pernah mendengar adanya “Oto kritik dikalangan Masyumi, pada hal orang PKI mengenalnya”.

Yang menarik lagi dari Masyumi ialah, tidak timbul usaha saling jegal di kalangan pimpinan. Suasana pada waktu itu memungkinkan untuk lahirnya “pembajakan” pimpinan partai. Ini tidak terjadi. Soalnya, karena memang tidak lahir nafsu saling jegal tersebut diantara sesama pimpinan.

Selain itu patut pula diingat, baik Pemerintah Juanda, atau kemudian Pemerintahan Presiden Sukamo, tidak punya niat jahat pada partai-partai, khususnya Masyumi. Sampai hari ini belum kita dengar adanya usaha adu domba di kalangan Masyumi yang didorong oleh kekuasaan ke dua pemimpin, pada hal sudah diketahui oleh umum, ada pertikaian di antara pimpinan Masyumi.

Begitulah warta sejarah kita sampaikan sekitar Amnesti-Abolisi dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang bertujuan untuk menyelamatkan bangsa dan negara oleh Presiden Sukarno.

Dalam hal-hal yang baik dan mulia ini, masih saja ada orang tidak ikhlas pada Bung Karno. Agaknya, Ronggowarsito pun juga tidak, karena obyektivitas fakta dan penulisan sejarah tidak ditentukan oleh suatu ramalan. (RA)

Jakarta, Merdeka

Sumber : MEDEKA (03/12/1986)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 570-578.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.