CAMKAN DALAM-DALAM WATAK KERAKYATAN PEMBANGUNAN
Tajuk Rencana :
SEBAGAI Mandataris MPR, Presiden Soeharto adalah pelaksana amanat rakyat yang dituangkan dalam UUD 1945, GBHN, dan TAP-TAP MPR yang lain.
Oleh sebab itu, amatlah wajar bila beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan agar amanat rakyat yang harus diemban itu selalu menjiwai dan dijadikan pedoman dalam setiap langkah melaksanakan pembangunan.
Salah satu amanat rakyat yang paling mendasar diingatkan Presiden kernbali, ketika meresmikan dua pabrik teh di Panglejar, Jawa Barat, Rabu lalu.
Ditegaskan Presiden, watak kerakyatan dari pembangunan harus dicamkan sedalam-dalamnya, dan tercermin dengan jelas dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
Ini merupakan keputusan politik tertinggi, kata Presiden. Sebab, cita-cita kemerdekaan adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur sera lestari berdasarkan Pancasila.
BILA dikaji kembali sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan jelas sekali dapat dilihat bahwa setiap tahap perjuangan dengan sasaran-sasaran yang hendak dicapai selalu dijiwai, dinafasi, dan diwarnai watak kerakyatan.
Inilah yang menyebabkan UUD 1945 dan falsafah bangsa, Pancasila, sepenuhnya berwatak kerakyatan. Mulai dari Pembukaan sampai ke 37 Pasal UUD sarat dengan jiwa dan watak kerakyatan, bahkan, Bab XIV UUD yang mengatur masalah-masalah ekonomi, sama sekali bukan berjudul ekonomi, melainkan “Kesejahteraan Sosial”.
Susunan perekonomian, pengelolaan, dan pemanfaatan hasil-hasilnya yang ditetapkan dalam Bab itu sepenuhnya berwatak kerakyatan.
DENGAN dimulainya Pelita IV watak kerakyatan mestinya makin dipertajam. Sebab, kurun waktu Pelita IV harus digunakan untuk menciptakan kerangka landasan yang dimantapkan lagi dalam Pelita V, untuk kemudian lepas landas dalam Pelita VI.
Andaikata dalam Pelita IV kerangka landasan yang diciptakan itu tidak, atau kurang menunjukkan watak kerakyatan yang makin tajam, dikhawatirkan susunan perekonomian Indonesia selanjutnya akan lain dari apa yang dituntut UUD 1945.
IZINKAN kita meminta perhatian yang sungguh-sungguh mengenai hal ini. Sebab, bila diteliti perkembangan perekonomian dunia dalam dua dasawarsa belakangan ini, di pelbagai negara berkembang cenderung kelihatan pergeseran watak perekonomian bila diuji dengan konsepsi yang semula diletakkannya.
Bahkan perkembangan di Cina komunis, misalnya, akhir-akhir ini menimbulkan kesan mulai berkembang pola perekonomian yang sedikit banyak mengaburkan watak komunisnya.
Mungkin kecenderungan itu hanya akibat kebijakan-kebijakan taktis guna mengejar ketinggalan. Tetapi, bila kecenderungan itu sempat mengakar, agaknya akan sulit untuk kembali ke pola komunis.
SEBAGAI bagian dari perekonomian dunia kita tidak bisa mengelakkan saling ketergantungan yang makin mewamai perekonomian dunia. Soalnya, bagaimana memanfaatkan saling ketergantungan itu untuk makin mempertajam dan memperkuat watak kerakyatan perekonomian Indonesia, tapi tidak sebaliknya.
Dalam hubungan itulah penegasan Presiden Soeharto yang tidak jemu-jemunya, seperti diulangi kembali pada kesempatan yang disinggung tadi, tidak sedetik pun boleh dilupakan oleh setiap lapisan perencana dan pelaksana pembangunan di bidangnya masing-masing.
Begitu watak kerakyatan sempat mengabur, hasil yang akan diperoleh dari pembangunan akan lain sama sekali dari amanat yang kita tuangkan bersama dalam UUD 1945. (RA)
…
Jakarta, Suara Karya
Sumber : SUARA KARYA (18/05/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 605-606.