Pasuruan, 11 Juli 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto
di Jl. Cendana No. 6
Jakarta Pusat
DESA KAMI SEKARANG MAKMUR [1]
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya lahir di Dusun Tembero, Desa Tenggulangin, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, yaitu tempat pabrik susu Nestle yang pemah Bapak resmikan pada tahun delapan puluhan.
Pada tahun 1982/1983, ketika sedang belajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarga, saya pernah melayangkan surat keluhan dan protes. Saya bersama masyarakat desa merasa belum pernah menikmati hasil pembangunan.
Surat keluhan dan protes itu saya sampaikan lewat Kotak Pos Pengaduan yang dibuka oleh Bapak Sudomo. Dalam pengaduan saya sampaikan, bahwa di desa kami belum ada bangunan Sekolah Dasar, sehingga 100% penduduknya buta huruf.
Saya sendiri harus mengikuti pendidikan lewat pelajaran yang diberikan di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan selama dua belas tahun, dan kemudian melanjutkan belajar ke Yogyakarta pada tahun 1980.
Perasaan kecewa hingga mengajukan protes terhadap keadaan lingkungan kami itu memuncak pada tahun 1982/1983, ketika saya pulang kampung. Saya melihat betapa sangat jauh perbedaan kehidupan di Yogyakarta dengan masyarakat di desa saya.
Saya melihat anak-anak yang berusia 5-10 tahun bermain dengan bertelanjang bulat dan belum mengenal pendidikan formal. Sedangkan hasil pertanian sebagai mata pencaharian penduduk setempat sangat tergantung pada musim hujan.
Alhamdulillah, di luar dugaan, keluhan dan protes saya itu memperoleh tanggapan melalui surat balasan. Bahkan kami disuruh mengirimkan data-data lebih lengkap tentang keadaan sebenarnya desa kami.
Ber-samaan dengan itu, saya membaca surat kabar yang merelease isi pidato Bapak, di mana Bapak secara jujur mengakui bahwa masih ada sebagian masyarakat yang belum menikmati hasil pembangunan yang sedang digalakkan.
Dalam waktu hampir bersamaan, para anggota DPRD Tk. II bersama pemerintah Kabupaten Pasuruan mengadakan peninjauan ke Desa kami. Dalam tahun berikutnya ada kegiatan pembangunan irigasi, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan pembangunan industri, yaitu pabrik susu Nestle.
Tahun berikutnya diikuti oleh pembangunan industri lainnya di sekitar pabrik susu Nestle itu. Setelah Bapak meresmikan pabrik susu Nestle, ada perubahan nasib bagi penduduk desa. Pamor desa kami mulai bersinar dan dikenal banyak orang. Bukti kecil, Paman saya yang pernah jadi prajurit di Pasukan ARSU di Jakarta yang sekarang disebut ARHANUD yang semula menjadi pengangguran, dipercaya menjadi Satpam di pabrik susu Nestle, dan putranya yang satu-satunya anak desa yang sempat menyelesaikan belajarnya di tingkat SMA bisa diterima sebagai karyawan.
Begitu juga, para pemuda yang tidak pernah mengenal pendidikan formal bisa diterima sebagai tenaga kerja harian sampai sekarang. Saat ini, kalau saya pulang kampung, sudah tidak saya temukan lagi anak-anak usia 5-10 tahun yang bermain bertelanjang bulat.
Anak-anak seusia itu kini telah melaksanakan program wajib belajar. kalau pada tahun 1985 sulit menemukan rumah penduduk yang berdinding batu bata dan beratap genting, sekarang sebaliknya. Rumah penduduk berdinding “gedeg” (anyaman bambu), sekarang tinggal sebagian kecil saja. Atap rumah penduduk yang memakai daun rumbia, saat ini sudah tidak ada lagi, kecuali kandang ternaknya. Mencari anak desa yang lulusan SMU saat ini sudah tidak sulit.
Gambaran desa kami di atas itu merupakan bukti nyata bahwa ada perhatian Bapak terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, perkenankan kami menghaturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga atas jasa-jasa Bapak. Meskipun ucapan terima kasih kami ini datang dari seorang bagaikan “sebutir debu yang ada di padang pasir”.
Namun kami yakin, sekecil apapun Tuhan akan menjadi saksi kebaikan Bapak di sisi-Nya kelak di akherat. (DTS) Wassalamu’ alaikum wr. wb.
Hormat kami,
Muhammad Said
Pasuruan – Jawa Timur
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 934-936. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.