DI BALIK PENGHARGAAN UNTUK KB MERDEKA

DI BALIK PENGHARGAAN UNTUK KB MERDEKA

 

 

Jakarta, Merdeka

Semula tidaklah mudah menerapkan KB (Keluarga Berencana) di negeri ini. Terlalu banyak benturan. Apalagi selama ini masyarakat seakan menganut paham, “banyak anak banyak rezeki”. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana kecaman masyarakat terhadap Program KB yang dicanangkan pemerintah Orde Baru pada awalnya.

Embriyo KB itu sendiri sebenarnya telah muncul sejak tahun 1950. Lalu tanggal 16 Agustus 1952, suratkabar Kedaulatan Rakyat Yogyakarta memuat pernyataan seorang dokter bahwa sebaiknya para ibu berani dan mau membatasi kelahiran .Dan ternyata hal ini menimbulkan reaksi yang sangat hebat. Kecaman-kecaman dari masyarakat pun bermunculan.

Pada tahun 1967, kembali masalah itu muncul. Tepatnya tanggal 16 Agustus, dalam pidato kenegaraan, Presiden Soeharto di hadapan sidang DPR GR menyampaikan masalah kependudukan dan perlunya program KB. Inilah sejarah baru. Dimana baru pertama kalinya seorang pejabat tinggi bersikap perduli terhadap soal­ soal kependudukan.

Dari sini terlihat bahwa Soeharto sebagai “nakhoda” pemerintah Orde Baru melihat penduduk sebagai sumber daya untuk menjalankan roda pembangunan negeri ini. Namun sumber daya itu bisa menjadi kendala, jika usaha-usaha pembinaannya tidak dilakukan, terutama jika dibiarkan berkembang secara alamiah. Lalu diterapkanlah pembinaan-pembinaan terhadap perkembangan penduduk, sejalan dengan itu dilakukan pula pencanangan-pencanangan program pembangunan.

Akan tetapi persoalan tidak sampai disitu saja. Persoalan pelik muncul. Bagaimana tidak, sebagian masyarakat menganggap KB (pembatasan kelahiran ) sebagai suatu pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia, yang dapat mengakibatkan pembunuhan terhadap bibit bayi. Bukan hanya itu, tapi pembatasan kelahiran ini juga dianggap dapat memperluas pelacuran serta merusak moral.

Namun pemerintah Orde Baru tampaknya tak bergeming. Di saat-saat kecaman­kecaman berlangsung, realisasi program terus dilakukan. Untuk menghindari hal-hal yang bersifat apriori, pemerintah sengaja tidak menerapkan sistem instruksi, melainkan melalui imbauan-imbauan serta gugahan-gugahan. Masyarakat beri gambaran­ gambaran kenyataan, betapa sulitnya jika pengaturan tidak dilakukan terhadap jumlah penduduk.

Bahkan sebelumnya, pada tahun 1967, Indonesia ikut pula menandatangani Declaration of Human Rights, yaitu suatu pemyataan yang menyebutkan bahwa adalah hak azasi manusia untuk, menentukan jumlah anak yang dikehendakinya.

Ternyata berbagai upaya itu bukanlah suatu kerja omong kosong. Terbukti kini program KB itu mendapat respon dari seluruh masyarakat Indonesia. Bukti nyata ini juga diakui dunia internasional. PBB sendiri pernah mengumumkan, jumlah penduduk Indonesia kini melorot ke urutan ketujuh di dunia, yang sebelumnya menduduki peringkat kelima.

Suatu prestasi memang. Karena itu sepantasnya pula Soeharto sebagai “nakhoda” Orde Baru mendapat penghargaan medali emas dari PBB, bagi jasa-jasanya di bidang kependudukan ini.

Akan tetapi penghargaan PBB itu bukanlah akhir dari misi KB. Ada hal-hal lain yang juga harus dibuktikan pemerintah di dalam keberhasilan Program KB tersebut. Yaitu sejauh mana kesejahteraan masyarakat bisa dicapai, seiring dengan keberhasilan KB itu sendiri. Sebab tanpa bukti nyata ini, masyarakat akan mencemooh. Ada KB dan tak ada KB sama saja, rudup tetap saja begini.

Dengan munculnya cemoohan itu, dengan sendirinya kesuk sesan KB pun akan pudar. Tentu hal ini tidak kita inginkan sampai terjadi. Karena itu di balik kesuksesan KB ini, hendaknya pemerintah Orde Baru terus menggalang tingkat kesejahteraan masyarakat, sampai pada akhimya masyarakat luas akan berkata bahwa ketenangannya hidup maupun kesejahteraan yang diperolehnya adalah karena dia mengikuti imbauan pemerintah untuk ber-KB.

Memang di balik kesuksesan itu masih tersimpan tugas yang cukup berat, yang mau tidak mau harus segera dilaksanakan. Kita menyadari bahwa masih banyaknya masyarakat kita yang rudup dengan kesejahteraan yang memprihatinkan. Bukan hanya di kota-kota besar, tapi juga di daerah-daerah, di pedalaman ataupun di pesisir-pesisir, yang semuanya membutuhkan uluran tangan kita untuk membinanya, baik secara moril atau juga materil.

Kita juga menyadari bahwa saudara-saudara kita itu masih terbelenggu oleh repotnya mengatur anak-anaknya. Sementara di lain pihak generasi baru yang merupakan pasangan usia subur, terus bertambah dan siap memunculkan generasi­generasi selanjutnya.

Kenyataan ini tentunya menuntut peran yang lebih besar lagi dari para petugas KB yang berada di front terdepan. Serungga koordinasi yang mantap maupun integrasi ataupun sinkronisasi yang lebih terpadu, dibutuhkan sekali di masa-masa mendatang.

Pengaturan-pengaturan yang lebih terpadu memang harus terus menerus kita lakukan, sebab jika kita lihat ke depan, Indonesia menghadapi kenyataan pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan peningkatan jumlah pangan yang tersedia, jumlah lahan yang tersedia serta jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Sekarang pun gejala yang pelik ini telah muncul ke permukaan. Persaingan untuk mendapatkan kerja terjadi dimana-mana. Manusia yang sebenarnya menjadi sia-sia, masih kerap dijumpai. Dengan demikian jelaslah, Program KB di masa depan menjadi suatu hal yang lebih penting lagi. Bukan hanya itu, KB juga menjadi dasar dan menjadi landasan bagi program lepas landas pembangunan pemerintah Orde Baru pada Repelita VI nanti.

 

 

Sumber : MERDEKA (06/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 847-849.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.