Di Tengah Kemelut

Di Tengah Kemelut [1]

Tahun 1948 keadaan terasa semakin gawat. Bersamaan dengan kekecewaan yang disebabkan “Persetujuan Renville” itu, muncul persoalan “Rekonstruksi-Rasionalisasi” yang lebih terkenal dengan singkatan: Re-Ra. Penetapan Presiden tertanggal 2 Januari 1948 menentukan pengaturan itu.

Panglima Besar Soedirman dan Jenderal Urip Sumohardjo sempat menghadap kepada Presiden Soekarno, mengemukakan pendapat­-pendapat mereka berkenaan dengan Re-Ra itu. Tetapi rencana “Re-Ra” yang diajukan oleh Amir Sjarifuddin dan disetujui oleh Presiden Soekarno itu terus dijalankan. Sebagai akibatnya, banyak anggota Angkatan Perang (AP) kita harus mengundurkan diri, karena pelaksanaan penciutan jumlah anggota AP kita waktu itu. Begitu juga diadakan penurunan pangkat tentara. Yang berpangkat jenderal mayor turun menjadi kolonel, yang kolonel jadi letnan kolonel, yang letnan kolonel jadi mayor. Jenderal Soedirman sendiri diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal, dan Letnan Jenderal Urip menjadi Mayor Jenderal.

Desakan partai-partai, desakan masyarakat mengubah pemerintahan kita. Amir Sjarifuddin meletakkan jabatannya. Bung Hatta mendapat kepercayaan untuk memegang pemerintahan di samping tetap sebagai Wakil Presiden.

Re-Ra adalah basil Kabinet Amir Sjarifuddin. Tetapi Kabinet Hatta yang harus melaksanakannya. Sementara itu ternyata “Persetujuan Renville” itulah yang menyebabkan tentara kita sebanyak kurang lebih 30.000 orang dari Jawa Barat (minus dari Banten) dan Jawa Timur harus hijrah ke daerah “pedalaman” Republik.

Belanda beranggapan bahwa daerah-daerah yang kota-kotanya diduduki oleh tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli 1947 itu merupakan daerah pendudukan Belanda. Karena itu, mereka menuntut agar gerilya TNI ditarik dari daerah-daerah yang mereka “duduki” ke daerah yang masih belum diserang oleh Belanda, yakni ke daerah yang ada di balik “Garis Van Mook”, menurut sebutan mereka.

Tetapi bagaimanapun juga kecewanya TNI yang berjuang dengan senjata waktu itu, tetap taat kepada keputusan pemerintah. Prinsip TNI “Politik Negara adalah politik tentara” tetap kita pegang teguh.

Setelah “Renville” wilayah kekuasaan RI yang nyata di Jawa tinggal 1/3 luas pulau, tinggal “sedaun kelor” sebutan orang.

Dengan kejadian ini daerah Yogya jadi padat. Kami hams menyediakan atap untuk berteduh dan ruangan untuk berbaring bagi mereka yang berdatangan. Rumah-rumah jadi bertambah penghuninya. Asrama-asrama jadi padat. Gedung-gedung sekolah juga dipakai untuk tidur. Gudang-gudang dipakai untuk berhias. Malahan ada pendatang yang harus tidur di gerbong-gerbong kereta api, karena rumah-rumah sudah sesak dengan pendatang yang lebih dahulu.

Begitu di Yogya. Begitu pula di kota-kota lainnya di daerah Republik, seperti Madiun, Solo, Magelang, penuh sesak dengan pendatang-pendatang dari luar daerah Republik. Waktu itu jadinya penghidupan di daerah Republik makin sulit, karena daerah surplus, seperti Malang, Besuki, Jawa Barat, sudah direbut Belanda.

Nilai uang rupiah, uang putih kita, tambah merosot sementara sejumlah bahan makanan jadi berkurang, malahan ada yang menghilang sama sekali. Dalam keadaan demikian bukan saja partai-partai politik bereaksi keras terhadap “Persetujuan Renville”, tetapi juga masyarakat luas, dan terutama pejuang bersenjata menyatakan kecewa dan menentang hasil kebijaksanaan Amir Sjarifuddin itu.

Di balik gunung, di daerah pendudukan, Belanda sibuk terus dengan usahanya. Mereka terus-menerus menambah pasukannya yang didatangkan dari Eropa supaya mencapai jumlah sampai lebih dari 100.000 orang, yang meliputi beberapa divisi dan beberapa brigade yang berdiri sendiri.

Sementara itu mereka terus menambah “negara-negara boneka”, di Madura, di Bandung, di Sumatera Timur, di Sulawesi Selatan. Rundingan berjalan terus, sementara tekanan berat dari pihak Belanda juga terus ditimpakan kepada kita.

Dalam suasana demikian suhu politik meningkat. Pertentangan politik menjadi-jadi sampai terjadi insiden bersenjata di beberapa tempat. Usaha Critchley dan Du Bois menyusun naskah kesepakatan berjalan. Tetapi perundingan tidak menemukan hasil. Sementara itu suasana hangat jadi panas. Gelombang perjuangan terus merambat, disambung dan bergerak. Tetapi api yang disulut juga terasa menjalar.

Kejadian-kejadian yang meletup-letup terdapat di pelbagai tempat. Dan yang tambah menghebohkan dan menegangkan pada waktu itu adalah pembunuhan. Pada permulaan Juli 1948 Kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV/TNI (Divisi Panembahan Senopati) tewas ditembak seorang penembak gelap ketika ia sedang turun dari mobil di depan rumahnya, di Solo. Tuding menuding mengenai peristiwa ini terjadi. Siapa sebenarnya yang jadi pembunuhnya, gelap sampai sekarang.

Menyusul penculikan-penculikan. Dr. Muwardi, tokoh pemuda penyelenggara Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta diculik di Solo dan kemudian dibunuh oleh penculiknya. Residen Iskak diculik. Sementara suasana culik-menculik mencekam kita waktu itu, buruh di pabrik karung Delanggu mogok. Tentunya ada yang menghasut.

Waktu itu Bung Hatta sibuk dengan diplomasi. Wakil-wakil Komisi Tiga Negara menyampaikan usulnya sendiri yang dikenal sebagai “Usul Critchley-Du Bois.”

Sementara itu perpecahan antara kelompok Sjahrir dan Amir sudah terjadi dan segera lebih jelas ketika terbentuk Kabinet Presidensial Hatta. Amir dan kelompoknya, yaitu PKI, Partai Buruh dan Pesindo, menentang Kabinet Hatta, sedangkan kelompok Sjahrir menyokongnya.

Pertengahan Februari 1948 terjadi perpecahan di antara mereka. Kelompok Amir membentuk Partai Sosialis baru, sedangkan Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia. Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, dan Abdul Madjid kemudian dalam rapat mereka di Surakarta membentuk Front Demokrasi Rakyat atau FDR.

Lama-kelamaan FDR bertambah ekstrim dalam Iangkah­ langkahnya. Anggota-anggotanya yang terkemuka menghendaki penghentian segala perundingan dengan Belanda, sementara orang masih tetap ingat, bahwa yang menghasilkan “Persetujuan Renville” itu adalah Amir Sjarifuddin sendiri.

Alhasil Amir sudah berubah sekali dan malahan kemudian ia mengherankan kawan-kawannya dan mengejutkan pemerintah, sewaktu ia, setelah Muso datang, berkata bahwa ia sebenarnya adalah seorang komunis, dan sejak tahun 1935, ketika berada di Surabaya, masuk “PKI illegal” pimpinan Muso. Juga Setiadjit, Abdul Madjid, dan Tan Ling Djie yang tadinya dari Partai Sosialis, mengaku bahwa mereka juga telah lama menjadi komunis.

Saya, sebagai perwira muda saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik. Saya membaca berbagai peristiwa politik itu, dan dengan diam-diam saya menganalisanya.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 47-50.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.