Dipercaya Lagi Menjadi Presiden (1983-1988)

Dipercaya Lagi Menjadi Presiden (1983-1988)[1]

 

Dipercaya lagi Menjadi Presiden (1983-1988). Sampailah lagi kita pada masa pelaksanaan Pemilu yang sudah ditetapkan oleh MPR. Sebelum 4 Mei 1982, hari Pemilu, sudah terdengar lagi suara-suara yang meminta saya bersedia kembali menjadi Presiden. Saya diam saja. Saya tidak mengadakan reaksi. Saya teguh pada pendirian saya bahwa berjuang untuk rakyat banyak adalah tugas yang harus saya rampungkan. Kepercayaan rakyat harus saya hormati. Tetapi cara-caranya harus tetap seperti di waktu yang sudah-sudah: konstitusional.

Puluhan juta rakyat Indonesia di seluruh pelosok tanah air sejak pagi hari 4 Mei 1982 itu berbondong-bondong memberikan suaranya dalam pemilihan umum yang keempat sejak kemerdekaan kita, dalam suasana aman dan tertib.

Untuk Pemilu ini saya telah memberikan amanat tertulis yang dibacakan sebelum rakyat memasuki bilik pencoblosan. Saya tekankan, pemilihan umum ini merupakan sasaran dan sekaligus tiang demokrasi yang sangat penting. Dengan pemilihan umum ini, kita mewujudkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Saya menilai dan mengucapkan syukur bahwa masa kampanye yang telah kita lalui sudah berjalan dengan baik dan selamat. Saya sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada seluruh rakyat yang telah memelihara persatuan dan kesatuan demi kejayaan bangsa. Pemilu 1982 menghasilkan 246 kursi direbut oleh Golkar, 94 kursi didapat oleh PPP, dan 24 kursi  diperoleh oleh PDI.

Golkar unggul. Tetap (kalaupun tidak begitu halnya), nampak-nampaknya tawaran kepada saya untuk kembali duduk sebagai Presiden untuk masa jabatan berikutnya tidaklah akan berubah. Sebab, bukan saja Golkar yang telah meminta saya untuk kembali menjabat jabatan Presiden, melainkan juga partai-partai. Setelah Pemilu 1982, pada tahun 1983 riuh sedikit orang bicara mengenai pemilihan Wakil Presiden.

Pada saya sudah disampaikan desakan supaya saya maju kembali menjadi Presiden/Mandataris MPR, dan saya menerima tantangan itu. Tetapi siapa yang jadi calon Wakil Presiden? Jauh sebelum Sidang Umum MPR masalah ini saya lontarkan kepada parpol dan Golkar bersama ABRI. Hal ini menjaga supaya tidak terjadi pendadakan seperti yang saya rasakan di tahun 1978, sewaktu Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan tidak bersedia dipilih kembali.

Dengan begitu, bukan sendirian saya memilih seseorang untuk menjadi Wakil Presiden. Saya lemparkan masalah itu kepada kekuatan sosial politik, khususnya Golkar yang unggul dalam Pemilu dan kepada ABRI. Di samping itu saya menunjuk Panitia Lima untuk mengadakan penilaian terakhir mengenai siapa yang terbaik untuk dipilih jadi Wakil Presiden.

Tentunya beberapa nama diajukan. Di antaranya ada nama Adam Malik. Lalu terdapat nama Umar, lantas Jusuf, Amirmachmud, Panggabean, dan beberapa lagi. Akhirnya pilihan jatuh pada Umar Wirahadikusumah.

Kepercayaan rakyat kepada saya, saya terima. Tugas sebagai Presiden saya pikul, setelah saya disumpah lagi sebagai Kepala Negara/ Mandataris MPR untuk masa jabatan lima tahun berikutnya, 1983-1988. Sidang MPR 1983 ini pula yang mengukuhkan pemberian penghargaan rakyat Indonesia kepada saya sebagai Bapak Pembangunan Indonesia.

Kerjasama dengan Pak Umar terasa lancar. Lagi pula saya tidak mengajukan persyaratan yang sulit. Selama mengetahui kewajiban masing-masing, siapa pun akan bisa bekerjasama dengan saya

***



[1]        Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 371-372.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.