GUNAKAN UKURAN SENDIRI UNTUK MENILAI MASALAH-MASALAH KENEGARAAN KITA

GUNAKAN UKURAN SENDIRI UNTUK MENILAI MASALAH-MASALAH KENEGARAAN KITA

PESAN PRESIDEN :

Dalam pesannya ketika menerima Tim P7 (tim Penasehat Presiden tentang Pelaksanaan P4) Presiden Soeharto mengingatkan, sebaiknya kita tidak menggunakan istilah atau semantik asing sebagai ukuran untuk menilai masalah-masalah kenegaraan kita, melainkan dengan ukuran-ukuran kita sendiri.

Pesan Presiden Soeharto itu disampaikan ketika anggota Tim P7 menyinggung pembicaraan dalam masyarakat yang menyangkut masalah sekuler, sekularisme atau negara sekuler, yang diawali oleh ucapan Prof Dr Soenawar Soekowati, Ketua Umum DPPP DI.

Kepada wartawan sesuai pertemuan di Bina Graha, Kamis Pagi, Ketua Tim P7 Ruslan Abdulgani mengatakan, negara kita adalah negara Pancasila dan kita berdiri atas dasar Pancasila.

Dikatakannya, masalah-masalah kenegaraan kita tidak dapat dinilai dengan ukuran asing termasuk ukuran pemikiran barat, kalaupun kita akan menggunakan ukuran barat, harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati. "Apakah sih beratnya kita mengatakan negara Pancasila".

Ia berpendapat, kalau negara Pancasila ditambah-tambah lagi, misalnya ditambah dengan negara "sekuler berdasarkan Pancasila", nanti orang lain akan menambahkan lagi dengan istilah lain, sehingga masalahnya tidak akan selesai.

"Kita pakai saja Pancasila dan rumusannya terdapat dalam Pembukaan UUD 1945", sambungnya.

Sesuai UUD 1945, negara kita berdasarkan Pancasila, yang dalam salah satu silanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara mengurus kehidupan keagamaan serta memberikan iklim sehingga kehidupan beragama tumbuh subur. Selain itu, negara juga berusaha meningkatkan kerukunan antara umat beragama. Jadi negara kita tidak lepas dari Ketuhanan.

Ruslan Abdulgani juga mengungkapkan bahwa masalah sekuler, sekularisme dan negara sekuler itu pemah dibahas pula pada jaman konstituante.

Dulu ada dakwaan seakan-akan Pancasila itu "ladiniah" atau tanpa agama. Golongan politik pada waktu itu membantah bahwa Pancasila bukan ladiniah serta bukan pula sekularisme, demikian pula golongan Kristen.

"Jadi masalah itu bukan masalah baru", kata Ruslan tanpa menyebutkan siapa yang mendakwa Pancasila itu ladiniah.

Keanggotaan Baru

Dalam pertemuan itu, Ruslan Abdulgani melaporkan kepada Presiden tentang susunan keanggotaan baru Tim P7 berikut kegiatan-kegiatan selama ini.

Berdasarkan Keppres Nomor 184/1983 tertanggal 19 Agustus 1983, susunan keanggotaan Tim P7 mengalami perubahan. Apabila tadinya susunan keanggotaan Tim P7 berjumlah 7 orang, kini menjadi 9 orang. Anggota-anggota baru ialah Dr. K.H., ldham Chalid, Achmad Sukarmadidjaja dan Brigjen Purn Sutoko. Anggota-anggota lainnya ialah GPH Djatikusumo, Maskun, dr. M. Sudjono, Harsono Tjokoroarninoto dan Prof. Dr. Satrio. Anggota yang tidak lagi duduk dalam tim P7 ialah Rusli Halil karena terpilih menjadi anggota DPR.

Kegiatan yang dilaksanakan Tim P7 akhir-akhir ini adalah menerima para penyandang predikat teladan, terdiri dari guru, tani, dokter, tenaga medis, dan lurah/kepala desa. Titik perhatian Tim P7 ialah bagaimana para teladan itu melaksanakan pemasyarakatan Pancasila.

Dari hasil pembicaraan Tim P7 berhasil memperoleh masukan yang berharga dalam memasyarakatkan P4. Para teladan itu terbukti berhasil menemukan metode yang tepat untuk memasyarakatkan Pancasila di daerah-daerah mereka.

Sebagai contoh, mereka berhasil mengungkapkan nilai-nilai Pancasila dengan bentuk cerita-cerita dan kadang-kadang tanpa menyebutkan Pancasila. (RA)

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (26/08/1983)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 169-171.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.