Hal Oposisi [1]
Pada tahun 1980 muncul apa yang menyebut dirinya “Petisi 50”. Sesungguhnya saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat ia adalah oposisi yang loyal. Tetapi apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya “Petisi 50” itu, tidak saya sukai. Cara-caranya tidak saya sukai. Lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga yang menyebut dirinya pejuang-pejuang.
Orang bertanya, di mana tempatnya kelompok oposisi di negeri kita ini?
Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat. Dalam alam Demokrasi Pancasila kita mengenal musyawarah untuk memperoleh mufakat rakyat. Caranya, rakyat mempercayakan kepada wakil-wakilnya. Maka bermusyawarahlah wakil-wakil rakyat itu. Lantas didapatkan mufakat itu untuk menentukan langkah-langkah yang akan kita ambil bersama dalam jangka waktu 5 tahun. Begitulah pula wakil-wakil rakyat kita itu mensahkan undangundang .
Tentu saja ada kontrol atas pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Kesalahan yang dibuat oleh pemerintah harus dibetulkan. Tetapi semua harus kita ingat atas kesepakatan yang telah ditentukan bersama. Semua terikat oleh kesepakatan yang telah kita ambil bersama.
Oposisi seperti di Barat tidak kita kenai di sini. Oposisi yang asal saja menentang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di sini. Dalam pada itu, semua juga mempunyai kewajiban untuk terus mengawasi pelaksanaan menurut rencana supaya pembangunan ini tidak mandeg.
Kita mengenal kontrol sosial. Tetapi bukan kontrol sosial semaunya sendiri sampai membuat keonaran. Penting diingat, janganlah sampai kestabilan nasional terganggu karena ini merupakan syarat untuk melaksanakan pembangunan. Pembangunan harus bisa berjalan. Pertumbuhan ekonomi harus bisa berjalan, sebab itu adalah untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
Kalau ada yang merasa berbeda pendapat, dianjurkan untuk bermusyawarah sampai tercapai mufakat. Berbeda pendapat adalah wajar. Tetapi yang penting, masalahnya harus dimusyawarahkan. Adu argumentasi. Tetapi tidak mengenal ngotot. Janganlah mentang mentang berbeda pendapat, sekalipun sudah kalah dalam adu argumentasi, masih saja terus ngotot. Sikap seperti itu yang tidak kita kenal di sini. Terhadap yang ngotot seperti itu, kita bertanya, “Di mana kerelaan Saudara untuk mengorbankan kepentingan diri Saudara?”
Janganlah ngotot, karena perbedaan pendapat, lalu kasak-kusuk hendak menjatuhkan pemerintah. Kita tidak mau mengenal sikap seperti itu di negeri ini.
Menjatuhkan Presiden? Cuma MPR yang berhak menjatuhkan Presiden.
Menyuarakan pendapatnya, silakan. Tetapi hormati juga keputusan bersama yang telah kita ambil.
Mengenai kelompok “Petisi 50” itu sendiri, dalam peribahasa Jawa disebut orang-orang yang rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa. Mengira seolah-olah pendapatnya bener dewe, benar sendiri. Mengira pendapat orang lain tidak benar sehingga di luar pendapatnya itu salah. Sampai-sampai apa yang telah kita usulkan lewat Orde Baru itu, dengan kekuatan sosial politik, dengan kekuatan rakyat itu dinilainya salah, seolah-olah telah menyimpang dari pada UUD ’45 dan Pancasila. Itulah namanya rumangsa bisa tapi ora bisa rumangsa. Merasa mengerti, tetapi pada dasarnya ia tidak mengerti Pancasila dan UUD ’45.
Dalam negara Pancasila dan Demokrasi Pancasila, kalau ada yang menyatakan tidak setuju, OK saja. Tetapi kalau sudah bertindak menyalahi hukum, ya, sepatutnya diambil tindakan terhadapnya.
Namun, apa kelompok “Petisi 50” sudah mengganggu pemerintahan sampai tidak berjalan? Enggak! Nyatanya, pemerintah berjalan, masih tetap berjalan. Dan kenyataannya pemerintah dengan pembangunannya bisa berkembang. Dibolak-balik, rakyat sudah dapat menilai, mana yang benar. Kalau memang mereka yang benar tentunya akan ada pengikutnya. Nyatanya, pengikutnya tidak berkembang dan hanya yang itu-itu saja.
*
Mengenai oposisi ini saya jadi ingat akan kejadian pada tahun 1976, beberapa bulan setelah saya mulai menjalani pensiun dari ABRI. Waktu itu muncul seseorang yang bernama Sawito dengan tingkah laku politiknya menentang saya. Dia keluar dengan naskah “Menuju Keselamatan”. Dia mengumpulkan tanda tangan, mengumpulkan kekuatan. Lalu ia membuat pula “Pernyataan” yang lainnya, dan beberapa dokumen lagi. Ada yang disebutnya “Mundur Untuk Maju Lebih Sempurna”, lalu “Surat Pelimpahan”, lalu “Pernyataan Pemberian Maaf bagi Almarhum Bung Karno”.
Sawito, seseorang yang mempergunakan keyakinan akan kebatinan. Ia merasa mendapat wangsit untuk melakukan perubahan pemerintah. Dan dia seolah-olah akan memegang peranan sebagai ratu adil. Gerakan Sawito itu berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh na ional seperti Dr. Mohammad Hatta, Prof. Hamka, Kardinal Justinus Darmoju wono, T.B. Simatupang, Said Soekamto Tjokrodiatmodjo.
Gerakan Sawito itu sebenarnya merupakan satu usaha makar secara halus. Karena Sawito sudah berbuat menyalahi hukum, maka kita minta dia mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di depan pengadilan. Setelah diproses di depan pengadilan, diketahui ia bersalah. Dan pengadilan memutuskan menjatuhkan hukuman penjara 8 tahun bagi Sawito.
Saya tidak suka dengan cara-cara seperti apa yang dilakukan Sawito. Menjatuhkan Presiden? Saya sudah katakan di muka. Cuma MPR yang berhak menjatuhkan Presiden.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 346-348.