HARUS SALING MENGHORMATI TANPA BEDAKAN BESAR-KECIL PEMELUKNYA

HARUS SALING MENGHORMATI TANPA BEDAKAN BESAR-KECIL PEMELUKNYA

 

 

Presiden tentang Kerukunan Beragama :

Semua kelompok umat beragama harus hormat-menghormati keyakinan masing-masing, tanpa membedakan besar kecilnya jumlah pemeluk.

“Dalam negara Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, jangan sampai terjadi pemeluk agama yang kecil, kehilangan kebebasan beragama yang merupakan hak paling asasi,” tegas Presiden Soeharto ketika membuka Maha Sabha (musyawarah besar) ke-5 Parisada Hindu Dharma se-Indonesia di Denpasar, Senin.

Di depan sekitar 5.000 umat Hindu Dharma yang memenuhi gelanggang olahraga Yuwana Mandala, Kepala Negara menyatakan, penghormatan terhadap kebebasan beragama merupakan unsur sangat penting bagi terwujudnya kerukunan, persaudaraan, kekeluargaan dan kesatuan bangsa.

“Ketika bangsa kita berjuang dalam merintis, melahirkan, dan mempertahankan kemerdekaan dulu, kita tidak pemah mempersoalkan perbedaan agama di antara kita,” kata Presiden.

Dikemukakan, dalam negara yang berdasarkan Pancasila, agama menempati kedudukan mulia. Hal ini mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang mempunyai rasa keagamaan kuat dan ini menjadikan bangsa Indonesia mempunyai sumber kerohanian yang tidak pernah kering, untuk terus menerus memperkuat ketahanan mental dan spiritual dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

Harus Arif

Agama memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang subur dalam masyarakat Pancasila ini. Pasal 29 UUD 45 menegaskan, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk memeluk agama masing-masing, serta beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.

Kecuali menunjukkan bahwa di Indonesia agama memperoleh kesempatan berkembang seluas-luasnya, kata Presiden, pasal 29 UUD 45 itu mewajibkan semua pemeluk agama mengembangkan hidup rukun di antara sesama umat beragama, dan antara yang berlainan agama.

Kepala Negara mengingatkan, bangsa Indonesia yang mendiami wilayah nusantara yang luas ini, memang terdiri dari berbagai suku bangsa yang memeluk berbagai agama. Di samping itu, dalam umat yang seagama pun terdapat kemajemukan pula.

Maka sebagai bangsa yang majemuk, “Kita harus arif dalam menangani masalah yang berhubungan dengan perbedaan yang kita miliki. Sebab kalau tidak, lebih-lebih dalam kehidupan agama, akan menimbulkan banyak masalah. Bahkan mungkin dapat menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa.”

Hadir dalam upacara kemarin Ny. Tien Soeharto serta sejumlah menteri kabinet, serta pejabat tinggi sipil dan militer lainnya. Maha sabha ini akan berlangsung sampai 27 Februari.

Satu Asas

Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat, Drs. Ida Bagus Oka Punyaatmaja menguraikan, maha sabha ini sangat penting, karena selain memilih pengurus baru, juga akan menyusun pedoman program ketja serta mengubah AD dan ART nya, dengan memasukkan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Presiden membuka acara ini dengan menyalakan obor besar, yang apinya diterima dari seorang pandita. Sebelum kembali ke Jakarta, Presiden sempat meninjau Pusat Studi Agama Hindu yang diberi nama “Hindu Dharma Widya Mandala”. Kompleks antara lain terdiri dari bangunan untuk sembahyang, kampus dan asrama calon pandita Hindu.

Masalah yang Dihadapi

Sejumlah pemuka dan pengamat agama Hindu di Bali yang diwawancarai Kompas mengatakan, umat Hindu di Indonesia dewasa ini menghadapi berbagai masalah, yang kalau tidak segera diatasi, dapat menimbulkan hambatan pelaksanaan agama mereka.

Di antara masalah itu adalah kurangnya guru dan penyuluh agama, sedikitnya jumlah pandita, lemahnya struktur birokrasi, serta masih perlunya digalang para pemikir Hindu yang mampu memberikan masukan kepada Parisada Hindu Dharma dalam pelaksanaan ajaran agama.

Menurut Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali, Ketut Pasek, kekurangan guru agama Hindu terlebih-lebih dirasakan di luar Bali. Padahal dari 6 juta umat Hindu di Indonesia, hanya 2,5 juta tinggal di Bali.

Di Bali sendiri, misalnya, 338 SMTP hanya dilayani 72 guru secara tetap. Sedang 193 SMTA hanya dilayani 58 guru agama tetap. Untuk tingkat SD lebih memadai, meskipun belurn mencukupi, yaitu 2.657 SD dilayani 3.502 guru.

“Jumlah guru agama Hindu sebenarnya mencukupi, namun pengangkatan mereka belum juga memadai,” katanya.

Selain kurangnya guru agama, kata I Gusti Ngurah Oka Supartha, karyawan Kanwil Agama Bali, di Bali sendiri masyarakatnya merasa kekurangan penyuluhan agama.

“Masyarakat sekarang tidak puas lagi hanya dengan kemeriahan upacara, tetapi juga sudah ingin mengetahui makna upacara itu secara lebih mendalam”. tuturnya.

Kurangnya Pandita

Di pihak lain, umat Hindu sekarang juga baru menyadari betapa orang­orang suci mereka, para pandita, semakin langka. Menurut catatan Kanwil Departemen Agama, jumlah pandita saat ini hanya 539 orang untuk enam juta umat Hindu Indonesia, dan hampir seluruh pandita itu berdomisili di Bali.

Menurut Ketut Pasek, menjadi pandita, di samping memerlukan proses belajar panjang, juga berarti akan hidup prihatin. Karena para pandita Hindu tidak boleh bekerja untuk kepentingan ekonomi dan harus menghidupi dirinya sendiri dengan sarin daksina. Yaitu sumbangan sukarela dari mereka yang memanggil pandita untuk kepentingan upacara keagamaan. Ketut Pasek menggugah umat Hindu agar memikirkan masalah ini secara serius.

Dikatakan, berbagai yayasan Hindu seperti rumah sakit dan beasiswa sebenarnya sudah ada, meski berjalan menurut batas kemampuan. “Namun yayasan yang khusus memikirkan masalah jaminan hidup layak bagi pandita, sampai saat ini belum ada,” ujarnya.

Birokrasi

Prof. Dr. Ngurah Bagus lebih menyoroti masalah yang dihadapi umat Hindu dalam arus perubahan yang cepat sekarang ini. Dikatakan, perubahan nilai sosial budaya tradisional serta pertemuannya dengan nilai yang lebih modern, perbenturan ideologi, heterogenitas suku, meningkatnya kualitas pembangunan, menuntut pula kesiapan umat Hindu untuk ikut menjawabnya secara tepat. Untuk itu menurut dia, diperlukan kelompok pemikir Hindu yang mampu memberikan masukan.

Fungsi Pura di Bali, tambahnya, juga perlu diperluas. Bukan hanya menjadi tempat bersembahyang, tetapi juga menjadi tempat penerangan agama serta diskusi seperti yang telah dimulai di Pura Jagatnatha di Denpasar.

“Semangat serta kesadaran umat yang semakin besar untuk mengetahui serta melaksanakan ajaran agama mereka, harus dapat dipenuhi secara tepat sehingga umat tidak kecewa,” ujarnya. (RA)

 

 

Denpasar, Kompas

Sumber : KOMPAS (25/02/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 580-583.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.