JADIKAN OLAHRAGA KEKUATAN PERJUANGAN

PRESIDEN DI STADION SRIWEDARI :

JADIKAN OLAHRAGA KEKUATAN PERJUANGAN

Dalam sambutannya di Stadion Sriwedari Solo Jumat petang kemarin, Presiden Soeharto mengimbau agar tradisi olahraga sebagai kekuatan perjuangan, terus dikembangkan dalam zaman pembangunan ini.

Sebagai kekuatan perjuangan dalam pembangunan nasional, olahraga dapat membangun watak bangsa kita, membangun kesehatan jasmani dan membangun rasa kebanggaan nasional.

Presiden mengemukakan ini ketika meresmikan purnapugar Stadion Sriwedari Solo ternpat PON I tahun 1948 dilangsungkan, sekaligus mengumandangkan, dari Olahraga Nasional 9 September.

Sekitar 20.000 orang hadir, pada acara itu, termasuk Wapres Umar Wirahadikusumah dan 12 menteri. Ribuan pelajar menyemarakkan suasana dengan peragaan yang serba massal dan berwarna-warni.

Empat hari lalu di Jakarta ketika membuka lokakarya olahraga nasional, Presiden yang dalam usia 62 tahun masih aktifbermain golf, juga menggaris bawahi hal serupa.

Kata Presiden, olahraga mempunyai aspek luas yang menyentuh pembangunan. Antara lain dengan menumbuhkan sikap ksatria, kerja keras dan disiplin yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa yang tengah membangun.

Apa yang dikatakan Presiden itu sudah ditegaskan pula dalam GBHN. Karena itu Presiden kemarin menandaskan di Solo, di tahun-tahun mendatang, olahraga akan lebih dimasyarakatkan untuk membina kesehatan jasmani dan rohani anggota masyarakat.

"Kita tidak mungkin mewujudkan masyarakat maju, adil dan sejahtera lahir batin seperti yang kita cita-citakan, jika masyarakat kita lemah jasmani dan rohaninya," tegas Presiden.

"Sebagai awal dari gerakan olahraga nasion a! yang demikian itu, maka hari ini secara resmi saya menyatakan, bahwa tanggal 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional," ujar Presiden disambut tepuk tang an panjang puluhan ribu penonton. Ribuan dari mereka terpaksa harus puas dari luar stadion yang penuh sesak itu.

Presiden yang tahun 1954 pernah menjadi Wakil Ketua Persis Solo itu mengingatkan, Kota Solo di mana acara kemarin berlangsung tercatat sebagai tempat lahirnya PSSl tahun 1930.

PSSI yang lahir di tengah bercokolnya kekuasaan penjajah itu, kata Presiden, bukan sekedar sebuah organisasi sepak bola nasional, melainkan juga merupakan wadah dan lambang semangat kebangsaan dan alat perjuangan kemerdekaan.

Bahkan penyelenggaraan PON I IDIS di kota yang sama, menurut Presiden, secara sadar diarahkan untuk menunjang perjuangan menegakkan kemerdekaan di gelanggang internasional.

Presiden menuturkan, ketika itu baru beberapa negara mengakui pernyataan kemerdekaan Indonesia. Karena itu, di samping perjuangan bersenjata sebagai ujung tombak para pemimpin waktu itu mengerahkan pula perjuangan di bidang lain untuk meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia telah berdiri dan terus tegak berdiri.

Dalam rangka itu pula, secara politis, diadakan PON I untuk meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia benar-benar ada, benar-benar mempunyai pemerintahan dan benar-benar didukung rakyat.

"Tanpa adanya pemerintahan dan dukungan rakyat, tidak mungkin ada kegiatan olahraga tingkat nasional," ujar Presiden.

Iringan Gending

Semangat berolahraga terasa benar membakar Kota Solo sepanjang hari Jumat 9 September kemarin. Sejak pagi, semua murid sekolah dan para pegawai sudah tampak di jalan-jalan memakai baju kaos aneka warna, pertanda ingin berolahraga.

Kegiatan ini menyebar ke desa-desa sekitar Solo bahkan sebetulnya, meski dengan kekurangan di sana-sini, gema berolahraga secara massal kemarin bergaung serentak di seluruh pelosok tanah air.

Sehingga tidak mengherankan puncak acara peresmian 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional kemarin terasa menggairahkan, setidak-tidaknya bagi ribuan orang yang hadir di Stadion Sriwedari Solo.

Matahari sore yang memancar tak begitu panas, menjadikan keseluruhan sejam acara kemarin berlangsung menyenangkan. Ribuan warga masyarakat kota Solo dan sekitarnya, memadati stadion yang baru didandani dengan biaya Rp 900 juta serta jalan-jalan sekitarnya.

Setelah acara pidato peresmian berlalu, segera pesta dimulai di Stadion Sriwedari. Begitu Presiden menekan sirene, ratusan burung dara dan balon mengudara diiringi tepuk tangan gemuruh. Konfigurasi yang lincah di tribun terbuka, tiap sebentar memunculkan berbagai slogan.

Sementara itu Api Mrapen dilarikan memasuki stadion oleh tiga nyonya bekas atlet peserta PON I, Ny. Titik Sjarif didampingi Ny. Anie Salamun danNy. Rahaju Sunargo.

Tempat yang dulu masih diwarnai demam perang ketika PON I berlangsung, berubah menjadi pesta serba meriah, meski gaya Solo yang "tidak lepas" sempat juga terasa.

Sementara lagu Maju Tak Gentar oleh 2.000 pelajar masih bergema mengiringi defile nostalgia atlet veteran, mendadak suara gending meningkahi suasana.

Diiringi improvisasi suara gending oleh siswa Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, ribuan pelajar memperagakan senam pagi. Lalu menyusul konfigurasi oleh ratusan pelajar dengan kostum kuning yang kontras dengan hijaunya lapangan.

Kostum yang beraneka, merah darah dengan strip putih, putih biru dan biru langit, membuat suasana semakin meriah. Presiden dan Ibu Tien tiap sebentar tampak menebarkan senyum.

Tetapi puncak dari acara pesta ini adalah perorangan tarian yang menggambarkan permainan sepakbola. Gerakannya yang dinamis, diseling adegan kocak menghanyutkan ribuan penonton dalam tawa.

Menjadi Remaja

Stadionnya sendiri yang baru usai dipugar, tampak kembali remaja dan "genit" dalam usianya kurang setengah abad. Biaya pemugaran Rp 853 juta, dengan Rp 771,5 juta bantuan Presiden, Rp 60 juta bantuan Gubernur Jateng dan sisanya dari para dermawan. Luas kompleks stadion bertambah secara cukup menyolok, dari 29.111 meter persegi menjadi 58.579 meter persegi.

Lapangan sepakbola internasionalnya kini dilengkapi lintasan atletik enam jalur. Seakan mengingatkan Solo sebagai pusat rehabilitasi cacat, di tribun terlihat tempat duduk khusus bagi atlet cacat, satu-satunya di tanah air dengan fasilitas demikian.

Lapangan parkir luas yang mampu menampung ratusan kendaraan sekaligus serta toilet yang apik, melengkapi fasilitas bagi penonton. Tiang lampu dengan kekuatan 265 KVA berdiri megah di empat pojok stadion, membuat Solo yang kelak menjadi pangkalan klub Galatama Arseto itu mampu menyajikan pertandingan malam.

Tetapi untuk perluasan itu semua, 50 kios pedagang, rumah sakit jiwa dan kebun binatang terpaksa dipindahkan dari Taman Sriwedari.

"Berutunglah Saudara Wali kota Solo bisa merayu Gajah Sriwedari hingga mau dipindahkan tempatnya," kata Sultan dalam laporannya kepada Presiden yang spontan disambut tawa dan tepuk penonton.

Lima P

Menpora Abdul Gafur yang tampil berbicara sebelum Presiden, menilai penyelenggaraan PON I 1948 ketika bangsa Indonesia masih berusia muda tiga tahun, sewaktu bersusah payah tumbuh dan hanya diakui satu dua negara di dunia, merupakan prestasi spektakuler.

"Bahkan mungkin hanya kitalah bangsa yang berhasil mengadakan Pekan Olahraga Nasional di saat perjuangan kemerdekaan masih berlangsung," kata Gafur.

Muncul denganjas batik dan berapi-api seperti biasa, Menteri Gafur beberapa kali menggugah puluhan ribu penon ton yang membalasnya dengan tepuk tangan gemuruh.

Gafur mengingatkan, tepat 35 tahun lalu di Stadion Sriwedari, PON I diselenggarakan dengan dicekarn suasana perjuangan.

"Kini kita hadir dalarn suasana riang gembira, untuk mematikan apa yang 35 tahun lalu mereka petjuangkan. Kita bikin sejarah baru dengan mencanangkan Hari Olah-raga Nasional," seru Gafur.

Ia kemudian menjanjikan sebuah kebijalcsanaan pembinaan olahraga terpadu, sehingga manfaat olahraga benar-benar kelak dirasakan oleh seluruh masyarakat. Antara lain terumus dalam apa yang disebutnya 5 P: pelaksanaan panji olahraga, pendidikan jasmani, prestasi olahraga, pengadaan pendidik dan pelatih, serta prasarana olahraga.

Janji Ismail

Gubernur Jateng, Ismail yang juga tampil pada acara sama, menjanjikan Stadion Sriwedari yang dilestarikan melalui upacara kemarin, akan dijaga sebaik-baiknya. Untuk itu ia harapkan partisipasi semua warga daerahnya.

Tetapi lebih dari itu Gubernur Ismail harapkan pula, agar kehormatan yang diberikan pada Jateng sebagai tempat dikumandangkannya Hari Olahraga Nasional serta dilestarikannya Stadion Sriwedari, akan memacu putra-putra Jateng lebih berprestasi.

"Untuk itu, sarana saja tidak cukup harus juga disertai sistem pembinaan yang baik, pelatih dedikatif dan kegairahan si atlet sendiri untuk berprestasi," ujar Ismail yang akhir-akhir ini dengan cepat dikenal sebagai tokoh daerah yang berperhatian besar pada olahraga. (RA)

Solo, Kompas

Sumber : KOMPAS (10/09/1983)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 407-410.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.