JB Sumarlin: Pak Harto Arif, Bijaksana dan Rendah Hati (Bagian 1)

Arif, Bijaksana dan Rendah Hati (Bagian 1)[1]

JB Sumarlin [2]

 

Pendahuluan

Bagi rakyat Indonesia, nama Bapak Soeharto tidak dapat dipisahkan dari perkataan Orde Baru dan pembangunan. Bagi mereka yang berusia muda, Orde Baru dan pembangunan tidaklah asing lagi dan bahkan sudah menjadi istilah sehari-hari. Mereka yang berasal dari generasi yang lebih tua barangkali masih ingat akan keadaan yang serba sulit dan situasi politik yang tak menentu pada tahun 1960-an. Apa yang sekarang dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan selalu tersedia di mana-mana, pada waktu itu merupakan sesuatu yang luar biasa dan langka. Sebagai contoh, antri beras, antri kain, angkutan yang sulit, listrik yang redup dan sering padam, harga yang melonjak dari hari ke hari, pertentangan politik yang tajam antara golongan satu dan golongan lain, merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari pada waktu itu.

Saya menyebutkan semua ini sama sekali bukan untuk bernostalgia, akan tetapi untuk mengingatkan saya sendiri agar melihat keadaan dan persoalan yang kita hadapi saat ini secara proporsional dan dalam perspektif yang wajar. Apapun kekurangan yang kita jumpai dari keadaan sekarang, apapun tantangan dan permasalahan yang masih harus kita atasi di waktu-waktu mendatang, kita perlu tetap menyadari bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama Orde Baru ini, dibawah pimpinan Bapak Soeharto, telah menghasilkan perbaikan-perbaikan nyata bagi kehidupan rakyat kita pada umumnya.

Kemajuan yang Dicapai dan Tantangan yang Masih Ada

Mengenai kemajuan-kemajuan, saya hanya akan menggarisbawahi beberapa fakta dasar. Kita mulai dari situasi bahan makanan. Saya sebutkan tadi bahwa dalam tahun 1960-an kelangkaan akan beras merupakan salah satu kenyataan hidup sehari-hari. Pada tahun 1968 produksi beras baru mencapai 103 kg per jiwa. Berkat ketekunan dan kerja keras, produksi beras berhasil ditingkatkan terus dan sejak tahun 1984, bangsa Indonesia telah dapat mencukupi sendiri seluruh kebutuhan berasnya. Dalam tahun 1989 yang lalu produksi beras kita telah mencapai 162 kg per jiwa. Disamping itu produksi bahan makanan lain juga terus menunjukkan peningkatan. Demikian pula, sandang semakin tersedia dan terjangkau oleh rakyat. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan produksi tekstil telah meningkat dari 2,8 meter per jiwa, menjadi 23,7 meter per jiwa. Meningkatnya sandang pangan yang tersedia diiringi pula dehgan meningkatnya daya beli rakyat. Pendapatan per kapita rakyat Indonesia pada akhir tahun 1960-an adalah dibawah US$100. Sekarang penghasilan per kapita kita adalah sekitar US$500.

Sementara itu, kemajuan yang sangat berarti juga kita capai di bidang pendidikan, kesehatan, gizi, penyediaan air bersih, pemukiman, keluarga berencana dan sebagainya. Seperti diketahui pada tahuh 1971 angka kematian bayi di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, yaitu 142 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Pada akhir Repelita IV angka tersebut telah menurun menjadi 58 bayi per 1.000 kelahiran hidup dan pada akhir Repelita V nanti, diperkirakan akan menurun lagi menjadi dibawah 50. Erat kaitannya dengan perbaikan derajat kesehatan, penduduk Indonesia dapat mengharapkan hidup lebih panjang. Pada tahun 1971 rata-rata penduduk Indonesia mencapai usia 46 tahun. Pada akhir Repelita IV rata-rata penduduk Indonesia dapat mencapai usia 63 tahun dan pada akhir Repelita V nanti menjadi 65 tahun.

Di bidang pendidikan, pada tahun 1968 murid yang tertampung di sekolah-sekolah dasar baru sekitar 41% dari seluruh anak yang berumur sekolah dasar (7-12 tahun). Sekarang hampir seluruh kelompok usia ini tertampung di sekolah-sekolah dasar. Dalam kurun waktu tersebut, angka yang sama untuk SMTP meningkat dari sekitar 17 persen menjadi sekitar 53% dan dalam rangka persiapan wajib belajar pada tingkat ini, pada akhir Repelita V nanti diperkirakan meningkat lagi menjadi lebih dari 66%. Perkembangan yang serupa juga terjadi bagi pendidikan tingkat SMTA dan pendidikan tinggi.

Dalam bidang program keluarga berencana, tingkat kelahiran telah dapat diturunkan dari 44 per 1.000 penduduk pada tahun 1971, menjadi 28,7 per 1.000 penduduk pada akhir Repelita IV, sehingga laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun secara bertahap dari 2,3% setiap tahunnya selama dasawarsa 1970-an, menjadi 2, 1 % pada akhir Repelita IV dan diperkirakan akan turun lagi menjadi 1,8% pada akhir Repelita V nanti. Sementara itu, program-program di bidang gizi, air bersih, pemukiman, transmigrasi dan sebagainya terus dilaksanakan.

Seperti kita ketahui, salah satu ciri dari strategi pembangunan kita adalah pemberian prioritas yang sangat tinggi pada sektor pertanian. Dilihat dari segi urgensi permasalahannya, strategi ini tepat, karena kita ingin secepatnya meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan karena sebagian terbesar rakyat kita hidup dari kegiatan pertanian. Tercapainya swasembada beras , dan pembangunan pertanian pada umumnya adalah hasil kerja keras seluruh rakyat yang didukung dengan kebijaksanaan yang dijalankan, dengan konsisten dan sungguh-sungguh. Namun menurut hemat saya, hal itu tidak lepas dari kenyataan bahwa kita dipimpin oleh seorang kepala negara yang pengetahuannya sangat mendalam mengenai  masalah pertanian dan secara ptibadi sangat menghayati, kehidupan petani.

Sebagai hasil dari semua itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia telah menurun dari sekitar 60 juta atau 70% dari seluruh penduduk pada tahun 1970, menjadi 30 juta atau sekitar 17% dari seluruh penduduk pada tahun 1987. Keberhasilan ini diakui oleh dunia internasional.

Bersamaan dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat telah terjadi pula perubahan mendasar dalam struktur perekonomian kita. Seiring dengan perkembangan sektor pertanian, industri kita juga tumbuh pesat Selama dua dasawarsa antara tahun 1969 dan 1989, peranan sektor industri dalam produksi nasional telah meningkat dari 9,2% menjadi 18,5%. Ketergantungan perekonomian kita pada minyak bumi telah jauh berkurang. Pada masa kejayaan minyak bumi, 3/4 dari seluruh penerimaan ekspor dan 2/3 dari penerimaan dalam negeri pemerintah berasal dari migas. Sekarang peranan migas adalah kurang dari 40% dari keseluruhan ekspor dan sekitar 1/3 dalam hal penerimaan dalam negeri pemerintah. Perlu kita catat pula, bahwa hasil-hasil industri makin mendominasi ekspor non migas kita dan macam komoditinyapun makin beragam. Banyak dari komoditi tersebut adalah hasil dari industri sedang dan kecil. Perubahan struktural ini telah memperkuat landasan perekonomian kita untuk berkembang terus di tahun-tahun mendatang.

Sekarang kita lihat mengenai stabilitas ekonomi. Seperti telah saya singgung tadi, salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa kita pada tahun 1960-an adalah inflasi yang sudah menjurus kepada hiperinflasi. Barang-barang kebutuhan pokok, kalaupun tersedia; harganya meningkat tak terkendali. ltu semua memberikan beban yang sangat berat bagi kehidupan rakyat kita. Pengendalian inflasi muncul sebagai salah satu dari Tri Tuntutan Rakyat. Pemerintah Orde Baru menjawab·tuntutan tersebut dengan mengambil langkah-langkah mendasar di berbagai bidang. Disiplin anggaran negara ditegakkan kembali, perkembangan uang beredar dikendalikan sistem ekonomi komando secara bertahap diganti dengan sistem ekonomi yang memanfaatkan mekanisme pasar dengan bimbingan dan pengendalian oleh negara. Sementara itu, sarana dan prasarana ekonomi yang rusak secara bertahap direhabilitasi. Investasi baru dari dalam maupun luar negeri didorong.

Dengan pendekatan yang menyeluruh tersebut, akhirnya hiperinflasi dapat dipatahkan. Laju inflasi menurun dari 650% dalam tahun 1966, menjadi 120% dalam tahun 1967 dan menjadi 85% dalam tahun 1968 dan selanjutnya menjadi sekitar 10% dalam tahun 1969. Pada tahun 1971 Indonesia menikmati kestabilan harga yang sangat mantap dengan laju inflasi yang paling rendah yang pernah dicapai setelah kemerdekaan, yaitu 2,5% untuk seluruh tahun tersebut. Setelah itu laju inflasi mengalami pasang surut, karena pengaruh berbagai perkembangan di dalam dan luar negeri. Namun secara umum inflasi tetap terkendali sampai saat ini. Kebijaksanaan-kebijaksanaan dasar yang mendukung kestabilan harga, seperti anggaran belanja berimbang dan pengendalian uang beredar yang berhati-hati, terus dilanjutkan dan merupakan landasan dari kebijaksanaan ekonomi makro Orde Baru.

Dalam kehidupan masyarakat, hubungan antara ekonomi dan politik sangat erat. Pembangunan hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila stabilitas politik dan keamanan terpelihara mantap. Orde Baru tenyata mampu memberikan kepada bangsa kita masa kestabilan politik berkesinambungan yang terpanjang sejak kemerdekaan. Menurut hemat saya, ada dua kunci utama daripada terpeliharanya kestabilan politik di Indonesia. Pertama, adanya tekad politik yang kuat untuk makin memantapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan bernegara dan bermasyarakat. Kedua, adanya pimpinan negara yang mempunyai komitmen kuat pada konstitusi, arif dan bijaksana dalam menghadapi persoalan bangsa, serta mampu membawakan aspirasi rakyat. Bapak Soeharto adalah tokoh pemimpin negara seperti itu.

Mengenai masalah stabilitas politik ini saya ingin menyebut satu lagi hasil penting yang dicapai oleh Orde Baru. Ditegaskannya Pancasila sebagai satu-satunya asas seperti tertuang dalam GBHN 1983 merupakan langkah maju yang bersifat sangat mendasar dan mempunyai impliksasi jauh ke depan. Dengan penegasan itu kita telah meletakkan landasan yang kokoh bagi kehidupan politik bangsa yang stabil dan dinamis sekarang dan untuk masa mendatang.

Daftar keberhasilan pembangunan selama Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto cukup panjang apabila diteruskan. Namun kita juga perlu menyadari bahwa tidak sedikit masalah-masalah yang sampai sekarangpun belum secara tuntas dapat diatasi. Kita juga menghadapi masalah-masalah yang timbul justru karena keberhasilan pembangunan itu sendiri. Masalah penciptaan lapangan kerja, masalah kemiskinan yang mencakup 30 juta penduduk kita, masalah penurunan beban utang, masalah peningkatan pemerataan antar daerah dan antar golongan masyarakat, masalah pengembangan koperasi, masalah mutu pendidikan, masalah lingkungan hidup dan sebagainya, merupakan tantangan-tantangan yang sedang dan masih akan kita hadapi di tahun-tahun mendatang. Masalah-masalah ini semua memang tidak bisa dipecahkan sekaligus dalam kurun waktu satu dua Repelita. Untuk itu diperlukan langkah yang konsepsional, bertahap dan terus-menerus. Ini semua menuntut kita untuk bekerja lebih keras lagi.

Masalah yang Cukup Berat dan Penanganannya

Perjalanan bangsa kita dalam membangun selama lebih dari dua dasa warsa ini tidaklah tanpa tantangan dan ujian. Berikut ini saya ingin menguraikan secara agak rinci tiga tantangan berat yang pernah kita hadapi, yang secara pribadi saya ikut terlibat dalam menanganinya. Dengan uraian ini saya berharap masyarakat dapat mengetahui duduk perkaranya secara lebih jelas dan dapat melihat kepemimpinan Bapak Presiden Soeharto dalam mengatasinya.

Ketiga masalah tersebut adalah: (1) kasus pembangunan proyek besi baja PT Krakatau Steel (PT KS) tahun 1975; (2) krisis keuangan Pertamina tahun 1975; dan (3) bahaya hama wereng coklat tahun 1986. Kunci keberhasilan penanganan ketiga masalah tersebut terletak pada sikap tanggap Bapak Soeharto dalam mengambil kebijaksanaan dan langkah yang cepat dan tepat, serta pragmatis tetapi tetap dalam konteks pelaksanaan pembangunan jangka panjang. (Bersambung)

***


[1]     JB Sumarlin, “Arif, Bijaksana dan Rendah Hati”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 103-128.

[2]     Menteri Keuangan dalam Kabinet Pembangunan V

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.