Semasa Agresi Belanda Ke-1[1]
Tanggal 14 Oktober 1946 tercapai kesepakatan mengenai gencatan senjata. Sebulan kemudian dilangsungkan perundingan Linggarjati yang memakan waktu empat bulan lebih sampai ditandatanganinya persetujuan itu. Sementara itu, dilakukan pemarafannya yang menimbulkan keributan di tengah masyarakat.
Sebelum sampai pada saat penandatanganan “Persetujuan Linggarjati” terjadi sesuatu yang penting ialah seluruh tentara Inggris ditarik dari Indonesia. Karena itu kita hanya berhadapan langsung dengan tentara Belanda.
Peristiwa Delta Brantas dan perebutan Mojokerto terjadi di pertengahan Maret 1947.
Di tengah-tengah peristiwa itu, persoalan yang mendesak terasa harus cepat diselesaikan. Yakni, mengenai lasykar-lasykar bersenjata. Maka·timbul gagasan pada Pak Dirman dan Pak Urip untuk menyatukan semua tenaga lasykar bersenjata itu ke dalam satu wadah tentara nasional.
Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Ketetapan Presiden mengenai pembentukan Tentara Nasional Indonesia, TNI, yang merupakan penyatuan antara TRI dan seluruh lasykar perjuangan. Berdirilah TNI dengan pimpinannya Panglima Besar Jenderal Soedirman yang didampingi oleh Letnan Jenderal Urip Sumohardjo. Berhasillah Pak Dirman dengan cita-citanya yang menyebutkan bahwa di “Satu negara hanya adasatu tentara”.
Sementara itu Belanda terus menekan. Terbawa oleh mimpinya, Belanda berusaha tidak henti-hentinya untuk mengembalikan kekuasaannya di negeri kita ini. Belanda mengirimkan ultimatumnya karena pihak RI tidak mau menyetujui kehendaknya.
Belanda menyampaikan nota kepada Pemerintah RI yang didesak harus menjawabnya dalam tempo dua minggu. Ultimatum yang dikirimkan melalui misi ldenburgh itu mendesak pembentukan pemerintahan peralihan bersama. Diterangkannya juga hendaknya garis demiliterisasi diadakan, serta pengacauan-pengacauan di daerah yang bergabung dalam Konferensi Malino, seperti NIT, Kalimantan, Bali, dan sebagainya harus dihentikan. Siapa yang mengacau sebenarnya ?
Selang dua minggu. Pemerintah RI memberi jawaban atas. nota Belanda itu. Di antara sekian pasal yang diajukan pihak Republik, ditegaskan gendarmerie bersama ditolak oleh RI.
Meskipun demikian, keputusan Pemerintah Sjahrir dianggap terlalu jauh melewati batas-batas prinsip yang seyogyanya dipegang teguh oleh pihak Republik. Maka kelanjutannya, Sjahrir mengembalikan mandatnya dan kemudian Amir Sjarifuddin ditunjuk untuk memegang pemerintahan, sebagai PM merangkap Menteri Pertahanan
Sementara itu Dag Order (Perintah Harian) Belanda bocor. Rencana serangan tentara Belanda tertangkap oleh pihak kita. Keributan terjadi sementara Amir Sjarifuddin sudah menjadi Perdana Menteri.
Tak urung, Belanda meneruskan juga rencananya. Agresi tentara Belanda yang pertama terjadi pada tanggal21 Juli 1947. Kira-kira pukul 07:00 pesawat terbang Belanda mengitari kota Yogya, dan membom lapangan terbang Maguwo. Siang hari Maguwo dibom lagi untuk kedua kalinya. Mereka ternyata melakukan agresi itu dengan serangan besarbesaran, dari darat, laut dan udara.
Penerobosan tentara Belanda dari Semarang ke arah selatan terhambat di Srondol, karena di sana terdapat rintangan-rintangan dan ranjau.
Pada malam harinya Presiden Soekarno mengucapkan pidato di depan corong RRI, menyatakan. bahwa pemerintah beserta rakyat Indonesia sudah siap menghadapi Belanda dengan kekuatan yang ada. Kemudian Perintah Harian Panglima Besar Soedirman yang ditujukan kepada Angkatan Perang RI, memberi semangat agar kita berjuang sekuat tenaga menghadapi agresi militer lawan itu.
Di kota kecil Kaliwungu tentara Belanda yang bergerak dari Semarang itu mendapat perlawanan. Untuk jarak yang hanya 20 km, antara Semarang dan Kaliwungu, mereka memerlukan waktu tidak kurang dari dua hari. Jarak antara Pandaan-Malang yang kurang lebih 50 km harus mereka tempuh dalam waktu 7 hari karena kuatnya perlawanan tentara dan rakyat kita.
Reaksi dunia internasional terhadap Agresi Belahda ke-1 itu besar sekali. Pemerintah Amerika Serikat menyatakan penyesalannya terhadap terjadinya penyerbuan tentara Belanda itu. Pemerintah Syria mengajukan protes keras. Mahasiswa dan buruh pelabuhan Australia berdemonstrasi di depan gedung Kedutaan Besar Belanda, memprotes keras tindakan Belanda itu. Lalu India dan Australia mengajukan permintaan pada Dewan Keamanan PBB agar soal penyerbuan Belanda segera dimasukkan ke dalam agenda DK-PBB. Sementara itu India, Pakistan, Muangthai melarang perusahaan penerbangan Belanda KLM, mendaratkan pesawatnya di negara-negara itu, sebagai sikap protes mereka terhadap keculasan Belanda itu. Waktu itu pula terjadi pengakuan dari beberapa negara terhadap RI, antara lain dari Birma dan dari Afghanistan.
Lalu Dewan Keamanan PBB memasukkan masalah Indonesia itu ke dalam agenda persidangannya. Australia mengusulkan agar kedua belah pihak yang bersengketa segera menghentikan permusuhan. Amerika mengusulkan agar Dewan Keamanan PBB menawarkan jasajasa baiknya.
Tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memutuskan, berseru kepada Indonesia dan Belanda untuk dengan segera menghentikan tembak-menembak. Sehubungan dengan ini Panglima Perang RI Jenderal Soedirman mengumumkan kepada kita untuk menghentikan tembak-menembak pada tanggal 4 Agustus dan memerintahkan untuk tetap tinggal di tempatnya masing-masing. Begitu juga Panglima Tentara Belanda di Indonesia Jenderal Spoor mengumumkan hal yang sama. Diplomasi kedua Pemerintah tentunya merupakan kelanjutan dari persetujuan gencatan senjata itu.
Kami pun taat pada perintah Panglima Besar Soedirman, sementara anjurannya tetap kami pegang teguh, yakni supaya tetap waspada. Kita belum sampai pada apa yang kita cita- citakan.
Lalu Dewan Keamanan PBB, setelah memperdebatkan masalah Indonesia, menyetujui usul Amerika, bahwa untuk mengawasi penghentian permusuhan antara kedua belah pihak, dibentuk sebuah komisi jasa-jasa baik. Komisi Tiga Negara lahir, Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul Van Zeeland, dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham.
Setelah Amir Sjarifuddin selesai membentuk kabinetnya, mulailah dia menyusun delegasi untuk menghadapi perundingan dengan Belanda.
Yang mencolok bagi saya, delegasi Belanda dipimpin oleh seorang kelahiran Indonesia, yakni R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Dialah itu yang sempat datang di Yogya dan diludahi oleh orang-orang di stasiun Tugu, karena bencinya rakyat kita kepadanya. Wakil ketuanya adalah seorang Belanda, Van Vredenburgh. Di antara anggota-anggotanya ada beberapa orang kelahiran Indonesia juga, seperti Tengku Zulkarnaen, juga Mr. Dr. Soumokil yang kelak terkenal dengan petualangannya sewaktu mendirikan apa yang disebut “Republik Maluku Selatan”.
PM Amir Sjarifuddin menolak untuk berunding di Jakarta. Belanda menolak untuk berunding di negara ketiga. Maka didapat jalan keluar, perundingan diadakan di atas sebuah kapal Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Renville, di Teluk Jakarta. Perundingan berlangsung mulai tanggal 8 Desember 1947 dan “Persetujuan Renville” ditandatangani sembilan hari kemudian.
Suasana waktu itu cukup senyap sekalipun kami tetap berada dalam kesiagaan. Kami masih ragu akan sikap Belanda. Alhasil, suasana perjuangan masih tetap meliputi rongga dada saya.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 39-42.