KADO ULANG TAHUN UNTUK PAK HARTO
Oleh: S. Sinansari Ecip
Pidato-pidato Presiden Soeharto di dalarn sidang MPR yang lalu banyak menarik perhatian, orang.
Di dalamnya ada ketegasan, penghargaan terhadap rakyat, dan tentu saja ada kematangan seorang presiden kami rakyat kecil, ikut terpikat.
Menurut salah satu pendapat, Presiden Soeharto adalah salah satu pemimpin yang matang dalam perjalanan, tidak sudah matang sebelum menjabat presiden dan pemimpin jenis ini jarang ada,
Orang juga terkesan akan pidato Presiden Soeharto di atas pesawat terbang, sepulang dari peljalanan keluar negeri beberapa waktu yang lalu. Nampak jelas bahwa berbagai persoalan terkuasai, sampai kepada angka-angka.
Kami tidak bisa membayangkan bagaimana situasi rapat-rapat kabinet yang penuh dengan orangorang pandai itu. Satu hal yang jelas bahwa Presiden Soeharto sangat tertarik akan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dll yang menyangkut rakyat kecil.
Memperhatikan nasib rakyat kecil adalah salah satu jalan untuk membuat mereka jatuh hati. Mereka harus diajak serta, mereka tidak boleh ditinggalkan sebab mereka adalah tempat inspirasi, sebab mereka sumber kekuatan.
Di awal memegang tampuk kepemimpinan nasional, Presiden Soeharto tahun 1970 mengadakan perjalanan diam-diam ke Jatim dan Jateng.
Dengan pengawalan yang terbatas dan menggunakan kendaraan darat, Presiden memasuki jantung kehidupan rakyat, berdialog dengan mereka, makan nasi bungkus dengan mereka dan tidur di rumah Pak Lurah.
Perjalanan bak Sultan Harun al Hasyid itu sulitlah untuk dijalankan sekarang-sekarang ini. Waktu itu wajah dan sosok tubuh Soeharto belum merakyat belum dikenal oleh rakyat dusun.
Kami tentu saja cara untuk melihat dan mendengar kehidupan rakyat kecil itu dapat dilakukan dengan merangsang mata dan telinga yang sehat di mana-mana.
Laporan mereka yang jujur akan sangat berguna sebagai bahan untuk mengambil keputusan. Banyak hal memang perlu dimonitor, yang kesemuanya mengental dalam pembangunan. Pembangunan kita menyangkut banyak aspek. Biaya yang besar itu jangan banyak yang bocor di tengah jalan.
Tujuan pembangunan jangan tidak memenuhi sasaran pembangunan itu untuk kita semua tetapi juga kita semua berhak untuk mengawasinya, Kita semua harus terlibat. Keterlibatan kita tergantung pada kualitas kita sebagai apa. Partisipasi positip dalam bentuk apa pun sebaiknya diterima dengan tanpa curiga.
Kritik sering kali dianggap sebagai awal permusuhan fisik. Orang tidak tertarik untuk mengritik jika mereka tidak menaruh perhatian. Menaruh perhatian itu sendiri sudah memerlukan energi dan waktu serta kadang-kadang juga memerlukan dana.
Adakah mereka menaruh perhatian itu tanpa keinginan untuk perubahan yang lebih baik?
Hati-hati
Memang sebagian besar orang tidak memilih jalan untuk melakukan kritik. Untuk sebagian mereka ikut arus sedang yang sebagian yang lain adalah mengambil cara diam.
Diam itu sendiri adalah sikap, mungkin sikap "ya" mungkin juga sikap "tidak". Kita perlu hati-hati menghadapinya.
Partisipasi dalam bentuk apa pun perlu diakomodasikan, sedikitnya didengarkan. Mata dan telinga tidak selamanya berbentuk jalur resmi, jalur tidak resmi pun dapat dimanfaatkan.
Dalam menjelang pemilu banyak janji ditebarkan oleh calon pemenang. Janji yang paling baik memang tidak perlu dalam banyak kaca. Sebenarnya rakyat tidak perlu janji yang mereka perlukan adalah bukti.
Janji-janji yang diterompetkan dalam bentuk kata-kata kekuatannya cepat menguap. Jika janji sudah menguap kekuatannya, apanya yang tersisa?
Dapat dipahami adanya orang-orang yang karena sesuatu hal tidak dapat diikutsertakan dalam mengurus pembangunan bangsa. Mungkin mereka tidak memenuhi syarat, mungkin juga memang mereka tidak mau dalam pengertian fisik.
Mereka hanya bisa memberikan fikiran-fikiran yang kadang-kadang bernada lain tetapi jernih. Pikiran-pikiran yang demikian tidak jelek untuk diperhatikan. Bukankah berbeda pendapat juga dijamin oleh UUD 45?
Dalam segala aspek kehidupan negara dan bangsa kita, pemerintah dan Golkar memegang posisi kunci Birokrasi. yaitu sistem pemerintahan dan aparatnya mengkhawatirkan bila bergabung terlalu kuat dengan kekuasaan salah satu kekuatan sosial politik.
Demikian kurang lebih yang dikatakan Dr. Mawar-di Rauf baru-baru ini. Tentu "kerja sama" itu adalah bentuk keinginan-kekuasaan. Bentuk yang demikian tentulah wajar bila tidak melewati batas-batas yang bisa mengguncangkan kehidupan kita. Sampai di manakah batas-batasnya, kita sulit mengetahuinya.
Yang jelas, demokrasi Pancasila itu harus diberi bentuk yang mudah dimengerti. Jangan kita terus menerus masih dalam perjalanan mencari bentuk. Apakah sudah benar bahwa salah satu kekuatan sosial politik harus didukung olehjalur birokrasi?
Di zaman liberal dulu kita juga ternyata mengalaminya. PNI banyak berada di jalur birokrasi I itu dan hasilnya hancur. Mengambil contoh dan melaksanakannya tanpa modifikasi, serasa masih tetap kita berada di zaman itu-itu saja.
Beberapa menteri dan tokoh Golkar pernah berucap bahwa Golkar tidak ingin menang 100%.
Alangkah segarnya ucapan itu, kalau Golkar tidak ingin menang mutlak, sebaliknya tentu partai-partai tidak ingin dikalahkan secara telak. Mudahmudahan dalam masa lima tahun mendatang ini kita bisa menjadi lebih arif apalagi bila melihat pribadi-pribadi yang duduk di dalam posisi itu mempunyai integritas yang lain.
Ketiga partai didirikan untuk hidup, tidak untuk dimatikan, apalagi tidak untuk saling membunuh.
Seperti Hantu
Kehidupan politik yang baik memang memerlukan pendidikan politik yang memakan waktu panjang. Kehidupan politik yang sehat sangat diperlukan di pedesaan.
Tidak jarang terjadi salah satu partai dianggap seperti hantu. Bukankah ketiganya mereka mempunyai hak yang sama? Bukankah undang-undang memberi hak kepada ketiganya untuk sama-sama hidup?
Selama beberapa kali masa kehidupan DPR, pembentukan undang-undang selalu inisiatifnya datang dari pemerintah. Bahwa undang-undang perlu disetujui DPR, kita sudah memakluminya. Tetapi bukankah DPR masih mempunyai hak inisiatif?
Mungkinkah lesunya DPR itu karena sebagian mereka tidak berfungsi dengan sebaiknya? Beberapa tokoh pemerintahan berikut istri dan anak-anaknya berada di dalam lembaga legislatif di pusat maupun di daerah. Apakah tidak sebaiknyajika kursi kursi mereka diberikan kepada tokoh-tokoh yang berkualitas untuk itu?
Kehidupan memang bergolak. Kehidupan kepartaian kita juga demikian. Sering kali rakyat dibuat bingung memperhatikan mereka, seperti yang dimuat koran-koran.
Sering kali fakta kesalahan mereka begitu telanjang sampai di mata pengikutnya. Sayangnya, kita seperti membiarkan saja apa yang terjadi, seperti membiarkan borok yang membesar.
Bukankah pemerintah berkewajiban menenangkan mereka dalam batas-batas tertentu? Kita semuanya berkewajiban untuk membentuk suasana stabil, bukan? Memang satu kelompok kadang-kadang mengadakan pergolakan di dalamnya secara tertutup.
Kelompok lain melakukannya terbuka hingga meresahkan banyak orang. Siapakah yang membuat pergolakan menjadi terbuka?
Belum Mulus
Peralihan generasi kini tengah berlangsung. Bagian yang sudah dilaksanakan nampak berjalan mulus. Peralihan di militer diatur secara rapi dengan disiplin yang memang harus dipatuhi.
Di tangan strategi yang baiklah hal2 ini bisa dilaksanakan dengan baik. Di sektor sipil, peralihan nampak belum mulus karena sifat tempatnya yang terbuka itu. Rivalitas di mana-mana terjadi tetapi di dalam militer atau kelompok lain yang berdisiplin tinggi, rivalitas itu tidak terlihat dari luar.
Pancasila memang diharapkan akan menjadi pedoman untuk segala hal. Namun demikian jangan sampai dia akan menghilangkan identitas. Kebhineka-tunggal ikaan itu memang tidak harus dipertentangkan dengan keperluan untuk menyatukan segala sesuatu melalui Pancasila.
Bukankah yang aneka ragam itu pula yang membuat kita bersatu Pancasila sudah menjadi milik kita bersama. Akan janggal lah bila terjadi bahwa justru Pancasila dipakai untuk memukul atau mematikan yang lain.
Dalam kehidupan Jawa ada ucapan alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat ucapan itu mungkin benar untuk kurun masa tertentu. Tentu kurang tepat kalau kita menggantungkan diri pada "selamat" lalu mengorbankan "kecepatan". Pembangunan dan kehidupan kita memerlukan kecepatan sekarang. Strategi yang baik cukup memperhatikan hal ini.
Suatu hari Pak Karto, yang tugas sehari-harinya sebagai ulu-ulu (petugas desa yang mengatur air) diberi tahu bahwa istrinya akan melahirkan. Setelah menyelesaikan tugasnya, Pak Harto mendapati istrinya di rumah melahirkan anak lelaki.
Hari itu alam tidak memberikan tanda apa-apa Soeharto telah dilahirkan dalam suasana biasa-biasa saja. Tidak sedikit pun ada pertanda bahwa bayi itu memang kelak akan bermartabat tinggi. Tetapi yang jelas, zaman sekitar tahun 1921 itu kurang beruntung. Keadaan ekonomi di Jawa, seperti juga di tempat-tempat lain, sedang morat-marit
Perpisahan Pak Karto dengan istrinya dan ibunya yang kemudian kawin lagi, membuat Soeharto muda itu menjadi tegar.
Neneknya, dukun beranak yang membantu kelahiran Soeharto, mengasuh Soeharto, selama 4 tahun. Tiga tahun kemudian Soeharto ikut ibunya. Pada umur 8 tahun dimasukinya sekolah. Satu tahun kemudian, Pak Harto memindahkannya ke Solo ke tempat adiknya, desa Kemusu ditinggalkannya.
Alangkah bedanya masa itu dengan keadaan sekarang. Presiden Soeharto tentu masih mengingatnya. Kala itu anak-anak sekolah tanpa sepatu, berkain sarung Katik. Siang hari mereka menggembala ternak.
Menapak tahun-tahun berarti kemalangan kini sebagian nasib bangsa dan negara "berada" di tangannya. Anak ulu-ulu itu kini tidak hanya mengurusi air saja seperti bapaknya tetapi mengurusi Tanah Air Indonesia.
Jalan panjang telah kita lalui bersama dan jalan panjang akan kita lalui bersama. (RA)
…
Jakarta, Sinar Harapan
Sumber: SINAR HARAPAN (06/06/1983)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 421-425.