KEBANGKITAN PARA ULAMA DIPERLUKAN UNTUK MENGGAIRAHKAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT
Presiden :
Presiden Soeharto berpendapat, dalam masa pembangunan dewasa ini masyarakat memerlukan kebangkitan para ulama untuk ikut menggerakkan dan menggairahkan umat dalam membangun masyarakat.
Ketika membuka Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama (NU) di pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, kabupaten Situbondo (Jawa Timur) hari Sabtu, Kepala negara mengatakan bahwa ulama-ulama memang harus terus bangkit melaksanakan "amar ma’ruf, nahi munkar" (menganjurkan kebaikan, mencegah kemungkaran, Red.)
Presiden Soeharto mengungkap kembali peranan para ulama dalam masa pergerakan sebelum kemerdekaan sampai perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, di mana mereka bukan hanya terus membina umat tapi juga ikut memimpin perjuangan menghadapi penjajah.
Berdirinya NU pada tahun 1926 antara lain merupakan bukti bahwa para ulama menunjukkan tanggung jawabnya dalam usaha memajukan umat jauh sebelum kemerdekaan nasional, kata Presiden.
"Fatwa para ulama, bahwa peljuangan tersebut dan menegakkan kemerdekaan nasional dahulu adalah jihad fi sabilillah, telah makin memperbesar perjuangan syuhada-syuhada kita dalam perang kemerdekaan dan revolusi," demikian ia menambahkan.
Kepala Negara mengharapkan, muktamar NU yang berlangsung sampai 12 Desember itu akan menjadi bagian penting dari sumbangan lebih Ianjut yang akan didarma baktikan para ulama serta keluarga besar NU bagi perjuangan besar bangsa dalam pembangunan.
Dengan melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, menurut Presiden, berarti bangsa Indonesia membangun masyarakat yang penuh ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menghormati harkat dan martabat sesama manusia, yang menjaga persatuan bangsa dan mendahulukan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan, yang menggunakan musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah bersama serta mewujudkan keadilan sosial.
"Alangkah indah dan menyejukkan hati, masyarakat yang kita dambakan bersama-sama itu," kata Kepala Negara.
Kekayaan Nasional
Dalam kesempatan itu Presiden mengemukakan, golongan-golongan dalam masyarakat tidak perlu dihilangkan karena usaha itu tidak ada gunanya dan melawan kenyataan.
"Yang harus kita usahakan adalah mengembangkan kehidupan bersama yang saling mengisi dan saling memperkuat demi pembangunan nasional," katanya. Dalam arti itu, ujar Presiden, golongan-golongan dalam masyarakat merupakan kekayaan nasional yang perlu dipupuk pertumbuhannya ke arah yang makin sehat dan bertanggung jawab.
Pembukaan muktamar NU itu ditandai dengan pemukulan beduk oleh Presiden Soeharto setelah menyampaikan sambutannya. Sebelum itu para hadirin telah mendengarkan sambutan K.H. As’ad Sjamsul Arifin selaku tuan rumah yang dibacakan sekretarisnya, S. Musa, sambutan PB NU yang disampaikan K.H. Ali Maksum dan Gubernur Jatim Wahono.
Hadir pada pembukaan muktamar organisasi massa Islam yang besar itu antara lain Ibu Tien Soeharto, Menko Polkam Surono, Menko Kesra Alamsyah Ratu Perwiranegara, Mensesneg Sudharmono SH, Mendagri Supardjo Rustam, Menteri Agama Munawir Sjadzali dan Panglima ABRI L.B. Moerdani.
Bukan Hal Baru
Presiden berpendapat, penegasan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila sebenarnya bukan hal baru. Hal itu merupakan penegasan dari dasar negara dan tujuan kemerdekaan nasional.
Kecuali dari golongan komunis yang memang tidak ikut ambil bagian dalam menentukan dasar negara, maka Pancasila sebagai dasar negara merupakan keputusan besar dan penuh tanggung jawab dari pemuka-pemuka bangsa Indonesia yang mewakili lapisan, golongan dan kalangan.
Di dalamnya, kata Presiden, termasuk pejuang-pejuang dan pemimpin terkemuka bangsa Indonesia dari kalangan umat Islam.
"Karena itulah, bagi kita Pancasila sebagai dasar negara merupakan masalah yang telah rampung secara tuntas. Masalah yang kita hadapi selanjutnya, yang meminta sumbangan pikiran dan perbuatan dari kita sekarang adalah bagaimana melaksanakan Pancasila itu secara nyata dalam kehidupan sehari-hari serta dalam melaksanakan pembangunan lahir-batin," demikian Kepala Negara.
Di samping itu, katanya lebih jauh, dengan melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila kita bertekad menghindari bermacam-macam kegagalan yang pernah dialami bangsa lain dalam memasuki tahap pembangunan masyarakat modern.
"Masyarakat modern memang menjanjikan harapan kehidupan yang lebih makmur dan lebih menyenangkan. Namun jika kita tidak waspada kita akan menderita karena penyakit dan kerawanan yang dibawa masyarakat modern itu," tegas Presiden.
Ia menunjuk pada pengalaman pahit pembangunan bangsa lain yang kini telah jauh lebih maju di banding Indonesia. "Mereka memang diliputi kekayaan kebendaan yang belum pernah dialami kehidupan manusia sebelumnya. Namun di samping itu tidak jarang mereka menjadi jatuh miskin secara rohani, sehingga kehidupan terasa kering tanpa arti," ujar Presiden.
Tidak Mengabaikan
Dalam kesempatan itu untuk kesekian kalinya Presiden memberikan jaminan bahwa dengan penentuan Pancasila sebagai satu-satunya azas, tidak berarti Pemerintah mengabaikan atau menurunkan kadar dalam pengembangan kehidupan beragama di Indonesia.
"Sebaliknya, kita bersama-sama dengan rasa tanggungjawab besar akan berusaha mengembangkan hubungan yang sebaik-baiknya antara kehidupan beragama dan pembangunan masyarakat Pancasila," tegasnya.
Dalam negara Pancasila, katanya, setiap warganegara memperoleh motivasi dan inspirasi dari agama dan kepercayaan yang mereka anut dalam memikul tanggungjawab bersama membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
"Hal ini tidak akan dikurangi sedikitpun dalam undang-undang mengenai organisasi kemasyarakatan yang dewasa ini sedang dimusyawarahkan di Dewan Perwakilan Rakyat. Hal itu juga tidak akan dikurangi oleh undangundang lain manapun," tegas Kepala Negara.
UU mengenai organisasi kemasyarakatan itu, menurut Presiden, justru memberi jaminan bahwa sumber motivasi dan inspirasi dari agama-agama dapat disumbangkan sebesar-besarnya kepada pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Dalam masyarakat Pancasila dijamin sepenuhnya dan dilindungi seadiladilnya kesempatan bagi semua agama agar tumbuh subur. Sebaliknya, kesemarakan kehidupan beragama akan memperkukuh, memperkaya dan menyegarkan Pancasila tanpa henti.
Kita semua bertekad menjadi warganegara Pancasila yang bertanggung jawab dan sekaligus menjadi umat beragama dengan keimanan utuh," demikian Presiden Soeharto. (RA)
…
Situbondo, Antara
Sumber : ANTARA (08/12/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 838-841.