PRESIDEN PADA PERINGATAN MAULID DI ISTANA :
DAKWAH BUKAN BIKIN RETAKNYA PERSATUAN
Dakwah yang bertanggung jawab adalah dakwah yang memperkuat sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjadi milik bersama, bukan sebaliknya yang mengakibatkan retaknya persatuan, menyesatkan dan mengganggu stabilitas nasional.
Demikian Presiden Soeharto mengemukakan dalam pidatonya pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Selasa malam, di Istana Negara yang dihadiri Ny. Tien Soeharto, Wakil Presiden beserta Ny. Umar Wirahadikusumah, para Menteri Kabinet Pembangunan IV, para pejabat tinggi negara, pimpinan DPR/MPR, pimpinan Lembaga Tinggi Negara, para duta besar negara-negara sahabat, pimpinan dan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan warga Ibu kota.
"Kita menyadari sedalam-dalamnya bahwa terganggunya stabilitas nasional akan merugikan kita semua. Tidak hanya merugikan kehidupan kita dalam bernegara, tetapi juga merugikan kehidupan kita dalam beragama," ucap Presiden.
Hal tersebut, menurut Kepala Negara, justru akan memberikan peluang bagi mereka yang tidak menghendaki keberhasilan dalam pembangunan dan tidak menghendaki kemajuan dalam beragama.
Dikatakan, sebagai bangsa yang kuat rasa keagamaannya, bangsa Indonesia tidak menginginkan terwujudnya masyarakat yang kering dari nilai-nilai agama, bahkan berkeyakinan, agama memberi sumbangan yang besar bagi terwujudnya masyarakat Pancasila yang dicita-citakan.
"Kita menyadari sedalam-dalamnya, bahwa menyusutnya peranan agama dalam kehidupan masyarakat akan buruk akibatnya bagi perkembangan masyarakat," tegas Presiden.
"Kita akan kehilangan sandaran moral dan spiritual, padahal sandaran moral dan spiritual itulah yang akan membuat bangsa kita kokoh dan tangguh menghadapi berbagai cobaan dan gangguan," tambahnya.
Kesetiakawanan Sosial
Dalam bagian lain pidatonya, Presiden mengatakan, Nabi Muhamamad SAW menekankan mutlaknya kesetiakawanan sosial dengan mengemukakan, tidaklah sempurna iman seseorang kalau dia enak-anak berbaring kekenyangan tanpa memperdulikan tetangga-tetangganya yang tergeletak kelaparan.
Kesadaran dan kesetiakawanan sosial itu, menurut Presiden, perlu diresapi kembali dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
"Dengan kesadaran dan kesetiakawanan sosial kita berharap tidak akan terjadi jurang sosial yang dalam dan lebar antara kalangan yang berpunya dan tidak berpunya," ujarnya.
Dengan itu, beban yang berat dapat dipikul bersama dan beban yang ringan dijinjing bersama dengan rasa seikhlas-ikhlasnya.
Potensi Islam
Menurut Kepala Negara, potensi umat Islam di Indonesia sangat besar, karena itu kaum muslimin Indonesia memikul tanggung jawab yang tidak ringan untuk memberi sumbangan yang sebesar-besarnya bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
"Untuk itu harus dihindari sikap mutlak-mutlakan, sikap ingin benar sendiri dan mau menang sendiri," katanya.
Kepada umat Islam, Presiden minta agar mengembangkan sikap tasamuh dan lapang dada menghadapi kemajemukan bangsa Indonesia dan umat Islam.
Sementara itu Menteri Agama H. Munawir Sjadzali dalam kesempatan yang sama mengemukakan, demi keberhasilan pembangunan nasional, para pelaksana di tiap tingkatan mutlak perlu memiliki modal amanah, kejujuran, kesetiaan, loyalitas dan integritas hingga dengan demikian rakyat bisa merasa aman menitipkan nasibnya dan berbagai kepentingannya.
"Kita bukan Nabi," ujarnya, "Tetapi tidak berarti pula bahwa kita tidak mampu mencontoh Nabi".
Oleh karenanya, menurut Menteri Agama, demi suksesnya pembangunan yang sedang kita laksanakan sangat memerlukan contoh ketauladanan Nabi Muhammad SAW.
Pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara itu, Prof. Dr.H. Ibrahim Hasan menguraikan hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW. (RA)
…
Jakarta, Merdeka
Sumber : MERDEKA (06/12/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 837-838.