KEKUASAAN YANG TIDAK MENCEKAM
Tajuk Rencana :
Terucap kalimat yang menggetarkan sanubari, ketika Presiden Soeharto melantik tiga pejabat tinggi hukum pada hari Rabu yang lalu.
Tatkala Kepala Negara menegaskan, pemerintahan negara yang hanya berdasarkan kekuasaan belaka, akan terasa mencekam dan menakutkan rakyatnya sendiri. Perasaan tercekam dan ketakutan, lurus bertolak belakang dengan cita-cita kita membangun manusia Indonesia yang utuh, mandiri, bebas, bertanggung jawab dan sejahtera lahir batin.
Ia juga menandaskan, kekuasaan dl Indonesia kini dan untuk selanjutnya, akan selalu berlandaskan hukum dan tak pernah akan ingkar dari landasan tersebut.
Asas hukum kecuali merupakan masalah prinsip yang diamanatkan oleh UUD, juga merupakan kebutuhan bangsa dan negara. Hukum yang kita junjung ialah, hukum yang menegakkan keadilan, yang mengayomi seluruh rakyat tanpa kecuali dan yang menjaga dinamika yang stabil.
JIKA kita meniti kembali sejarah, sejak Indonesia merdeka kita temukan adanya periode-periode, di mana rasa tercekam dan takut menimpa seluruh bangsa kita atau sebagian dari bangsa kita.
Periode itu misalnya, tatkala terjadi masa peralihan yang disertai krisis dan dalam periode krisis itu, peranan hukum sebagai landasan kekuasaan kosong atau goyah. Dalam keadaan demikian, orang merasa tidak ada kepastian dan berusaha membela kepastian untuk dirinya secara masing-masing.
Dalam pengalaman sejarah kita, rasa mencekam dan rasa takut, pernah ditimbulkan oleh penyelenggaraan kekuasaan yang mengabaikan hukum. Pernah juga rasa itu timbul, karena perilaku dan perjuangan politik kelompok masyarakat yang juga mengabaikan hukum dan mau menang sendiri.
Pengalaman itu mengajarkan kepada kita, asas dan proses hukum adalah asas dan proses yang mengikat seluruh kita, baik penyelenggara kekuasaan maupun masyarakat dan berbagai kelompoknya.
Asas hukum yang dicirikan harus membebaskan seluruh rakyat tanpa kecuali dari rasa cemas dan rasa takut, sekaligus memberikan kualifikasi yang jelas bagi asas hukum yang kita anut.
Lajimnya, asas hukum yang demikian itu disebut asas hukum yang demokratis. Apabila dirumuskan menjadi ketentuan normatifyang mengikat, asas hukum mengambil bentuk-bentuk formal itu menjadi suatu syarat dalam realisasi.
Dengan memberikan kualifikasi demokratis kepada asas hukum, formula yang normatif dan secara formal mengikat, juga diperluas dengan dimensi demokratis.
Dengan kualifikasi itu, ingin diberikan jaminan, bahwa asas dan proses hukum yang mengikat adalah sekaligus asas dan proses hukum yang adil, mengayomi, di samping memberikan kepastian.
Dalam praktek kenegaraan, disepakati adanya prosedur dan cara kerja untuk mewujudkan asas hukum yang demokratis.
Pertama, rakyat melalui lembaga perwakilan dan lembaga-lembaga penyalur partisipasinya, ikut serta secara aktif dalam pembuatan setiap perundangan.
Kedua, rakyat melalui lembaga perwakilan dan berbagai lembaga kontrol, Ikut aktif dalam mengawasi terselenggaranya perundangan dan setiap kali memiliki wewenang untuk melakukan kontrol, koreksi dan pengujian.
Ketika, asas hukum yang demokratis dihadapkan pada masalah pembangunan dengan berbagai persoalan, keterbatasan dan prioritasnya, timbullah berbagai aliran pikiran.
Pemah dilontarkan, hukum tidak menjadi pendahulu pembangunan ekonomi. Hukum menjadi hasil yang sadar dari proses pembangunan ekonomi. Berbagai negara sedang berkembang menganut paham tersebut.
Aliran yang dicetuskan oleh para pengamat masalah pembangunan di universitas negara Industri, kemudian digugat. Jika hukum menjadi hasil pembangunan ekonomi, artinya baru berlaku setelah pembangunan ekonomi berhasil, penyelenggaraan kekuasaan dan pembangunan akan disertai sistem kekuasaan represif yang menomor duakan hukum.
Sikap demikian akan menimbulkan berbagai privilese politik dan ekonomi. Aliran baru berpendirian, hukum dan pembangunan beijalan serentak. Antara keduanya terjadi dampak saling mempengaruhi secara konstruktif atau negatif. Adanya interaksi itu harus disadari dan dikendalikan secara bijaksana.
Konsitusi kita jelas menganut paham kedua, keserentakan asas hukum dan pembangunan. Apa yang tercantum dalam konstitusi tidak dengan sendirinya menjadi kenyataan.
Sebab dalam kenyataan, selalu terjadi adu pengaruh, tarik menarik yang dipengaruhi oleh permasalahan masyarakat, persepsi tantang prioritas dan dinamika masing-masing kekuatan.
Amanat Kepala Negara menegaskan kembali, dalam asas, dalam kebijakan, maupun dalam praktek, kita menganut asas dan proses hukum juga dalam tahap-tahap pembangunan yang memprioritaskan ekonomi.
Oleh persepsi tentang tugasnya juga oleh penilaian tentang permasalahan masyarakat, masing-masing kelompok kekuasaan dapat melanggar keserentakan asas.
Untuk setiap kali mengingatkan dan mengoreksi apabila terjadi praktek atau gejala demikian, diperlukan kekuatan dan mekanisme kontrol.
Kekuatan dan mekanisme kontrol oleh lembaga perwakilan dan berbagai lembaga lain yang sah, harus juga peka akan perkembangan keadaan dan memiliki kemampuan moril untuk menjalankan tugasnya.
Setiap kali kita diingatkan, asas-asas mulia yang kita miliki dan kita sepakati, kecuali ditangkap maknanya yang utuhjuga harus dapat ditarik implikasi dan syaratÂsyaratnya, agar asas itu menjadi kenyataan semakin penuh. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (01/06/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 804-806.