Konsepsi Peradaban Pancasila (6)[1]
(Keadilan Seluruh Rakyat)
Oleh:
Abdul Rohman
Amanat sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat” bukan merupakanan penekanan tanggung jawab negara sebagai lembaga penyantun (charity) dan hanya menerjemahkannya dengan mengacu pasal 34 UUD[2]. Sila kelima tersebut harus diterjemahkan secara komprehensip bahwa negara bertanggung jawab dalam menciptakan kesetaraan keadilan dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam bidang politik, hukum-pemerintahan-HAM, ekonomi maupun budaya. Keadilan politik diimplementasikan dalam bentuk tersedianya peraturan yang menjamin terselenggaranya sistem politik demokratis dan adanya perlindungan kemerdekaan politik bagi seluruh warga tanpa adanya diskriminasi[3]. Termasuk dalam lingkup sistem tersebut adalah adanya upaya sistematis negara dalam pemberdayaan politik sehingga semua warga negara memiliki kesetaraan keberdayaan politik. Oleh karena itu negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 28 UUD 1945)
Keadilan hukum diimplementasikan dengan ketersediaan aturan dan sistem hukum yang mampu menjamin terwujudnya keadilan dan kesetaraan hukum dalam masyarakat. Pasal 27 UUD 1945 menekankan persamaan kedudukan setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Penegakan hukum memerlukan ketersediaan empat instrumen kunci, yaitu peraturan yang baik, profesionalitas dan kejujuran aparat hukum, kelengkapan fasilitas penegakan hukum dan kesadaran masyarakat dalam mematuhi hukum. Negara harus mampu menyediakan/mengelola keempat instrumen kunci diatas, sehingga prinsip equal before the law (kesetaraan di hadapan hukum) dapat ditegakkan. Sebagai bagian perlindungan terhadap keadilan adalah perlindungan hak asasi bagi setiap warga negara sebagaimana amanat pasal 28A-J UUD (amandemen kedua).
Keadilan ekonomi dimanifestasikan dengan adanya sistem dan kebijakan yang dapat melindungi kemerdekaan masyarakat untuk mengembangkan kreatifitas ekonominya serta melindungi dari persaingan yang tidak imbang dan tidak sehat. Oleh karena itu pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menekankan “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yang diimplementasikan dengan pemberdayaan koperasi. Keberadaan koperasi diharapkan dapat menjadi wadah sekaligus perlindungan bagi pelaku-pelaku usaha mikro dalam berkompetisi dengan pelaku ekonomi kuat.
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menekankan “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Sedangkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menekankan “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ayat (2) dan (3) pasal 33 UUD 1945 ini untuk melindungi penggunaan sarana-sarana perekonomian dan sumber daya alam vital untuk pencapaian keuntungan oleh sebagian atau sekelompok orang sehingga keberadaannya (sumber-sumber vital tersebut) tidak dapat dimanfatkan secara maksimal untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Pada era Presiden Soeharto, implementasi keadilan sosial dalam bidang ekonomi (demokratisasi ekonomi) diwujudkan dengan pengembangan tiga kerangka penyangga ekonomi nasional yaitu swasta, BUMN dan Koperasi. Perusahaan-perusahaan swasta memiliki agresifitas dalam konsolidasi modal, mobilisasi SDM dan pembesaran skala usaha. Keberadaannya didorong untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional dan penyediaan lapangan kerja. BUMN difungsikan untuk pengelolaan dan pengembangan sarana-sarana perekonomian vital serta pengembangan industri-industri strategis. Sedangkan koperasi difungsikan sebagai wadah pemberdayaan ekonomi mikro. Melalui ketiga kerangka penyangga perekonomian itu, amanat pasal 33 UUD 1945 itu hendak diwujudkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto.
Sedangkan keadilan dalam bidang budaya tercermin dari pengakuan maupun penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional[4] serta tanggung jawab pemeliharaan bahasa daerah[5]. UUD juga menekankan pengakuan terhadap pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam kerangka NKRI[6].
Sebagai bagian dalam mewujudnya keadilan sosial, negara bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan perlindungan hak pendidikan bagi warganya[7]. Melalui pendidikan yang dapat dijangkau secara merata, keberdayaan masyarakat dapat ditumbuhkan dan keadilan sosial secara merata dapat diraih oleh masing-masing warga negara. Sedangkan bagi masyarakat yang benar-benar tidak berdaya (fakir miskin, orang-orang jompo dan anak-anak terlantar), maka tugas negara menyediakan program-program charity seperti bantuan sosial, bantuan kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan sehingga yang bersangkutan bisa berdaya.
Sebagai philosophische grondslag, kelima sila tersebut menjadi dasar/ rujukan atau koridor-koridor yang harus ditaati dalam mewujudkan tujuan negara, yaitu terlindunginya segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, majunya kesejahteraan umum, cerdasnya kehidupan bangsa dan keikutsertaanya dalam mewujudkan ketertiban dunia. Rumusan UUD harus mencerminkan filosofi dan substansi philosophische grondslag. Begitupula dengan peraturan perundang-undangan operasional, kebijakan negara dan program-program pembangunan, secara substansi harus mengacu dan tidak bertentangan dengan philosophische grondslag. Sedangkan secara technical (konsep operasional teknis) dapat mengadopsi sistem negara-negara maju.
***
[1] Disarikan dari Buku Politik Kenusantaraan
[2] Pasal 34 UUD 1945 menekankan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Sedangkan dalam amandemen ditambahkan dengan tanggung jawab negara mengembangkan sistem jaminan sosial, pemberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu (ayat (2) dan tanggung jawab penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum (ayat 3).
[3] Seluruh rakyat Indonesia pada dasarnya memiliki kemerdekaan politik kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya anak-anak dibawah usia 18 tahun dan pengkianat negara.
[4] Pasal 28 I UUD 1945 (amandemen kedua)
[5] Pasal 32 UUD 1945 (amandemen keempat)
[6] Pasal 18B UUD 1945 (amandemen kedua)
[7] Pasal 31 UUD 1945 (amandemen keempat)