Meninggalkan 1986, Memasuki 1987

Meninggalkan 1986, Memasuki 1987[1]

Menghadapi tahun baru 1987, saya paparkan apa yang telah terjadi dan telah kita laksanakan di tahun 1986, tahun yang merupakan ujian berat di bidang ekonomi.

Setiap tahun mempunyai makna khusus dalam perkembangan dan pertumbuhan sebagai bangsa. Setiap tahun benar-benar selalu terasa sebagai tahun yang tidak sepi dari ujian dan tantangan. Tetapi saya tidak pernah berkecil hati menghadapi ujian dan tantangan itu karena saya sadar, bahwa semuanya itu adalah gelombang-gelombang dinamka yang tidak pernah akan berhenti. Setelah setiap masalah kita selesaikan, maka segera timbul masalah baru. Setelah setiap harapan telah menjadi kenyataan, segera timbul harapan-harapan baru dan aspirasi baru yang meningkat.

Di tahun 1986 itu banyak pengaruh yang tidak menguntungkan dari perkembangan dunia sangat kita rasakan. Kondisi perekonomian Indonesia belum pulih akibat resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan, sementara ekspor hasil-hasil pertanian dan tambang pun belum mantap akibat perubahan harga di pasaran dunia. Tekanan dari luar terasa beratnya karena tajamnya penurunan harga minyak bumi di pasaran dunia. Padahal pada satu tahun sebelumnya saya sudah menyatakan bahwa tahun 1985 adalah tahun yang sudah berat. Tekanan itu telah kita perkirakan akan berlanjut dalam tahun 1986. Saya sudah berterus terang di akhir 1985 bahwa tahun 1986 akan merupakan tahun yang tetap sulit dan sangat berat bagi pelaksanaan pembangunan kita.

Dalam tahun 1986 itu harga minyak bumi mengalami penurunan yang sangat tajam dan dalam waktu yang singkat pula. Januari 1986 harga minyak itu 25 dollar AS setiap barel. Enam bulan kemudian sudah turun sampai di bawah 10 dollar AS sehingga mengakibatkan pengurangan sangat besar terhadap penerimaan devisa dan memberi tekanan sangat berat terhadap neraca pembayaran. Karena itulah, dalam bulan September (1986) saya terpaksa mengambil keputusan yang sangat sulit dan berat, yaitu mengadakan devaluasi mata uang rupiah. Ini keempat kalinya saya tetapkan di masa Orde Baru[2].*)

Devaluasi memang berpengaruh terhadap kenaikan harga-harga. Tetapi dengan cukupnya persediaan beras dan bahan pangan Iainnya, serta cukupnya persediaan barang lain dan kelancaran arus perdagangan, maka harga-harga pun tidak melonjak-Ionjak di luar kewajaran. Ini terbukti dengan tingkat inflasi sebesar 8,83%, di bawah 9% dalam tahun 1986.

Syukurlah, tidak sedikit di antara para pengusaha dan kaum industrialis yang dapat membaca tanda-tanda zaman dan mengambil hikmah dari ujian berat yang kita hadapi di bidang ekonomi ini. Tidak sedikit di antara mereka yang justru membenahi diri dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas sehingga mereka tetap hidup dengan sehat.

Tetapi dalam pada itu saya pun menemukan kekecewaan bahwa ada saja yang telah mengambil kesempatan mencari keuntungan diri sendiri di tengah-tengah suasana keprihatinan bangsa, sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakpastian dalam masyarakat.

Ya, saya membayangkan betapa beratnya beban yang harus kita pikul, sekiranya kita belum mencapai swasembada pangan. Dan sukses awal kita dalam swasembada beras memang tidak Iuput dari ujian dan tantangan, yang datang dari ancaman hama wereng. Tetapi kita juga segera mengambil Iangkah-Iangkah untuk menanggulangi bahaya itu.

Syukurlah kita telah memiliki industri, baik hulu maupun hilir yang menghasilkan berbagai kebutuhan masyarakat. Dengan segala keterbatasan, kita telah membangun prasarana ekonomi sehingga roda­roda perekonomian kita tetap berjalan.

Saya bersyukur pula bahwa Iembaga-Iembaga swadaya masyarakat (LSM) telah mendorong kreativitas dan tanggungjawab masyarakat sehingga kini makin berkembang. Saya menyampaikan penghargaan kepada berjuta-juta kaum ibu, terutama di daerah pedesaan, yang telah mampu mengangkat sendiri tingkat kesejahteraan mereka melalui gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Menggembirakan pula bahwa kegairahan kehidupan beragama terus meningkat, serta terpelihara kerukunan hidup umat beragama. Hal ini merupakan sumbangan besar dari semua umat beragama, bagi pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka negara Pancasila.

Sementara itu kita telah memasuki tahun kedua dalam pelaksanaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masalah yang sangat mendasar ini sekarang dapat dicernakan dengan sikap yang makin dewasa dan bertanggung­jawab, sesudah melalui proses dialog-dialog nasional yang sehat dan luas. Tugas kita bersama selanjutnya ialah memahami dan mengamalkan Pancasila itu secara kreatif dan positif sehingga nilai-nilai luhurnya selalu dapat memberi jawaban setepat-tepatnya kepada tantangan baru dalam perkembangan kita seterusnya.

Mudah-mudahan proses penyesuaian terhadap perkembangan yang kita hadapi dewasa ini dapat kita lampaui dengan selamat dan semuanya itu akan menjadi kekuatan utama kita untuk maju lebih jauh lagi. Mudah-mudahan kita akan selamat sampai pada sewaktu tinggal landas dan seterusnya.

Dan waktu saya berbicara pada sidang DPR pada permulaan tahun 1987 mengenai APBN 1987-1988 yang tetap berimbang itu, saya gambarkan juga betapa berat tantangan yang ada dalam pembangunan kita ini. Saya tahu bahwa besar perhatian yang diberikan semua pihak pada RAPBN baru itu. Itu berarti bagi saya bahwa kita semua tanpa kecuali saya harapkan akan mengambil sikap dan langkah di bidang masing-masing, untuk menyukseskan rencana kerja nasional1987/1988 dengan jalan di satu pihak mengembangkan sumbangan dan peranan kita yang positif, dan di pihak lain menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari sikap dan tindakan yang tidak mendukung tugas-tugas nasional kita.

Saya mengajukan RAPBN 1987-1988 itu sebesar Rp 22,7 trilyun lebih, yang berarti naik 6,5% dibanding dengan RAPBN tahun sebelumnya yang berjumlah Rp 21,4 trilyun.

Saya gambarkan waktu itu, pada prinsipnya tidak akan ada proyek pembangunan yang baru. Bahkan proyek-proyek yang sedang berjalan pun akan diseleksi lagi secara lebih tajam, apakah dapat dilanjutkan atau tidak.

Gaji pegawai negeri dan anggota ABRI tidak akan dinaikkan. Ini berarti telah dua tahun berturut-turut gaji pegawai negeri dan ABRI tidak naik. Saya merasa berat memajukan hal ini. Tidak ada pemerintahan yang tidak memikirkan nasib pegawai negerinya. Tetapi dalam situasi demikian, perlu kita pikirkan bersama untuk memperbaiki pendapatan atau gaji pegawai negeri, andaikan satu bulan saja, sudah Rp 520 milyar. Apalagi kalau dinaikkan sepuluh persen. Itu akan bertambah berat lagi.

Andaikata nanti harga minyak naik 1dollar AS saja per barel, akan didapat tambahan sekitar Rp 800 milyar. Dan jika produksi minyak dapat ditingkatkan 100.000 barel per hari, akan diperoleh tambahan Rp 900 milyar. Kalau itu terjadi, maka rasanya kita bisa memperbaiki nasib para pegawai negeri dan anggota ABRI.

Saya akui bahwa RAPBN tahun 1986/1987 disusun dengan asumsi harga minyak 25 dollar AS per barel, dengan toleransi antari 20 dollar dan 28 dollar AS. Kenyataannya, sejak Maret 1986, harga minyak ambruk hingga di bawah 10 dollar AS per barel. Bahkan pernah mencapai 8 dollar AS per barel.

Kesenjangan di luar perkiraan itu menimbulkan malapetaka bagi negara penghasil minyak bumi, khususnya bagi Indonesia, negara yang sedang membangun dengan jumlah penduduk yang amat besar.

Untuk menghindari bencana itulah di bulan September 1986 pemerintah melakukan tindakan devaluasi rupiah itu. Pada tahun 1986 pernah saya kemukakan bahwa pemerintah tidak perlu dan tidak akan melakukan devaluasi mata uang rupiah. Tetapi kenyataannya kemudian pemerintah terpaksa melakukan devaluasi. Tindakan itu bukan berarti pemerintah tidak konsekuen. Juga bukan berarti pemerintah menipu atau menjerumuskan rakyat.

Saya berterus terang begitu di depan para wakil rakyat. Tindakan yang tidak populer itu dilakukan setelah kami mempertimbangkan berbagai faktor dan kemungkinan. Secara jujur saya katakan bahwa saya menganggap lebih bermoral dan lebih bertanggung jawab untuk mengatakan apa adanya kepada rakyat dan secara sadar mengambil keputusan yang pahit demi kepentingan pembangunan jangka panjang. Hendaknya maklum, untuk mengambil keputusan itu saya memerlukan waktu, merenung berminggu-minggu sebelum memutuskan kebijaksanaan devaluasi itu. Daripada saya tidak mengambil keputusan yang pahit itu sekedar karena saya hanya ingin menyelamatkan kata­-kata yang pernah saya ucapkan sendiri, lebih baik saya mengambil keputusan yang pahit demi kepentingan pembangunan jangka panjang.

Saya tekankan dalam kesempatan itu, dalam menghadapi keadaan yang suram dan mengecewakan disebabkan oleh keadaan ekonomi dunia, kita tidak perlu terjebak oleh pancingan dan provokasi untuk bersikap pesimistis, acuh tak acuh, negatif, dan sinis. Sebaliknya, saya mengharapkan dari semua pihak kesadaran untuk berusaha secara aktif mengatasi kesulitan dan tantangan itu, dengan sikap realistik, penuh harapan dan setia kepada Pancasila. Dalam pada itu, kita pun harus berani mengadakan penyesuaian, perbaikan, pembaharuan, dan apabila perlu, koreksi-koreksi dalam pola pikir, pola kerja dan pola hidup kita dan lembaga-lembaga kita di berbagai bidang. Bagaimanapun juga kita harus meningkatkan efisiensi, produktivitas, menghindarkan pemborosan dan kebocoran, menciptakan iklim yang menggairahkan dunia usaha dan iklim yang membangkitkan kreativitas dan partisipasi masyarakat.

***



[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 474-478.

[2] Tahun 1971: devaluasi rupiah 10 %, menjadi 420 per dollar AS. Tahun 1978: devaluasi rupiah 50 %, menjadi 625 per dollar AS. Tahun 1983: devaluasi rupiah menjadi 970 per dollar AS. Tahun 1986 : devaluasi rupiah menjadi 1,644 per dollar AS.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.