Munawir Sjadzali: Pak Harto Memahami Peta Umat

Memahami Peta Umat

Munawir Sjadzali (Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV dan V)

Kiranya dapat saya katakan bahwa perkenalan saya dengan Bapak Presiden Soeharto dimulai pada waktu saya mendapat kepercayaan sebagai Duta Besar RI di Kuwait pada tahun 1976 sampai dengan tahun 1980. Tetapi kesan saya tentang beliau sudah mulai terbentuk sejak saya bertugas sebagai orang kedua pada KBRI di Kolombo, Srilanka, dari tahun 1963 sampai dengan tahun 1986, terutama sejak meletusnya peristiwa G-30-S/PKI. Pada waktu terjadinya pengkhianatan G-30-S/PKI itu saya bertugas di KBRI Kolombo dibawah seorang Duta Besar yang anggota PKI. Beberapa bulan setelah terjadinya peristiwa itu, dia diperintahkan untuk mengakhiri tugasnya dan kernbali ke tanah air, namun dia menolak dan sebaliknya memilih pergi ke negara ketiga. Sebagai orang kedua dalam KBRI, dengan kepergian Duta Besar itu saya mengambil alih pimpinan Kedutaan Besar sebagai Kuasa Usaha sementara.
Tugas saya yang terberat pada waktu itu adalah menjelaskan kepada pemerintah dan masyarakat setempat tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan pemerintah baru di Indonesia itu, terutama dengan adanya kesan di luar negeri bahwa telah terjadi pengambilan kekuasaan di Indonesia oleh sekelompok perwira militer, dan adanya kecurigaan terhadap iktikad baik dari penguasa baru tersebut, mengingat apa yang sering terjadi di Amerika Latin dan Timur Tengah. Suatu hal yang tidak kurang rumitnya adalah menghadapi pertanyaan tentang bagaimana sikap pemerintah baru itu terhadap Presiden Soekarno yang oleh sementara pihak baik di dalam maupun di luar negeri dianggap terlibat didalam peristiwa G-30-S/PKI. Kendala yang paling besar yang saya hadapi adalah ketidaktahuah •saya tentang jatidiri dari tokoh-tokoh baru di Indonesia itu. Maka tidak mengherankan kalau saya sendiri mengikuti perkembangan awal di Indonesia setelah tertumpasnya G-30-S/PKI itu dengan perasaan harap-harap cemas.
Alhamdulillah tugas saya meyakinkan pemerintah dan masyarakat setempat, bahwa perkembangan politik Indonesia itu mengarah kepada perbaikan bangsa dan negara, dipermudah dengan pernyataan-pernyataan dan ungkapan dari pemerintah baru mengenai tekadnya untuk kembali kepada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan pengikisan terhadap penyelewengan-penyelewengan ideologi dan politik negara. Kepercayaan dunia luar kepada Pemerintah baru makin meningkat dengan adanya perlakuan yang demikian sopan terhadap Presiden Soekarno dan tidak diambilnya tindakan-tindakan hukum terhadap beliau. Dari situlah saya berkesempatan untuk mulai melihat alur pikiran dan kebijaksanaan Bapak Soeharto.
Saya adalah Duta Besar RI yang pertama untuk Kuwait, yang mandiri dan berdomisili di Kuwait. Sebelum itu duta besar kita untuk Irakyang berkedudukan di Baghdad diakreditasi ke Kuwait. Tidak lama setelah saya membuka Kedutaan Besar yang mandiri yang berkedudukan di Kuwait, Bapak Presiden dengan Ibu Soeharto melangsungkan kunjungan kenegaraan ke Timur Tengah, dan dari sejumlah negara yang beliau kunjungi termasuk empat negara wilayah akreditasi saya: Kuwait, Qatar, Abu Dhabi dan Bahrain.
Oleh karena itu maka saya dan isteri mendapat kesempatan dan kehormatan untuk mengenal Bapak dan Ibu Soeharto dari dekat.
Mengapa tidak. Dalam kunjungan kenegaraan ke Timur Tengah itu beliau disertai oleh tiga menteri, Bapak Sudharmono/Menteri Sekretaris Negara, Bapak Prof. Dr. Sjarif Thayeb/Menteri Luar Negeri ad interim dan Bapak Widjojo Nitisastro, masing-masing dengan isteri. Bahkan dalam perjalanan udara dari satu negara ke negara lain di wilayah akreditasi saya, isteri saya dan sayalah yang duduk di muka Bapak Presiden .dan Ibu.
Kesan kami berdua, saya dan isteri, setelah enam hari selalu menyertai beliau itu antara lain adalah: Pertama, beliau dan ibu amat mudah dilayani. Dalam hubungan ini dapat saya ceritakan dengan terus terang bahwa saya dan isteri pernah sempat dibikin cemas oleh Advance Team yang mengunjungi kami dalam rangka persiapan kunjungan Bapak Presiden, yang memberikan kesan bahwa kita harus hati-hati betul menerima kunjungan Bapak Presiden. Kesan itu segera lenyap setelah beliau dan Ibu datang. Sampai-sampai isteri saya yang semula serba nervous menjadi santai dan berani bergurau. Kedua, baik Bapak maupun Ibu betul-betul memperlihatkan sikap kebapakan dan keibuan yang tidak mengambil jarak dari kami berdua. Ketiga, menerima ketidak-berhasilan dengan sabar. Dalam hubungan ini dapat saya kemukakan bahwa pemerintah dari suatu negara yang termasuk wilayah akreditasi saya pada waktu itu masih belum dapat diajak mendukung posisi kita dalam masalah Timor Timur. Dan dalam perundingan bilateral salah seorang anggota delegasi kita sempat beremosi. Pada waktu itu justru Bapak Presidenlah yang meminta agar kita mencoba mengerti terhadap kekurangpahaman negara tersebut dengan sabar. Memang benar, beberapa tahun kemudian negara itu berbalik pendirian dan merupakan pendukung yang setia kita dalam masalah Timor Timur.
Menjelang akhir tugas saya di Kuwait pada pertengahan tahun 1980, saya diberitahukan oleh Menteri Luar Negeri, Bapak Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, bahwa saya akan dipindahkan ke Kairo sebagai Duta Besar untuk Mesir, menggantikan Prof. Dr. Fuad Hassan. Saya dan keluarga sebenarnya ingin pulang ke Indonesia, setelah empat tahun bertugas di London sebagai Wakil Duta besar dan empat tahun di Kuwait sebagai Duta Besar. Tetapi karena perintah, maka saya dan keluarga mulai bersiap-siap untuk pindah ke Kairo. Untung, sebelum Bapak Fuad Hassan selaku Duta Besar yang akan saya gantikan menyampaikan riwayat hidup saya kepada kementerian luar negeri Mesir tersusul oleh perubahan bahwa saya tidak jadi menggantikannya, dan sebaliknya dipanggil pulang untuk menjabat sebagai Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri menggantikan Saudara Drs. Haidir Anwar Sani yang jatuh sakit. Dan saya mulai memangku jabatan baru tersebut pada bulan Desember tahun 1980 sampai waktu diangkat sebagai Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan IV bulan Maret 1983.
Saya tidak dapat mengatakan perbandingan antara Presiden Soeharto dan almarhum Presiden Soekarno, oleh karena saya tidak pernah dekat dengan Presiden Soekarno. Yang dapat saya katakan adalah bahwa saya merasa lebih pas dan serasi dengan pemerintah Orde Baru daripada Orde Lama.
Selaku pejabat Departemen Luar Negeri di masa Orde Lama, terutama pacta tahun-tahun terakhir, saya sering dihadapkan kepada kesulitan yakni keharusan melaksanakan tugas-tugas yang saya tidak yakin kebenarannya, dan bahkan bertentangan dengan hati nurani saya. Dengan Orde Baru dibawah pimpinan Bapak Presiden Soeharto, yang terjadi adalah kebalikannya. Saya dengan pengetahuan yang sangat terbatas selalu dengan mudah dapat mengikuti garis­garis politik dan alur-alur kebijaksanaannya serta sejalan dengan hati nurani saya. Oleh karenanya maka saya dapat melaksanakan tugas-tugas negara dengan penuh antusias.
Selama lebih dari dua tahun menjabat sebagai Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri, saya mendapat kesempatan lebih luas untuk berhubungan langsung dengan Bapak Presiden Soeharto dan dengan pejabat-pejabat tinggi dari lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Apabila datang tamu-tamu dari luar negeri dan diacarakan untuk bertemu Bapak Presiden, acapkali sayalah yang ditugaskan oleh Menteri Luar Negeri Bapak Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, untuk mendampingi mereka.
Apabila Bapak Presiden mengadakan kunjungan kenegaraan ke luar negeri, selain Menteri Luar Negeri yang selalu diikaitkan juga dalam rombongan adalah Direktur Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri dan Direktur Jenderal Politik. Dengan demikian, ketika secara tiba-tiba saya mendapatkan kepercayaan baru sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV, maka saya tidak lagi canggung baik dimuka Bapak Presiden maupun dalam hubungan saya dengan lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet.
Dengan pengangkatan saya sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV dan juga dalam Kabinet Pembangunan V sampai sekarang ini, saya telah melayani beliau selama delapan tahun. Hal itu merupakan suatu kehormatan dan kesempatan yang sangat baik untuk mengenal beliau dan gaya kepemimpinan beliau dari dekat.
Sewaktu saya menjabat sebagai duta/orang kedua pada Kedutaan Besar RI di London, lnggris Raya, dari akhir tahun 1970 sampai akhir tahun 1974, saya sering melayani tamu-tamu pejabat tinggi, termasuk menteri-menteri dari Indonesia yang datang untuk tugas­tugas negara. Saya masih ingat benar ungkapan salah seorang menteri dari kelompok Ekuin bahwa pada tahun-tahun pertama Orde Baru, apabila menteri-menteri tersebut menghadap Bapak Presiden Soeharto, merekalah yang berbicara dan Bapak Presiden yang mencatatnya di buku harian beliau. Tapi tidak lama kemudian situasi menjadi berbalik. Apabila menteri-menteri yang sama itu menghadap Bapak Presiden, maka beliaulah yang banyak berbicara dan para menteri itu berbalik sibuk mencatat uraian Bapak Presiden di buku harian mereka masing-masing.
Tampaknya hal demikian juga berlaku dalam bidang keagamaan, untuk mana sebagai Menteri Agama saya merupakan pembantu utama Kerapkali saya dengan sangat hati-hati mengajukan usul­usul program pembaharuan serta usul-usul peningkatan kualitas pendidikan agama, dengan harap-harap cemas untuk dapat dimengerti dan kemudian disetujui oleh Bapak Presiden. Tetapi setelah hal­hal tersebut kami kemukakan, ternyata gagasan-gagasan tersebut bukan merupakan hal yang baru bagi beliau, bahkan kadang-kadang pandangan beliau lebih maju daripada apa yang saya memberanikan diri untuk menyampaikannya.
Situasi yang demikian menempatkan saya pada posisi yang sangat beruntung. Oleh karena nanti dalam pelaksanaan dari program-program yang saya usulkan itu, secara strategis telah disetujui dan direstui oleh Bapak Presiden, sedangkan yang tertinggal bagi saya dan aparat Departemen Agama adalah mencari taktik atau cara memperjuangkan apa-apa yang telah beliau setujui itu. Sebagai salah satu contoh adalah mengenai pilot proyek Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN PK).
Pada akhir tahun 1985 kepada beliau saya mengemukakan bahwa murid-murid lulusan Madrasah Aliyah Negeri yang berdasarkan atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975, dimana 70% dari kurikulumnya adalah pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama itu lebih siap untuk memasuki perguruan tinggi umum daripada perguruan tinggi keagamaan seperti lAIN.
Dengan pengetahuan agama hanya 30% tersebut, maka tidak cukup memadai bagi mereka untuk mengikuti mata-mata kuliah keagamaan dalam buku-buku baku yang berbahasa Arab. Kepada beliau saya mengusulkan untuk mengadakan satu pilot proyek Madrasah Aliyah Negeri dengan perbandingan kurikulum yang dibalik, yakni 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan kurikulum demikian, maka siswa-siswa tamatan Madrasah Aliyah Negeri tidak dapat meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi umum, tetapi sebaliknya mereka lebih siap dan mampu untuk mengikuti pendidikan keagamaan Islam di perguruan-perguruan tinggi keagamaan seperti IAIN.
Satu hal yang mengagetkan, tetapi pada waktu yang sama menggembirakan saya, adalah persetujuan beliau yang spontan. Saya mendapat kesan bahwa observasi saya tentang kelemahan pada Madrasah Aliyah Negeri SKB Tiga Menteri itu bagi beliau bukan barang baru. Beliau nampaknya telah mempunyai kesimpulan yang sama. Maka sementara kehadiran Madrasah Aliyah Negeri SKB Tiga Menteri masih piperlukan, beliau merestui pendirian Madrasah Aliyah Negeri percobaan seperti yang saya usulkan. Lebih dari pada itu, beliau meminta agar saya pada waktunya nanti mempertimbangkan untuk mengubah atau untuk juga mengadakan madrasah-madrasah Tsanawiyah dengan pola yang sama (70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum). Sedangkan tentang Madrasah Ibtidaiyah beliau mengharapkan pola yang ada sekarang dengan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama itu tetap dipertahankan.
Juga dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan lain dalam mengelola kehidupan keagamaan, beliau ternyata jauh lebih memahami Peta Umat; strategi pokok dan penahapan perjuangannya daripada saya, sebagai seorang pendatang baru. Itulah salah satu faktor utama yang sangat mempermudah pengabdiah saya sebagai pembantu beliau yang membidangi soal keagamaan yang telah saya tunaikan selama delapan tahun, yaitu lima tahun pada Kabinet Pembangunan IV dan tiga tahun dalam kabinet Pembangunan V.
Saya ingin menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beliau atas kehormatan dan kesempatan yang telah beliau berikan kepada saya untuk membantu beliau dalam menangani sebagian kecil dari tugas kenegaraan.

***

__________________________

Munawir Sjadzali, “Memahami Peta Umat”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 280-285

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.