ORANG-ORANG KECIL DALAM WAJAH PEMBANGUNAN KITA

ORANG-ORANG KECIL DALAM WAJAH PEMBANGUNAN KITA

INDUK KARANGAN :

 

PRESIDEN SOEHARTO ketika meresmikan penghunian rumah susun Perumnas Klender, secara khusus telah menyebut tujuan pembangunan dalam kaitannya dengan masalah yang dihadapi oleh orang-orang kecil.

Dengan menyebut contoh pembangunan rumah susun tersebut, Presiden menegaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan kita memang untuk meningkatkan mutu kehidupan orang-orang kecil.

Kita terus membangun untuk kepentingan orang-orang kecil, karena hanya dengan jalan inilah kita akan berhasil meningkatkan mutu kehidupan rakyat kita, demikian kata Presiden.

Pembangunan dan orang-orang kecil, memang tema menarik untuk dipercakapkan. Pembangunan merupakan kerja besar. Ia dilakukan untuk mengisi kemerdekaan.

Kemerdekaan didapat melalui perjuangan yang dilandasi oleh keinginan untuk mewujudkan suatu kehidupan yang lebih baik. Kehidupan siapa? Kehidupan seluruh rakyat.

Karena itu, pembangunan memang diperuntukkan untuk kepentingan mereka yang nasibnya belum baik. Melalui pembangunan manusia merdeka ditingkatkan kualitasnya, baik jasmani maupun rohani. Baik material maupun moralnya.

Karena sebagian besar dari bangsa kita ini terdiri dari lapisan masyarakat yang rata-rata berada di tingkat bawah, maka, maka seharusnya segala kegiatan yang bernama pembangunan sebagian besar juga untuk mereka. Karena itulah, pembangunan seharusnya memang berorientasi kepada mereka.

Pembangunan mestinya berpihak kepada mereka yang di bawah itu. Mereka yang oleh Presiden disebut sebagai orang-orang kecil itu.

Penegasan Presiden melegakan kita. Betapa tidak..? Karena dengan penegasan mengenai kelestarian pembangunan yang diperuntukkan untuk memperbaiki mutu orang-orang kecil itu, kita semua diingatkan akan esensi masalah yang kita hadapi dewasa ini.

Lihatlah perkembangan kota-kota besar. Atau tumbuhnya industri-industri maju. Atau proyek-proyek raksasa lainnya, itu semua selalu memperlihatkan watak mendua antara upaya untuk mengangkat kesejahteraan rakyat kecil dengan kepentingan besar yang memang ada.

Untuk peremajaan kota, areal pemukiman rakyat tergusur ke pinggir. Kawasan itupun berubah menjadi kawasan perumahan mewah atau pertokoan serba ada. Kalau sudah terjadi semacam ini, awam selalu bertanya untuk siapa sesungguhnya pembangunan itu?

Jalan-jalan raya yang licin terus diperlebar. Begitu juga jalan-jalan layang dan tol yang mahal diciptakan. Sementara jalan-jalan di perkampungan tetap dalam keadaan becek. Tidak usah jauh-jauh, lihatlah pembangunan Jakarta akhir-akhir ini. Apa yang dulu kita kenai dengan proyek MHT yang amat menolong pemercepatan pembangunan jalan di daerah-daerah pinggiran, sudah agak lama tidak terdengar lagi kabarnya.

Kalau sudah begini, lalu timbul pertanyaan untuk siapa sesungguhnya pembangunan itu?

Kondisi mendua semacam itu, mudah untuk dijejerkan di sini. Buat orang awam, keadaan demikian cukup sulit untuk dimengerti.

Mereka tentu tidak gampang untuk memahami arti peningkatan GNP kita sebagai prestasi bangsa kalau kehidupan mereka sehari-hari begitu lambat perkembangannya.

Kalau mereka begitu sulit cari nafkah sehari-harinya, mereka tidak kuat membayar sewa rumah kontrakannya, mereka selalu digusur tempat-­tempat usahanya dan mereka selalu tak merasa aman ketika bekerja.

Orang-orang kecil memang hanya mampu memahami apa yang berada di depan mereka. Persoalan yang kongkret, persoalan keseharian, persoalan mikro. Sebab memang jenis persoalan-persoalan semacam itulah yang melilit mereka. Bahkan yang menjadi hantu kehidupan mereka.

Apakah konsepsi pembangunan kita tidak memihak mereka. Jawabannya jelas, secara konseptual, keberpihakan tersebut sudah ada. Trilogi pembangunan menyebut salah satu loginya adalah pemerataan pembangunan dan pendapatan.

Ini terang adalah salah satu prinsip yang menunjukkan bahwa sesungguhnya pembangunan kita juga berpihak kepada semua orang. Kalau yang terbesar di negeri ini adalah orang-orang lapisan bawah, lapisan rendah, atau orang-orang kecil itu, maka berarti pemerataan itu mestinya adalah untuk mereka itu.

Kalau dalam kenyataannya, wajah keberpihakan itu belum nyata benar, maka pertanyaan kita adalah, di mana salahnya?

Memang pembangunan kita masih tengah berjalan. Nah, justru karena masih dalam perjalanan itu, maka setiap saat kita perlu melakukan perenungan ulang.

Pemikiran kembali terhadap perjalanan kita di masa yang lalu, Refleksi. Mengambil apa yang baik, mengelakkan yang jelek, mencari hikmah dari segala pengalaman yang ada.

Ketika Presiden dengan tegas menyebut orang-orang kecil sebagai bagian tak terpisahkan dari tugas pembangunan kita, maka seharusnyalah kita semua tersentak, menyadari apa yang beroda di depan kita.

Yaitu para buruh, gelandangan, tuna wisma, petani tak bertanah, nelayan yang kalah bersaing, pekerja musiman, pedagang kecil, anak-anak tak berpendidikan, korban­korban PHK, dan mereka yang “terlupakan” lainnya. Mereka selalu menanti uluran tangan pembangunan.

 

 

Jakarta, Pelita

Sumber : PELITA (05/10/1985)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 76-78.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.