Satu-satunya Asas [1]
Kita sekarang merasa lega bahwa kita telah menegaskan, Pancasila adalah satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini merupakan keputusan nasional kita yang teramat penting dan mendasar.
Keputusan ini merupakan langkah yang kita ambil guna meletakkan kerangka landasan di bidang ideologi dan politik sebagai persiapan menuju tahap tinggal landas nanti.
Waktu partai-partai politik didirikan di tahun 1945, kita hanya menetapkan bahwa partai-partai politik itu harus mendukung perjuangan kemerdekaan nasional. Pada waktu itu, belum terpikir untuk menentukan hubungan antara asas dan ciri suatu partai politik dengan dasar negara kita, Pancasila, dan cita-cita perjuangan bangsa untuk membangun masyarakat Pancasila.
Tidak adanya kaitan antara asas dan cita-cita partai dengan dasar negara dan cita-cita bangsa pernah menyebabkan timbulnya perjuangan untuk mengubah dasar negara. Berbagai bentuk usaha mengubah dasar negara itu kita alami, mulai dari yang halus terselubung, melalui jalan yang tampaknya seolah-olah damai dan demokratis, sampai yang berupa pemberontakan bersenjata. Semuanya itu telah kita rasakan akibatnya.
Akibat itu ialah saling curiga yang berlarut-larut di antara kita. Malahan melahirkan pertentangan, keretakan, dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam rangka meletakkan kerangka landasan di bidang ideologi dan politik, maka di satu pihak kita harus menyelesaikan secara tuntas masalah ini, agar tidak berulang lagi di masa depan. Dan di pihak lain kita harus memantapkan upaya membangun masyarakat Pancasila demi tercapainya tujuan kemerdekaan nasional kita.
Dalam rangka itu pula kita semua yang hidup di masa sekarang patut merasa sangat bahagia karena kita telah menyumbangkan sesuatu yang mendasar bagi kesinambungan dan kemantapan hidup bangsa dan negara kita di masa datang dengan menetapkan Pancasila sebagai satusatunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang berlaku baik bagi kekuatan-kekuatan sosial politik maupun bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Tujuan kita tidak lain adalah untuk memanunggalkan semua lapisan, golongan, kekuatan, dan generasi bangsa kita dengan dasar, ideologi, dan cita-cita bangsa dan negaranya. Dengan demikian, seluruh lapisan, golongan, dan kekuatan bangsa kita akan dapat terhindar dari konflik-konflik batin dan ketegangan-ketegangan yang menjadi sumber perpecahan dan luka-luka bangsa.
Saya ingatkan kembali bahwa dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas tadi, tidak berarti kita akan mempersempit ruang gerak bagi kehidupan beragama di kalangan masyarakat kita. Dengan ini tidak beralasan untuk khawatir bahwa Pancasila akan diagamakan atau agama akan dipancasilakan. Juga tidak perlu ada kekhawatiran bahwa dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat lalu dibatasi. Kita semua telah berjanji bahwa semua semangat dan pasal UUD kita akan kita patuhi setulus-tulusnya. Sebab, kita percaya bahwa dengan jalan itu kita dapat hidup tertib, teratur, tenteram, dinamis, dan lestari sebagai bangsa.
Satu pelajaran sangat berharga yang dapat kita tarik dari pengalaman bersama kita dalam menyelesaikan undang-undang yang menyangkut masalah yang sangat mendasar itu, ialah bahwa dengan semangat musyawarah dan kekeluargaan kita dapat menyelesaikan sebaik-baiknya masalah yang pelik dan musykil itu.
Berkembangnya semangat musyawarah untuk mencapai mufakat itu merupakan hasil kita semua selama 20 tahun yang terakhir, dalam meninggalkan tingkah laku dan budaya politik sebelumnya, yaitu yang menganggap politik sebagai adu kekuatan, pembentukan kekuatan, dan mengerahkan kekuatan untuk melawan golongan lainnya walaupun golongan itu merupakan keluarga besar bangsa sendiri.
Tumbuh dan berkembangnya budaya politik yang Iebih bersuasana kekeluargaan ini merupakan kemajuan besar dalam pengembangan politik kita selama ini. Di samping itu, kemajuan besar lainnya adalah tradisi konstitusional yang kita jalankan selama masa Orde Baru ini.
Jika kita pernah mengadakan koreksi total dan pembaharuan terhadap masa sebelumnya, maka koreksi total dan pembaharuan yang dilakukan oleh Orde Baru tidak lain daripada untuk meluruskan kembali penyimpangan-penyimpangan dan mengoreksi kesalahan kesalahan dalam melaksanakan Pancasila dan UUD’45.
Jika secara konstitusional MPR atau MPRS pernah meminta pertanggungjawaban Presiden dan memberikan keputusan lanjutan terhadap pertanggungjawabannya itu, maka semuanya itu kita lakukan secara konstitusional pula. Ini merupakan jaminan bahwa tidak akan ada lagi lembaga kenegaraan mana pun juga, yang akan melanggar tatanan konstitusional yang kita anut. Tradisi demokrasi dan tradisi menegakkan kehidupan konstitusional itu kini telah berkembang semakin kuat sehingga tidak akan diabaikan oleh lembaga negara mana pun.Semua itu merupakan jawaban mengapa selama 20 tahun terakhir ini kita dapat memantapkan stabilitas nasional. Namun, untuk waktu selanjutnya kita semua masih harus terusmenerus mengembangkan kreativitas rakyat dalam pembangunan di segala bidang.
Dalam periode kepresidenan saya yang ke-4 dari tahun 1983-1988 ini, saya telah dibekali oleh MPR landasan yang lebih kokoh dalam pembangunan politik ialah harus diterimanya Pancasila sebagai satusatunya asas bagi semua kekuatan sosial politik dan organisasi kemasyarakatan. Pelengkap undang-undangnya telah dapat diselesaikan oleh DPR dan pemerintah pada tahun 1985. Karena itu, lengkaplah dasar hukumnya untuk membangun landasan politik dalam menyongsong tahap tinggal Jandas, ialah suatu kondisi di mana rakyat Indonesia sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, serta mekanisme kepemimpinan nasional membudaya dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 408-410.