PENEGASAN PANCASILA SEBAGAI SATU-SATUNYA ASAS TIDAK BERARTI AGAMA AKAN TERGESER

PENEGASAN PANCASILA SEBAGAI SATU-SATUNYA ASAS TIDAK BERARTI AGAMA AKAN TERGESER

Presiden Pada Peringatan Nuzulul Qur’an:

Presiden Soeharto menilai, keberhasilan DPR bersama Pemerintah. merampungkan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan merupakan peristiwa bersejarah dalam pertumbuhan dan perkembangan bangsa.

Dalam amanatnya pada peringatan Nuzulul Qur’an yang berlangsung di Masjid Istiqlal semalam, Presiden mengemukakan, dengan hadirnya UU yang menegaskan bahwa Pancasila merupakan satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, secara hukum bangsa Indonesia telah memiliki landasan yang kuat bagi pemantapan dan perampungan secara tuntas masalah yang menyangkut ideologi nasional.

Tugas yang menanti bangsa Indonesia selanjutnya ialah meningkatkan pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

“Sekarang tugas kita selanjutnya adalah, berlomba-lomba untuk melaksanakan Pancasila itu dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, seikhlas-ikhlasnya dan dengan rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya,” kata Presiden.

Bagi kaum muslimin dan semua umat beragama lainnya, pelaksanaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidaklah merupakan persoalan, karena Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama-agama yang telah diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Sebaliknya, Pancasila dan agama saling memperkuat. Dalam masyarakat Pancasila, kehidupan keagamaan justru ditumbuhkan makin semarak. Dengan kehidupan keagamaan yang makin berkembang, Pancasila akan bertambah kokoh.

Karenanya, penegasan Pancasila sebagai satu-satunya asas tidak berarti agama akan terpojok atau tergeser. “Jika keragu-raguan semacam itu masih ada di antara kita, saya minta agar keragu-raguan tadi dihilangkan buat selama-lamanya. Tidak terlintas sedikit pun dalam akal sehat kita bahwa kita akan menggantikan agama dengan apapun yang lain,” ucapnya.

Kepala Negara juga mengingatkan, sesungguhnya perkembangan kehidupan beragama sangat tergantung pada umat beragama itu sendiri. Maju mundurnya kehidupan beragama ditentukan oleh semangat dan kesungguhan para penganut agama.

Pemerintah memang berkewajiban melayani hajat masyarakat dalam kehidupan beragama, akan tetapi kemampuan dan wewenang pemerintah terbatas.

Pendidikan Sangat Penting

Para pemuka dan lembaga-lembaga keagamaan berkewajiban pula mengembangkan potensi dan kreativitas umat beragama sehingga umat beragama dapat memberi sumbangan yang sebesar-besarnya kepada pembangunan nasional.

Dalam hubungan itu, Presiden mengajak umat Islam untuk merenungkan penegasan Tuhan dalam Al Qur’an bahwa Tuhan tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah diri mereka sendiri.

Salah satu segi yang sangat penting dalam usaha memperbaiki kehidupan umat dan bangsa adalah kegiatan pendidikan. Menurut Kepala Negara, pendidikan merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.

Daya tampung lembaga-lembaga pendidikan yang ada makin lama makin tidak memadai dibandingkan dengan membanjirnya remaja yang ingin melanjutkan pendidikan.

Untuk menampung hasrat belajar bagi masyarakat, peranan organisasi­-organisasi keagamaan sangat besar. Namun lembaga-lembaga itu tidak cukup hanya menampung remaja di sekolah-sekolah, tetapi juga harus membina mereka agar menjadi manusia pembangun.

Para remaja harus dididik menjadi orang yang mandiri, mampu bekerja secara kreatif, dan bukan sekedar orang yang memiliki ijasah dan mengejar prestise melalui jenjang pendidikan.

Pendidikan yang dikembangkan oleh kalangan umat beragama hendaknya membekali anak didik dengan berbagai ketrampilan sehingga mereka mampu menciptakan kerja apabila tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Memang masalah ini masalah besar ini adalah masalah nasional.

Kita semua, Pemerintah dan masyarakat, harus bersama-sama menanggulangi dan memecahkan masalah ini secara mendasar dan menyeluruh,” kata Presiden.

Kerukunan Agama

Presiden mengingatkan, agar kepribadian bangsa yang bersifat religius tetap dijaga, termasuk dalam pergaulan antar bangsa. Sifat religius itu harus dikembangkan sebaik-baiknya, meski harus menyadari bahwa bangsa kita bersifat majemuk. Kita bersyukur bahwa bangsa Indonesia sangat mementingkan kerukunan, yang merupakan ciri lain kepribadian bangsa.

Karena itu, dalam usaha mengembangkan kehidupan beragama, kerukunan harus memperoleh perhatian dan disadari oleh kalangan umat beragama.

Kita bersyukur bahwa para pendiri bangsa secara sangat arif bijaksana merumuskan Pancasila sebagai landasan nasional yang mampu memberikan landasan terwujudnya masyarakat majemuk rukun dan bersatu.

Maju Pesat

Pada kesempatan itu, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali dalam sambutannya mengatakan, sejaiah umat Islam Indonesia membuktikan bahwa perkembangan kehidupan beragama demikian pesat berkat meningkatnya kemampuan duniawi, baik berupa negara, pemerintahan dan kekuasaan maupun kemantapan kehidupan nasional, politik dan sosial dan keberhasilan pembangunan ekonomi.

Menurut Menteri, berkat terciptanya kemantapan kehidupan nasional, ketahanan nasional dan kesepakatan ekonomi, maka bangsa Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini lebih mampu secara strategis membenahi kehidupan beragama.

Kita telah sanggup meningkatkan prasarana dan sarana kehidupan beragama secara besar-besaran berupa pendirian rumah-rumah ibadah, peningkatan penertiban pendidikan agama dan penyediaan sarana pelayanan lainnya, kata Munawir.

Menteri Munawir Sjadzali mengajak umat Islam, mencari jaminan kesentausaan hidup di akhirat dengan beramai-ramai turun ke medan laga kehidupan untuk beramal dan berjuang bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara, sesuai dengan ajaran Islam dengan iman yang teguh dan membaja.  Selain itu, dalam menghadapi cobaan dan ketidak berhasilan, kita tidak boleh patah semangat dan pantang mundur, tambahnya.

Menag juga mengajak umat Islam untuk meningkatkan upaya menguasai kemampuan duniawi, tidak saja untuk dinikmati bersama-sama, tapi juga merupakan sarana dan prasarana yang akan membawa umat kepada kehidupan yang sentausa ke ambang pintu surga.

Seorang Islam Ideal menurut Menag, adalah pada malam hari dengan khusyuk melakukan shalat dan munajat serta bersimpuh di muka Tuhannya dan di siang hari berperan aktip dan konstruktif dalam kehidupan masyarakat dan bangsanya sebagai pahlawan-pahlawan pembangunan dan kemanusiaan.

Pantas Bersyukur

Laksamana Pertama TNI Dr. Tarmizi Taher dalam uraian Nuzulul Qur’annya semalam mengatakan, bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini pantas bersyukur dengan keberhasilan memelihara kemantapan stabilitas nasional, khususnya keamanan, selama hampir 20 tahun Orde Baru.

“Ini berkat Rakhmat Karunia Allah dan upaya kemanunggalan ABRl – Rakyat,” katanya.

Stabilitas nasional, khususnya keamanan, menurut Tarmizi, bukanlah barang mati. Tetapi sesuatu yang dinamis, yang setiap saat dapat berubah. Karena itu kita tidak boleh lengah sesaat pun dan harus selalu waspada serta berdoa kepada Allah.

Dikatakan, hanya dengan kemantapan stabilitas nasional itu, khususnya keamanan yang dipikul oleh ABRI-Rakyat, ummat akan dapat dengan aman dan tertib membanjiri masjid-masjid dan mushalla-mushalla terutama dengan anak-anak dan remaja pemihak masyarakat Pancasila ini.

“Baik untuk belajar Al-Qur’an, maupun untuk shalat dan lainnya,” kata Kapus bintal ABRI itu.

Mendung dan Kelabu

Tarmizi Taher secara panjang lebar menyinggung pula keadaan dunia Islam dewasa ini. Menurut dia, sementara di ufuk Barat Langit Islam berwarna sutera ungu dan cerah, ternyata di ufuk Tengah kelabu dan mendung.

“Kita masih ingat benar peristiwa kelabu dan mendung di tempat paling suci bagi Ummat Islam, tahun 1979 di Masjidil Haram,” ujarnya.

Peristiwa politik yang berdarah itu dipimpin oleh seorang mahasiswa Muhammad Abdullah Al Qahtani dari Universitas Riyadh, yang telah berhasil dibina oleh seorang prajurit Juhayman Muhammad Said Al Otaybi dengan kelakuan yang tidak terpuji, sehingga dikeluarkan dari angkatan bersenjata Saudi Arabia.

Dikatakan, melalui ceramah mereka membina sentimen politik untuk memberontak. Masjid yang paling suci dipilih sebagai titik awal gerakan mereka, dengan perhitungan strategis dan taktis akan dapat simpati massa. Pikiran dan tindakan demikian sesungguhnya merupakan pikiran dan tindakan yang sungguh gila.

Mereka, kata Tarmizi Taher, tentunya tahu, bahwa menurut sejarah pada zaman Jahiliyah Kaffir Quraisy saja, mampu mengandalkan diri untuk tidak menumpahkan darah di sekitar Ka ‘bah.

Namun karena sentimen politik yang menonjol, Agama hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai sasaran politiknya. Dengan berpakaian gaya Nabi, mereka sampai hati/menembak Imam Masjidil Haram selesai shalat. Bahkan mengorbankan isteri dan anak-anaknya yang masih kecil untuk memaksakan kehendak mereka.

Peristiwa-peristiwa kelabu dan mendung di ufuk Tengah dengan memanipulasikan rasa sentimen keagamaan, kata Tarzimi, tampak makin memprihatinkan kita. Karena berlanjut terus sampai saat ini di Teluk Parsi dan perkampungan orang-orang Palestina yang di “Sukabumikan” oleh Amal Syiah di Beirut.

“Kita prihatin dan hanya dapat berdoa mudah-mudahan dengan Karunia Tuhan peristiwa-peristiwa itu dapat berakhir,” katanya.

Peringatan Nuzulul Qur’an semalam juga dihadiri Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, para pejabat tinggi dan tertinggi negara, para menteri Kabinet Pembangunan IV, para wakil negara sahabat, serta ribuan ummat Islam Jakarta. (RA)

 

 

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (06/06/1985)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 233-237.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.