PRESIDEN MINTA MUI PANDAI-PANDAI MENEMPATKAN DIRI
Bobot dan mutu keikutsertaan umat Islam akan sangat ditentukan oleh terpadunya pemikiran, sikap dan kegiatan dalam mencapai cita-cita umat dan bangsa.
Untuk itu Majelis Ulama harus pandai-pandai menempatkan diri, agar dapat merangkum pandangan dan diterima oleh semua kelompok umat.
Hal tersebut ditegaskan oleh Presiden Soeharto di depan Musyawarah Nasional III Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Istana Negara Sabtu pagi.
Selanjutnya dikatakan, Majelis Ulama sebagai lembaga yang berdiri di atas semua kelompok Islam yang sangat beragam, memikiul tugas-tugas memadukan langkah-langkah umat Islam yang terhimpun dalam berbagai kelompok dan aliran.
“Diharapkan agar kegiatan-kcgiatan mereka benar-benar terarah sesui dengan cita-cita dan tujuan nasional,” kata Presiden, masyarakat Indonesia mengalami perkembangan yang sangat perubahan telah terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Juga dalam kehidupan beragama.
Hal itu menurut Presiden merupakan tantangan yang harus dijawab para pemuka, lembaga-lembaga keagamaan dan memang kepentingan bersama sebagai bangsa.
“Kita tidak ingin masyarakat kita mengalami krisis dalam kehidupan keagamaan. Bagi kita keteguhan bangsa Indonesia dalam menganut agama merupakan modal utama untuk mewujudkan ketahanan mental bangsa, katanya pula.”
Dikatakan, tanpa ketahanan mental yang tangguh bangsa Indonesia akan mudah diombang-ambingkan oleh perubahan masyarakat yang kadang-kadang berlangsung sangat cepat dan luas. Kemantapan Pancasila juga menuntut kemantapan kehidupan beragama masyarakat.
Oleh karena itu, Presiden mengharapkan, agar para ulama sentiasa meningkatkan usaha untuk memandu umat dan masyrakat dalam membina dan mengembangkan kehidupan beragama.
Hal itu tentu saja tidak mungkin dilakukan secara perorangan, tapi diperlukan langkah-langkah bersama.
“Saya mengharapkan Majelis Ulama hendaknya memelopori usaha-usaha memperluas wawasan umat. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana, agar segala usaha yang diambil tidak terlepas dari usaha mewujudkan cita-cita nasional bangsa dan justru hal itulah yang merupakan salah satu fungsi Majelis Ulama,” katanya.
Lebih dahulu Presiden mengatakan, sebagian dari sumber konflik ideologi berasal dari mereka yang berusaha mempertentangkan Pancasila dengan agama.
“Walaupun pengamalan Pancasila dan pengamalan masing-masing agama bertemu dalam bidang yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat, namun Pancasila adalah Pancasila dan Agama adalah agama, yang keduanya tidak bisa dicampur adukan dan kita memang tidak akan mencampur adukan,” demikian Presiden Soeharto.
Peserta
Dalam laporannya, K.H Hasan Basri selaku ketua MUI mengatakan, Munas yang berlangsung 20-23 Juli ini diikuti anggota Dewan Pertimbangan anggota DPP MUI utusan MUI daerah, para undangan dari unsur pimpinan organisasi/lembaga Islam tingkat nasional, pemuka agama/ulama dan unsur Pemerintah.
Munas ke tiga ini antara lain menyusun pengurus periode 1985/90. Themanya adalah, “Dengan Pendalaman Kelompok Beragama dan Peran serta Songsong Pembangunan.”
Dikatakan oleh Hasan Basri, berkaita dengan berlakunnya Undang-undang No.8 tahun ’85 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Munas juga menyempurnakan pedoman dasar dan pedoman rumah tangga.
Sidang Pleno
Sesudah dibuka di Isntana Negara, Munas langsung mengadakan sidang pleno di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.
Dalam kesempatan itu Hasan Basri menantang para ulama, “Mau ikut berlayar atau tidak.”
Katanya : “Kapal sudah siap, layar sudah dipasang, keadaan laut tenang, Ayo Bissmillahi Majreha.”
Ucapan ini dimaksudkannya untuk memberikan keadaan yang menguntungkan bagi umat Islam Indonesia sekarang, agar para ulama lebih meningkatkan partisipasi dalam mensukseskan program pembangunan umat dan bangsa.
Menteri Agama Munawir Sjadzali juga memberikan gambaran senada. Selaku ketua Dewan Pertimbangan MUI, Munawir mengatakan bahwa banyak di bagian dunia agama tidak mempunyai fungsi di masyarakatnya.
Posisi dan nasib umat Islam Indonesia, menurutnya, belum pernah sebaik seperti sekarang yakni sudah mampu menjadi tuan di rumahnya sendiri.
“Indonesia dengan 13.000 pulau dan penduduk 160 juta berbeda-beda agama diberi Allah fasilitas, hingga masalahnya sekarang bukan kurang makan, malah kelebihan jatah,” ujarnya.
Sedangkan Menko Kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara yang memberikan pengarahan Sabtu malam mengemukakan informasi yang bersifat nasional maupun internasional, termasuk sejarah lahirnya Pancasila sekaligus mengingatkan pentingnya peranan ulama dalam mensukseskan pembangunan umat dan bangsa.
Diingatkan bahwa kegagalan pembangunan nasional merupakan malapetaka bagi umat Islam sendiri. Inilah yang menjadi tantangan bagi MUI, mampukah umat Islam dan MUI mengintegrasikan diri dalam pembangunan nasional.
“Kita syukuri dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa, umat Islam beserta para ulamanya tidak pernah absen dalam menegakkan negara dan bangsa ini,” katanya.
Laporan Daerah
Sidang pleno selanjutanya berlansung hari Minggu mendengarkan laporan daerah yang umumnya bernada datar, walaupun ada juga satu dua utusan yang mengajukan problem, misalnya dari Jambi, Lampung dan Sumatera Selatan sama-sama melaporkan keprihatinan didaerah transmigrasi di antaranya banyak transmigrasi yang dalam proses pengirimannya disebutkan beragama Islam, ternyata bukan.
Secara umum pula laporan daerah ini mereka lengkapi dengan usul antara lain, agar MUI Pusat mampu membina hubungan baik dengan MUI daerah serta adanya satu pendapat dalam mengeluarkan fatwah. (RA)
…
Jakarta, Merdeka
Sumber : MERDEKA (22/07/1985)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 238-241.