PENGUSAHA INDONESIA KURANG ULET DALAM MENCARI PASARAN

PENGUSAHA INDONESIA KURANG ULET DALAM MENCARI PASARAN

 

 

Presiden Soeharto menilai, pengusaha Indonesia kurang ulet mencari pasaran di beberapa negara yang sebenarnya banyak membutuhkan komoditi dari Indonesia.

Sebagai contoh, Yordania sangat membutuhkan teh, kopi, tekstil dan kayu lapis yang bisa diisi, tetapi nyatanya sampai sekarang potensi itu belum dimanfaatkan.

Penilaian itu disampaikan Kepala Negara Selasa ketika membicarakan hasil kunjungan raja Yordania, Hussein dengan pimpinan DPA di Bina Graha.

Ketua DPA, M. Panggabean, mengatakan, tampaknya para pengusaha Republik ini kurang tertarik pikirannya untuk berdagang dengan pengusaha Yordania.

Padahal Yordania, menurut Presiden, bukan hanya menghendaki komoditi seperti tersebut di atas, tetapi juga ingin membeli beras dari RI untuk campuran sejenis makanan yang disukai rakyat di sana.

Dengan presiden juga dibicarakan rencana kunjungan Presiden Reagan di Bali. Masalah yang akan dibicarakan antara lain, resesi ekonomi yang melanda bukan hanya di negara industri tetapi juga di negara berkembang.

Jadi, jika hal itu dibicarakan pada KTT Negara industri di Tokyo hendaknya tidak dimaksud untuk memperbaiki keadaan negara industri saja, tetapi juga antara negara industri dan negara berkembang yang saling bergantungan.

Para pimpinan DPA itu menemui presiden untuk menyampaikan naskah rancangan GBHN 1988-1993. Presiden menyatakan, sebenarnya secara konstitusional GBHN ditetapkan oleh MPR tetapi karena banyak anggota yang baru dan mereka belum punya kesempatan mendalam untuk merumuskan rancangan GBHN, maka Presiden mengambil prakarsa untuk membantu lembaga tertinggi itu.

Dikatakannya, prakarsa Presiden itu tidak mengikat. Kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan GBHN ada di tangan MPR.

Dalam upaya membantu MPR, Presiden menugaskan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Dewan Hankamnas) untuk mengumpulkan bahan selengkap mungkin dari berbagai sumber, yang mencakup segala lapisan masyarakat, termasuk kalangan perguruan tinggi.

Presiden dalam kesempatan itu menjelaskan lagi sistematika GBHN yang antara lain mencakup 5 bab, termasuk pendahuluan, Pola Dasar Pembangunan Nasional, Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang dan Repelita.

Presiden mengemukakan, apabila Repelita V dianggap sebagai akhir pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang I, maka GBHN 1988-1993 nanti sudah harus mencantumkan suatu gambaran pola umum pembangunan jangka panjang tahap II.

“Dengan demikian, pada saat kita memasuki tahap lepas landas pada Repelita VI, sudah ada gambaran bagaimana pola pembangunan jangka panjang selanjutnya sehingga terlihat kesinambungan pembangunan nasional jangka panjang,” kata Ketua DPA.

Menurut Ketua DPA, Presiden juga mengharapkan tangguhnya landasan pembangunan nasional. (RA)

 

 

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (09/04/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 479-480.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.