PENJABARAN DISIPLIN NASIONAL
UNGKAPAN "blessing in disguise", hikmah yang tersembunyi, pernah popular belasan tahun yang lalu. Jika suatu peristiwa tak enak menimpa, hikmahnya yang diambil.
Ungkapan itu secara negatif konyol, dapat juga ditafsirkan sebagai ilmu untungnya kelompok Prambors, kemarin saya jatuh, untung hanya kaki terkilir sedikit. Kemarin saya kebakaran, untung saya tidak ikut terbakar.
Hikmah yang tersirat, blessing indisguise di sini akan diartikan positif. Sikap itu sama sekali tidak untuk membenarkan atau pun menutupi kesalahan atau kealpaan lama, sikap itu benar-benar sekadar akan mengambil pelajaran berguna dari suatu kejadian yang tidak menguntungkan.
KEJADIAN yang tidak menguntungkan, yang kita maksudkan dalam kasus ini ialah resesi dunia yang menimpa perekonomian kita. Hasil devisa surut, karena ekspor minyak dan nonminyak mundur. Dana pembangunan berkurang. Bonanza minyak telah lampau. Kita dihadapkan pada kenyataan pahit.
Penggunaan dana pembangunan harus lebih terarah, terkendali, efisien. Impor akan dibatasi pada bahan-bahan ekonomi yang belum dapat kita buat sendiri. Pemakaian industri dalam negeri akan digalakkan lagi. Serentak dinyatakan isyarat peringatan kencangkan ikat pinggang.
Semua itu kita kaitkan dengan peringatan pemerintah yang dilontarkan oleh Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan 16 Agustus 1982. Tingkatkan disiplin nasional dalam pembangunan..!
DALAM tahun tujuh puluhan terutama juga setelah demonstrasi Tanaka 1974, persoalan disiplin nasional, etos kerja, tahu diri, timbang rasa dan lain-lain dibunyikan keras. Bahkan dirumuskan dalam serangkaian aturan dan himbauan.
Lambat laun, aturan dan himbauan itu terdesak oleh arus konsumerisme, oleh fasilitas pangkat dan jabatan, oleh perkaitan wewenang dan usaha, oleh lingkungan umum yang kita sendiri ikut menciptakannya.
Tahun 1982, kita melihatnya kembali dengan jarak. Dalam bidang disiplin nasional, dalam bidang etos pembangunan, keadaan kita semrawut. Jika tidak menjadi nada kritik yang vokal, hal itu disebabkan karena saluran-saluran kritik vokal dalam tahun-tahun terakhir ini juga ikut surut.
Sampai akhirnya, pemerintah sendiri melihat kenyataan. Presiden melontarkan peringatan dan menegaskan kemerosotan itu tak boleh diterus-teruskan.
KITA ambil contoh Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad adalah tokoh yang dalam buku "Malaysian Dilemma" melontarkan bagaimana peta bumi sosial ekonomi bangsanya sertabagaimana jalan yang harus dirintis untuk mengatasinya.
Sementara itu serangkaian perangkat dan fasilitas untuk mengoreksi warisan sejarah kolonial dijalankan di Malaysia sejak ontran-ontran rasial 1969.
Yang dilakukan oleh Dr. Mahathir begitu ia terpilih menjadi perdana menteri ialah, menggerakkan pembaruan kultural yang akan secara efektif menunjang pembangunan sosial ekonomi dan politik.
Gerakan yang disentuhnya menyangkut justru bidang yang dapat dikategorikan dalam disiplin nasional. Orang Malaysia harus berobah dari kebudayaan lunak menjadi kebudayaan keras.
Beberapa contoh : disiplin jam masuk kantor, disiplin tidak merokok di ruangan yang terpancang larangan merokok, disiplin menggunakan kendaraan dan perlengkapan inventaris untuk para pejabat terutama para pejabat tinggi, mengembangkan cinta akan pekerjaan.
Bukan barang baru untuk kita. Yang baru, bagaimana pemerintah Malaysia berusaha melaksanakannya secarakonsisten dan dimulai dari lapisan panutan. Memang di sana juga ada cemooh, sampai kapan bisa bertahan ! Kita sendiri mendapat kesan, akan bertahan, karena menjadi komitmen Dr. Mahathir.
PRAKARSA pemerintah yang dicetuskan oleh Presiden, harus mendapat sambutan. Kecuali perlu dijabarkan perlu jawaban dari masyarakat dikembangkan menjadi gerakan.
Di sini terletak bidang baru untuk organisasi-organisasi masyarakat seperti Golkar, KNPI dan organisasi-organisasi lain.
Pertemuan antara prakarsa birokrasi, aspirasi masyarakat dan organisasi masyarakat itulah yang biasanya menjadi pemelihara momentum dalam gerak pembaruan semacam itu.
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (23/11/1982)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 946-948.