PLTU BUKIT ASAM DIRESMIKAN
Tanjung Enim, Merdeka
Presiden Soeharto mengatakan, meskipun Indonesia menghasilkan minyak dan gas bumi dalam jumlah yang tidak kecil, namun penggunaan batubara secara besarĀ besaran sebagai sumber energi tetap sangat menguntungkan.
Dalam amanatnya pada upacara peresmian berfungsinya Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bukit Asam dengan Jaringan Transmisinya di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Selasa siang, Kepala Negara mengemukakan beberapa keuntungan yang didapat dari penggunaan batubara sebagai sumber energi.
Yakni Pertama, batubara merupakan salah satu kekayaan alam yang besar jumlahnya yang dikandung bumi pertiwi Indonesia, sehingga dapat dimanfaatkan secara besar-besaran dalam jangka waktu yang lama. Hingga kini batubara belum digali secara besar-besaran.
Ke dua, dengan menggunakan batubara sebagai sumber energi, berarti dapat menganekaragamkan penggunaan sumber energi. Dengan demikian, maka tidak akan terlalu tergantung pada minyak dan gas bumi sebagai sumber energi. Lebih dari itu, hal ini juga berarti bangsa Indonesia makin maju dalam memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki bagi kesejahteraan rakyatnya.
Ke tiga, dengan menggunakan batubara berarti berusaha membatasi penggunaan minyak dan gas bumi yang mahal untuk membangkitkan tenaga listrik, sehingga harga tenaga listrik dapat ditekan. Dengan demikian akan makin banyak anggota masyarakat yang dapat berlangganan listrik. Ini berarti menandakan, bertambah baiknya kesejahteraan rakyat Indonesia.
”Di samping itu, rendahnya tenaga listrik akan mempengaruhi harga barang-barang yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik yang menggunakan tenaga listrik sebagai tenaga penggerak. Pendek kata rendahnya harga tenaga listrik tentu akan dapat mempercepat lajunya pembangunan,” kata Presiden.
Dengan selesainya pembangunan PLTU Bukit Asam ini, berarti Indonesia memiliki dua buah PLTU besar yang menggunakan batubara sebagai sumber energinya. Yaitu, PLTU Suralaya di Jawa Barai dan PLTU Bukit Asam ini.
“Ini menandakan bahwa bangsa kita telah mulai memasuki era pembangunan batubara secara besar-besaran untuk menghasilkan tenaga listrik,” katanya.
Presiden Soeharto lebih lanjut mengatakan, dengan berfungsinya PLTU Bukit Asam ini, maka daya listrik terpasang untuk wilayah Sumatera Selatan bertambah sekitar 60 persen. Suatu penambahan kapasitas penyediaan listrik yang cukup besar. Bertambah besarnya kapasitas penyediaan tenaga listrik ini akan dapat meningkatkan keandalan dan efisiensi serta menekan biaya produksi.
“Kita juga mengharapkan agar PLTU dan jaringan transmisi yang menggunakan peralatan canggih ini dapat menjadi tempat untuk belajar dan meningkatkan kemampuan para ahli dan karyawan lainaya,” katanya.
Kapasitas
PLTU Bukit Asam yang berkapasitas 2 kali 65 MW yang baru saja diresmikan itu dibangun sejak 1983, dibiayai dengan dana APBN sebesar Rp 25,7 milyar serta dana pinjaman Pemerintah Perancis 816,94 juta frank atau sama dengan Rp 36 milyar.
Dengan kapasitas sebesar itu. PLTU Bukit Asam merupakan PLTU terbesar di luar Jawa. Tenaga listrik yang dihasilkan akan disambungkan (interkoneksi) dengan sistem kelistrikan di Sumatera Bagian Selatan, sehingga meningkatkan keandalan penyediaan listerik di wilayah itu.
Berkat adanya PLTU ini kapasitas penyediaan tenaga listerik di daratan Sumatera Selatan lebih dari 200 MW, sehingga diharapkan akan lebih banyak rakyat di daerah itu yang dapat menikmati listrik terutama yang tinggal di desa-desa.
Dalam peresmian PLTU Bukit Asam ini memberikan laporan Direktur Utama PLN Ir. Sardjono, yang dilanjutkan dengan sambutan dari Gubemur Sumatera Selatan Sainan Sagiman serta Menteri Pertambangan dan Energi Subroto.
Selesai upacara Kepala Negara beserta rombongan kemudian melakukan peninjauan ke gedung. Sentral PLTU melihat ruang turbin dan kontrol. Dilanjutkan dengan peninjauan ke proyek pengembang pertambangan dan meningkatkan Batubara PT Bukit Asam.
Sumber : MERDEKA (10/02/1988)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 542-543.