PRESIDEN INSTRUKSIKAN: MOBILISASI DANA MASYARAKAT UNTUK INVESTASI [1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto menginstruksikan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/ Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo untuk memobilisasi dana masyarakat, termasuk yang “diparkir” di luar negeri, untuk kepentingan investasi. Instruksi itu muncul setelah realisasi investasi meroket selama Pelita V tetapi dukungan pembiayaan dan prasarana ekonominya di rasakan para investor tidak memadai.
Demikian dijelaskan Sanyoto kepada wartawan usai diterima Presiden Soeharto di Bina Graha Rabu (31/3). Tapi menurut Sanyoto yang dimaksud dana yang terdapat dan dimiliki masyarakat adalah dana di luar sistem perbankan, seperti dana pensiun, keuntungan yang ditahan (retained profit), dana asuransi, dana yayasan, dan dana yang dikurnpulkan dari obligasi.
Selain itu, Sanyoto juga ditugasi untuk menyiapkan berbagai proyek investasi yang prospektif guna mengantisipasi penerimaan dana yang dimobilisasi tersebut. Sebagai gambaran meroketnya investasi baik PMDN maupun PMA itu, Sanyoto mengungkapkan, dalam Pelita V persetujuan investasi PMDN mencapai Rp 148,3. trilyun, jauh di atas jumlah persetujuan investasi selama empat Pelita (I-IV) yang hanya mencapai Rp 64,4 trilyun.
Dalam rangka PMA, jumlah persetujuan investasi mencapai 33,3 milyar dollar AS, yang juga jauh dibandingkan total empat Pelita sebelumnya 22,3 milyar dollar AS. “Angka-angka tersebut belum termasuk investasi di bidang migas, perbankan dan proyek-proyek investasi non-fasilitas,” ujar Sanyoto. Minimnya dukungan pembiayaan dan prasarana ekonomi ini terutama sejak akhir 1990 ketika diberlakukan kebijakan uang ketat dan dibentuknya tim PKLN (Pinjaman Komersial Luar Negeri) yang mengakibatkan kelangkaan sumber dana dan tingginya tingkat bunga untuk membiayai proyek investasi.
“Situasi tersebut mengakibatkan persetujuan penanaman modal dilihat dari nilai dalam rangka PMDN hanya 31 persen dan dalam rangka PMA hanya 50 persen. Tingkat realisasi ini bisa lebih tinggi jika tersedia cukup dana. Sebab itulah perlu dikerahkan dana lain selain dana perbankan yang belum memadai itu,” kata Sanyoto.
Langkah selanjutnya, katanya, adalah menyiapkan rumusan kebijakan pemerintah mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan kegiatan mobilisasi, mengkoordinasikan kegiatan mobilisasi, serta mengkoordinasikan kegiatan operasional berbagai lembaga keuangan, dana pensiun, yayasan dan badan lain yang terkait sejauh menyangkut kegiatan mobilisasi dana.
Titik berat dari langkah inisebenarnya adalah untuk melaksanakan amanat GBHN 1993, bahwa dana luar negeri hanya untuk pelengkap dengan prinsip peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan dan mencegah keterikatan serta campur tangan asing.
“Kita mau saja kalau ditawari loan yang jangka panjang, tetapi jangan sekali-kali dikaitkan dengan satu ketentuan yang mereka paksakan,” demikian penegasan Sanyoto.
Agar dapat memobilisasikan dana masyarakat itu, katanya, perlu dirumuskan berbagai kebijakan seperti memberikan perangsang yang lebih menarik agar pemilik dana bersedia menyalurkan dananya untuk dimanfaatkan bagi pembiayaan investasi. “Memberikan rasa aman kepada para pemilik dana, mengeluarkan obligasi yang menengah dan panjang dengan perangsang yang menarik, dan melaksanakan upaya lain untuk meningkatkan tabungan masyarakat secara umum,”demikian Sanyoto. Presiden Soeharto, tambahnya, menjelaskan agar pengerahan dana untuk investasi itu bisa lebih lancar dan lebih baik. Untuk itu perlu mempelajari pengalaman di negara lain.
Tidak Tumpang Tindih
“Ini tidak akan tumpang tindih dengan tugas perbankan sebab dana yang akan dimobilisasi yang ada di luar sistem perbankan. Bahkan, nantinya justru akan saling mendukung sebab perbankan sekarang kan begini-begini saja, sedangkan kecepatan dan kebutuhan dana untuk investasi itu begitu besar, ” ujar Sanyoto menjawab pertanyaan wartawan.
“Pelaksanaannya nanti kan tentu saya bicarakan dahulu dengan Menteri Keuangan dan Gubernur BI,”kata Sanyoto.
Menurut dia, pada tahun 1990 dana yang dibutuhkan untuk investasi dalam rangka PMDN mencapai Rp 55 trilyun, tahun 1991 Rp 41 trilyun, dan tahun 1992 Rp 30 trilyun. Sampai sekarang, secara akumulatif PMDN yang terlaksana baru mencapai 31 persen. Sementara yang 69 persen lain belum dilaksanakan.
“Sebab itu, Presiden melihat perlu ada terobosan, ” kata Sanyoto. Ditanya berapa taksiran dana yang diparkir di luar negeri, Sanyoto mengatakan belum mengetahui berapa besar dan di mana. Taksiran baru bisa diungkap jika dana itu masuk lagi ke Indonesia setelah diberi rangsangan yang menarik.
Tetapi, Sanyoto memberikan contoh bahwa dana yang ada di dalam negeri banyak. Taspen, misalnya, memiliki dana yang belum dimanfaatkan secara optimal sebesar Rp 9 trilyun, keuntungan dari seluruh BUMN tiap tahun juga diperkirakan sekitar Rp 7 trilyun. ·
Ia juga menjamin tidak perlu ada rasa khawatir untuk mengembalikan uang yang diparkir di luar negeri itu ke Indonesia. Sebab bisa diputihkan melalui deposito yang tidak akan diusut.
Sanyoto juga menegaskan, pengembalian dana dari luar itu tidak akan bersifat memaksa. “Yang diinginkan adalah, para pemilik dana itu menghitung sendiri, lebih untung mana, disimpan di luar dengan bunga rendah (sekitar 6-8 persen) atau disimpan di sini dengan perangsang lebih tinggi dan aman,” tutur Sanyoto.
Lagi pula, ujarnya, dana itu bukan untuk kepentingan pemerintah, tetapi untuk kepentingan penanaman modal antara masyarakat dengan masyarakat sendiri, sedangkan pemerintah hanya menjadi katalisator. Sebab itu, Presiden memintanya untuk menyiapkan proyek prospektif.
Investor Lingkungan Hidup
Sementara ketika menerima Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, Presiden Soeharto mengemukakan bahwa kalau perlu, pihak-pihak tertentu di luar negeri dibuat lebih committed terhadap program lingkungan hidup Indonesia, antara lain dengan mengundang mereka melakukan investasi dalam berbagai cabang produksi yang kandungan lingkungan hidupnya tinggi.
Hal itu penting dilakukan, kata Presiden seperti dikutip Sarwono, karena Indonesia sudah memiliki komitmen terhadap lingkungan hidup tetapi secara tidak jujur dituduh sebagai perusak lingkungan. “Isu ini harus kita tangkal secara aktif,” ujar Kepala Negara.
Sarwono juga melihat bahwa sikap ekstrem luar negeri mengenai lingkungan hidup temyata pada akhimya merugikan mereka. Hal ini terbukti dengan dicabutnya undang-undang mengenai labelling hutan tropis oleh Parlemen Austria.
Sebagai gambaran, Presiden Soeharto menjelaskan kepada Sarwono tentang manajemen hutan yang bisa menguntungkan kalau berbagai kepentingan ekonomi dari berbagai kalangan dipelihara. Masalahnya, kadang-kadang Indonesia belum memiliki ahli dan modal. Maka, di bidang inilah investasi asing diperlukan. Demikian juga, misalnya, dalam hal kegiatan potret udara dan analisanya yang tidak dimiliki Indonesia.
Kepala Negara juga menjelaskan kebijakan umum di bidang lingkungan hidup yang bersifat ke dalam. “Sebagai negara berkembang yang ingin maju, kita harus bisa menjaga keseimbangan antara pemeliharaan lingkungan hidup dan pembangunan,” kata Sarwono mengutip Kepala Negara.
Misalnya, jika di bidang industri dan pertanian diperlukan masukan teknologi, maka masukan itu yang tepat agar pemeliharaan lingkungan bisa dilakukan sejalan dengan kemajuan di kedua bidang itu.
Ditegaskan, setiap pembangunan industri dan pertanian selalu ada akibat sampingannya. Yang bisa dilakukan adalah memperkecil akibat itu. “Jangan sampai kita itu mengembangkan sikap anti pembangunan hanya karena terpaku kepada masalah lingkungan. Jadi keseimbangan itu harus ditegakkan secara dinamis,”ujar Sarwono.
Karena perlu konsentrasi penuh terhadap lingkungan hidup itulah,maka lembaga KLH dipecah dua. Seperti dijelaskan Kepala Negara kepada Sarwono, pemisahan menjadi dua lembaga itu karena lingkungan hidup sudah mulai mengemukakan di dunia, sehingga pemerintah perlu konsentrasi khusus terhadap hal itu.
Presiden melihat bidang keluarga berencana (KB) perlu lebih terkait dengan kependudukan, justru karena Indonesia sekarang ini menjadi panutan diantara negara negara berkembang di bidang KB.
Terhadap hal ini, Presiden juga menegaskan bahwa pernisahan kelembagaan itu tidak perlu menyebabkan kerancuan konsep di bidang kependudukan karena di bidang ini norma-normanya sudah diatur di dalam UU mengenai Kependudukan.
Menjawab pertanyaan mengenai rintangan yang dihadapi kantornya, Sarwono menjelaskan empat hal. Pertama, mispersepsi. Misalnya dalam politik investasi di kalangan swasta dalam banyak hal dilakukan tanpa kesadaran bahwa lingkungan hidup perlu diperhitungkan. Tapi begitu mereka mengetahuinya, mereka lantas mau mengambil tindakan. Kedua, adanya pengusaha yang tidak mau tahu.
Ketiga, penataan ruang lemah. hri terbukti antara lain adanya penempatan industri yang berisiko polusi tinggi di sekitar hulu sungai.
“Jadi satu masalah strategis yang harus kita lakukan adalah bagaimana tindak lanjut dari UU Tata Ruang. Sebab kalau TR-nya sudah terpateri bagus, manajemen lingkungan hidup akan jauh lebih mudah,” ujar Sarwono. Ia menambahkan kelemahan keempat adalah lemahnya kelembagaan lingkungan hidup seperti Bapedal.
Presiden Soeharto juga menerima Menko KesraAzwar Anas dan memerintahkan dia untuk menyelenggarakan rapat koordinasi menyangkut pertanggungjawaban tiap instansi atau pihak swasta yang memberikan bantuan kepada masyarakat Flores. (vik)
Sumber :KOMPAS (01/04/1993)
_____________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 392-396.