PRESIDEN SOEHARTO : ABRI TAK AKAN TINGGALKAN FUNGSI SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK
Presiden Soeharto menegaskan, ABRI tidak akan meninggalkan fungsinya sebagai kekuatan sosial politik. Jika hal itu terjadi maka akan mengingkari sejarah perjuangan bangsa.
“Saya kira tidak akan sampai ke situ, walaupun orang yang berpikir barat dengan landasan dan kaca mata lain selalu menuntut ke situ. Kesadaran kita berbangsa dan bernegara Pancasila saya kira tidak akan sampai ke situ,” kata Kepala Negara ketika menerima peserta Forum Komunikasi dan Konsultasi BP-7 dan Kabid Sospol se-Indonosia di Peternakan Tri S Tapos, Jawa Barat, hari Minggu.
Menurut Kepala Negara, jikaABRI meninggalkan fungsinya sebagai kekuatan sosial politik atau istilahnya kembali ke kandangnya, maka dapat terjadi seperti yang di Venezuela, menggunakan senjatanya untuk menunjukkan ketidakpuasannya, terhadap keputusan.
“Kita mencegah jangan sampai tetjadi hal itu. ABRI sudah duduk sebagai kekuatan sosial politik, turut serta sejak mulai dini menentukan haluannya. Kalau tidak puas itu kan berarti tidak puas kepada dirinya sendiri,” kata Presiden Soeharto.
ABRI juga, menurut Presiden, tidak serakah mengenai wakilnya di DPR. ABRI dalam menentukan wakil di DPR tersebut tepo seliro (tenggang rasa). Wakil ABRI di DPR adalah 100 orang, tapi 25 orang di antaranya diserahkan kepada tiga non, yaitu non-ABRI, non-partai dan non-rnassa.
“Dari situ terbukti bahwa ABRI tidak serakah. Asalkan, mempunyai kekuatan untuk menjalankan fungsinya sebagai stabilisator dan dinamisator,” kata Presiden.
Kemudian, ada pertanyaan kapan ABRI kembali ke kandangnya. “Kalau kembali ke kandanganya, nanti dulu, karena kalau demikian tidak melihat sejarah dari perjuangan bangsa dan mantaat kita rnelaksanakan konstitusi atas dasar konsensus nasional.”
ABRI sudah rela melepaskan suaranya, kemudian masih dituntut supaya fungsinya sebagai kekuatan sosial politik ditiadakan, ini berarti diberikan arti ngerogoh rempelo. Artinya, kalau ati rempelo diambil, artinya kan mati. Padahal perjuangan kita sejarahnya tidak demikian.
Keberhasilan
Presiden juga mengatakan, ada sebagian orang yang menganggap pembangunan nasional yang sekarang dijalankan kurang berhasil. Malah ada yang mengatakan salah karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. “Mereka melihatnya dari kacamata lain, karena sudah lama di luar negeri jadi melihat dari mata bangsa lain,” katanya.
Beda pendapat, kata Kepala Negara, boleh saja, tapi kita harus menunjukkan bahwa bangsa Indonesia lain dengan bangsa lain. “Mereka belum mendalami Pancasila dan UUD 1945, tapi sudah mengeluarkan pendapat. Kita harus bertukar pikiran dengan mereka supaya cara pandangnya itu berubah. Itu yang harus kita lakukan.”
Mungkin juga mereka-mereka yang demikian itu pada waktu Orde Baru lahir berada di luar negeri jadi tidak mengetahui proses politik yang dilaksanakan. Jadi tidak bisa menerimanya.
Mengenai konsensus nasional, menurut Presiden, ada yang mengatakan konsensus nasional itu tidak konstitusional, tapi hanya rekayasa belaka dari seseorang yang mempunyai tujuan tertentu untuk mempertahankan status quo atau mempertahankan kekuasaannya agar tidak goyah.
“Bisa saja mereka mempunyai pandangan demikian, karena tidak mengalami sendiri apa yang kita lakukan pada saat-saat kita mengembangkan konsensus nasional,” kata Kepala Negara.
Terobosan
Adanya konsensus nasional merupakan terobosan dari suatu keadaan di mana Demokrasi Pancasila dikembangkan, karena musyawarah mufakat untuk menghasilkan sesuatu macet, tidak mendapatkan hasil.
Di antaranya adalah pembicaraan DPR Gotong Royong dengan pemerintah dalam menyelesaikan UU Pemilu dan UU mengenai susunan DPR/MPR dan UU mengenai partai politik, macet. Padahal kalau macet tidak ada keputusan.
Dapat juga dilihat pengalaman yang terjadi pada waktu Dewan Konstituante hasil pemilihan. Empat tahun tidak bisa menyelesaikan, dan akhirnya kembali ke Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945.
“Tentunya hal ini tidak akan kita ulangi lagi, dan dilakukan melalui konsensus nasional,” kata Presiden.
Sekarang ada penilaian apakah konsensus itu akan terus-menerus. Konsensus itu merupakan terobosan dari suatu keadaan. Sebenarnya andaikata DPR beserta pemerintah bisa menyelesaikan, tidak perlu ada konsensus demikian.
Sekarang lembaga-lembaga negara telah berfungsi, segala sesuatunya bisa saja untuk dipecahkan di lembaga-lembaga berwenang, yaitu MPR.
Berarti juga tergantung dari rakyat yang memilih wakil-wakilnya di DPK, DPRD kemudian ditambah dengan wakil daerah dan golongan, maka tersusun MPR. MPR sebagai wakil rakyat melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Apakah konsensus nasional masih relevan.
Presiden mengatakan, semuanya tergantung kepada rakyat apakah menginginkan perubahan, tapi bukan di tangan masing-masing rakyat, namun dipercayakan kepada MPR. Mekanismenya memang demikian, harus diserahkan kepada wakil-wakil rakyat. Sekarang terserah kepada wakil-wakil rakyat (RA)
…
Jakarta, Suara Pembaruan
Sumber : Suara Pembaruan (17/02/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 540-542.