Presiden Soeharto Paparkan Hasil Debirokratisasi dan Deregulasi [1]
SELASA, 5 JANUARI 1988 Presiden Soeharto, pada jam 10.00 pagi ini, menyampaikan RAPBN tahun 1988/1989 di depan sidang paripuma DPR di Senayan. Dalam amanat pengantarnya, Kepala Negara mengatakan bahwa ketika menyusun RAPBN tersebut, Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tahun anggaran yang akan datang tetap merupakan tahun yang sulit dan penuh dengan tantangan yang berat. Sebabnya ialah karena berbagai keadaan dan perkembangan ekonomi dunia yang berada di luar jangkauan kita dan tidak selalu sejalan dengan kepentingan pembangunan kita. Namun demikian, kita bersyukur karena ekonomi kita telah memiliki daya tahan yang bertambah besar.
Selanjutnya Presiden mengatakan bahwa sebagai hasil dari debirokratisasi dan deregulasi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, ekspor non-migas menjadi meningkat, sehingga nilai ekspor non-migas telah melampaui nilai ekspor migas. Ini merupakan perkembangan baru yang sangat penting artinya, karena terjadi untuk pertama kalinya sejak kita melaksanakan pembangunan.
Menurut Presiden, kemampuan kita dalam mengelola ekonomi modern, dalam penguasaan teknologi, dalam penguasaan pemasaran dan lain sebagainya juga meningkat. Hal ini jelas merupakan bangkitnya kemampuan dan kekuatan bangsa dalam memasuki tahap perekonomian modem di gelanggang internasional yang penuh persaingan tajam. Secara keseluruhan keadaan ekonomi kita di tahun 1987 yang baru lalu lebih baik dari keadaan ekonomi kita di tahun 1986. Keadaan perekonomian kita dewasa ini mengandung keterbatasan-keterbatasan, akan tetapi juga membuka peluang-peluang untuk tahun-tahun di depan kita.
Selanjutnya Kepala Negara mengatakan bahwa dengan bertolak dari pedoman-pedoman tersebut dan dengan mengerahkan segala daya upaya, pemerintah mengajukan RAPBN tahun 1988/1989 sekitar Rp 28,9 triliun. Hal itu berarti ada kenaikan 27,1% dari tahun anggaran yang sekarang sedang berjalan. Sebagai pelaksanaan prinsip anggaran berimbang, maka pengeluaran negara juga akan berjumlah Rp28,9 triliun.
Seperti yang selama ini telah berjalan, penerimaan negara akan terdiri atas penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Penerimaan dalam negeri diperkirakan dapat mencapai Rp21,8 triliun atau naik dengan 26,5% dari yang sekarang. Penerimaan pembangunan akan mencapai sekitar Rp7,1 triliun atau naik dengan 29,1% dari yang sekarang.
Adapun pengeluaran negara akan terdiri atas pengeluaran rutin sekitar Rp20 triliun yang berarti naik dengan 33,5% dari APBN 1987/1988. Pengeluaran pembangunan akan berjumlah Rp8,8 triliun lebih, yang berarti ada kenaikan 14,7%.
Selanjutnya Presiden mengatakan, untuk memelihara momentum pembangunan, untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi, untuk memperluas pemerataan dan untuk memperbanyak lapangan kerja, maka pemerintah menentukan ada lima sektor yang dana pembangunan masing masingnya lebih dari Rp1 triliun. Sektor-sektor itu adalah (1) sektor perhubungan dan pariwisata, (2) sektor pertanian dan pengairan, (3) sektor pertambangan dan energi, (4) sektor pendidikan, dan (5) sektor pembangunan daerah, desa dan kota. Namun itu tidak berarti bahwa sektor sektor yang disediakan anggaran kurang dari satu triliun rupiah atau yang lebih kecil, tidak penting atau tidak ada hubungannya dengan prioritas pembangunan, kata Kepala Negara.
Akhirnya Presiden mengingatkan bahwa tahun anggaran 1988/1989 nanti merupakan tahun penutup pelaksanaan Repelita IV, yang akan kita mulai pada tanggal 1 April nanti. Hal ini mengingatkan kita kepada katakata penutup GBHN 1983, bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila tergantung pada partisipasi seluruh rakyat serta pada sikap mental, tekad dan semangat, ketaatan dan disiplin para penyelenggara negara serta seluruh rakyat Indonesia. (AFR)
[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988”, hal 691-693. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003