PRESIDEN SOEHARTO : SEKTOR INFORMAL MERUPAKAN KATUP PENGAMAN
Sektor informal merupakan salah satu katub pengaman bagi peledakan angkatan kerja, khususnya dalam menghadapi keadaan sulit berupa penurunan penerimaan negara maupun belum meningkatnya investasi. Sehingga dengan demikian, sektor ini memang perlu segera dibina.
Ini ditegaskan oleh Presiden Soeharto di kediaman, Jalan Cendana Senin pagi kelima menerima Menteri Tenaga Kerja Sudomo yang datang melaporkan berbagai masalah di bidang ketenaga kerjaan.
Presiden Soeharto juga setuju untuk segera menerbitkan lnpres (Instruksi Presiden) yang mengatur masalah sektor informal tersebut dengan melibatkan tak kurang dari 16 Menteri sesuai bidang masing-masing.
Menteri Tenaga kerja Sudomo yang memberikan keterangan kepada wartawan seusai melapor kepada Presiden Soeharto selanjutnya menyebutkan bahwa bahan-bahan untuk keperluan menerbitkan Inpres sudah disiapkan, termasuk petunjuk Mendagri kepada para gubernur.
Ditegaskan pula bahwa sektor informal bukan hanya sekedar pedagang di kaki-5 saja melainkan tersebar di semua sektor seperti transportasi, konstruksi, pertambangan, pertanian dan lain-lain.
“Jadi, Pemerintah Daerah harus melihat perencanaan kota di mana sektor informal ini ditempatkan. Mereka dipilihkan lokasi yang murah dan bersih,” kata Sudomo.
Diakui bahwa persoalan yang terlibat di sektor informal sekarang antara lain adalah mengotori lingkungan, tidak mentaati peraturan, tidak membayar retribusi dan sebagainya. Sebaliknya, orang-orang yang berkecimpung dalam sektor informal ini mengeluh mengenai adanya pungli.
Menurut Menaker, dengan adanya pengaturan, maka mereka hanya akan membayar retribusi yang dikeluarkan oleh Pemda. Sedangkan untuk menghilangkan pungli pola-pola yang pernah diterapkan Opstibpus akan dilakukan lagi yaitu berupa pengecekan setempat oleh suatu tim.
Adapun pembinaan terhadap sektor informal disebutkan oleh Sudomo meliputi pendidikan, disiplin, kesehatan maupun usahanya sendiri.
Untuk itu dibentuk dua bagian yang terdiri dari tim pengarah yang meliputi interdepartemental dan sebenarnya telah bekerja 1,5 tahun serta Satuan Tugas (Satgas) yang akan memberikan laporan perkembangan.
Sebagai proyek percontohan ditetapkan lima kota yaitu Medan, Balikpapan, Ujungpandang, Surabaya dan Bandung.
Dikemukakan bahwa cara terbaik bagi pembangunan sektor informal ialah di lingkungan kecilnya dengan membentuk semacam badan kontak sebagai satu organisasi, sehingga pada gilirannya akan pula terbentuk koperasi.
Urbanisasi
Sudomo mengingatkan, selama lapangan kerja di desa belum bisa tercipta, maka urbanisasi pasti akan terjadi, karena kota merupakan pasaran terbesar.
“Tapi, urbanisasi ini jangan hanya dilihat segi negatifnya saja,” tutur Menaker.
Sektor formal sendiri, menurut dia, perkembangannya tergantung dari berapa banyak investasi serta laju pembangunan.
Disebutkan misalnya bahwa investasi sejumlah Rp. 1 milyar menciptakan lapangan kerja bagi 75 orang. Bahkan, proyek-proyek yang menggunakan teknologi tinggi semacam kilang minyak Dumai dengan anggaran Rp 1,4 trilyun hanya menyerap 400 tenaga kerja.
Di sektor informal, bagi Sudomo, kekuatiran akan lapangan kerja tidak perlu terjadi. Bahkan kepada Presiden Soeharto oleh Sudomo misalnya disebutkan bahwa seorang pemungut kardus bekas di Jakarta mempunyai pendapatan sekitar Rp 2.500 per hari.
Selanjutnya, penghasilan tukang rujak atau buah Rp 4.000, tukang cukur Rp 3.000,- Rp 4000.- tukang sayur Rp 2.000,- Rp 2.500,- pedagang perabot rumah tangga keliling Rp 3.500, tukang jual koran atau majalah bekas Rp2000,- tukang jual minyak tanah keliling Rp 3.500,- tukang warung nasi atau Warung Tegal Rp 50.000.- Rp 60.000 per bulan, tukang es cendol Rp 3.500, tukang kusen atau mebel Rp 60.000 – 75.000 per bulan, tukang baso Rp 2.000 per hari.
“Umumnya pendidikan mereka hanya SD. Gaji pegawai negeri sarjana yang baru masuk hanya Rp 40.000 per bulan,” tutur Sudomo.
Phinisi
Masalah lain yang dilaporkan oleh Menteri Sudomo kepada Presiden Soeharto adalah perjalanan perahu tradisional Indonesia Phinisi yang direncanakan tiba di Vancouver, Kanada tanggal 14 September nanti.
Perjalanan Phinisi Nusantara itu memang dimaksudkan untuk ikut memeriahkan Expo 86 di Vancouver yang bertemakan Perhubungan dan Komunikasi.
Indonesia hendak menunjukkan bahwa masih memiliki alat perhubungan tradisional tersebut yang masih efektif sekaligus pula menunjukkan, adanya jiwa bahari.
Menurut Sudomo yang juga adalah salah seorang pemrakarsa pembuatan Phinisi, dengan tibanya perahu tradisional tersebut di Vancouver, maka misi yang diemban sudah tercapai, sehingga Phinisi Nusantara tidak perlu lagi kembali ke Indonesia dan akan dilelang di Kanada.
Menurut Sudomo peminatnya sudah ada dan kalau dari lelang tersebut ada keuntungan maka akan dibagi kepada masyarakat yang ikut membiayai pembuatannya.
Disebutkan bahwa biaya pembuatannya sekitar Rp 400 juta, sedangkan masyarakat yang ikut membiayai ada yang mengeluarkan dana sekitar Rp 5 hingga Rp. 10 juta. (RA).
…
Jakarta, Merdeka
Sumber : MERDEKA (09/09/1988)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 507-510.