PRESIDEN SOEHARTO : USAHAKAN, BAGIAN RUPIAH DARI BANTUAN LUAR NEGERI DIPERBESAR
Presiden Soeharto memberi petunjuk kepada segenap pimpinan departemen, agar dalam perundingan dengan pihak luar negeri yang akan memberikan bantuan terhadap suatu proyek pembangunan, diusahakan agar pihak luar negeri itu memperbesar bagian mpiah dari seluruh bantuannya.
“Kita semua satu bahasa dan usahakan sejauh mungkin agar bagian rupiah daripada pembiayaan proyek itu termasuk di dalam bantuan yang kita terima,” kata Kepala Negara seperti dikutip Menmud Seskab Moerdiono kepada pers.
Mengungkapkan, tim tersebut telah memantau kurang lebih 75 proyek dari sekitar 150 proyek pembangunan yang mendapat bantuan Bank Dunia atau ADB.
Dalam melaksanakan kegiatan Petunjuk itu disampaikan Presiden Soeharto ketika memanggil Menteri Pertambangan dan Energi Subroto dan Mendikbud Fuad Hassan beserta seluruh pejabat eselon I ke dua departemen tersebut ke Bina Graha, hari Selasa.
Hal itu merupakan kelanjutan dari pertemuan serupa dengan beberapa pimpinan departemen beberapa waktu lalu yang membahas usaha untuk mempercepat pelaksanaan proyek pembangunan yang mendapat bantuan luar negeri, terutama dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Mengenai tanggapan yang disampaikan pihak luar negeri pemberi bantuan, Moerdiono menilai tampaknya mereka memahami hal itu. Ia memberi contoh bantuan pihak Jepang yang semula bagian rupiahnya hanya sebesar tiga persen dari nilai proyek, sekarang ini ditingkatkan menjadi 26 persen.
Turut hadir dalam pertemuan, Mensesneg Sudharmono, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas J.B. Sumarlin, Menkeu Radius Prawiro dan Menteri Negara PANI Wakil Ketua Bappenas/Ketua Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-proyek Pembangunan dengan Dana Luar Negeri (P4DLN) Saleh Afiff.
Delapan Masalah
Menurut Moerdiono, dalam pertemuan itu Presiden Soeharto menegaskan kembali berbagai penghambat dalam pelaksanaan proyek pembangunan.
Presiden terutama menekankan pada delapan masalah, yaitu belum lengkapnya perencanaan proyek, penunjukan pimpinan proyek (pimpro) yang kurang pada tempatnya, atau adanya pimpro yang kurang memahami tugasnya lambatnya penunjukan konsultan, kurang lancarnya pelaksanaan tender, penunjukan sub-kontraktor, masalah penyediaan tanah, pendanaan rupiah, serta kurang mampunya pimpro dalam pengawasan serta membuat laporan administratif.
Mengenai kekuranglancaran pelaksanaan proyek yang dibantu Bank Dunia dan ADB, Moerdiono memberi gambaran Departemen Pertambangan dan Energi yang memperoleh komitmen bantuan dari Bank Dunia sekitar 1,8 milyar dollar AS. Dari jumlah itu, yang belum dipakai sampai sekarang ini lebih dari 800 juta dollar.
Sedang dari ADB departemen ini juga telah mendapatkan komitmen bantuan di atas 500 juta dollar, sekitar 300 juta dollar di antaranya belum terpakai.
Diingatkannya, terhadap dana yang sudah disepakati namun belum juga digunakan, pihak donatur mengenakan commitment fee sebesar 0,75 persen per tahun. Berarti, karena adanya bantuan yang belum dipergunakan itu, Pemerintah Indonesia sudah diharuskan membayar commitment fee 8 juta dollar AS atau lebih dari Rp 8 milyar per tahun.
“Mengenai angka ini, Presiden mengingatkan sama dengan biaya administrasi Bank Dunia untuk satu tahun,” tambah Moerdiono mengenai commitment fee di Departemen Pertambangan dan Energi itu.
Sedangkan terhadap Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Moerdiono mengatakan, pihak Bank Dunia juga telah memberikan bantuan di atas 500 juta dollar AS, sekitar 470 juta dollar di antaranya belum dipergunakan. ADB juga telah memberikan bantuan 300 juta dollar, 260 juta dollar di antaranya belum dipergunakan.
“Commitment fee yang ada sekitar 5 juta dollar AS per tahun,” kata Moerdiono tentang Depdikbud.
“Dengan demikian dapat dipahami betapa perlunya meningkatkan pelaksanaan pembangunan yang mendapat bantuan luar negeri, di samping percepatan itu juga sangat perlu pada saat perekonomian Indonesia mengalami ujian berat terutama akibat merosotnya, harga minyak di pasaran internasional,” tambahnya
Pemantauan
Kepada pers, Moerdiono juga Wakil Ketua Tim P4DLN mengungkapkan tim tersebut telah memantau kurang lebih 75 proyek dari sekitar 150 proyek pembangunan yang mendapat bantuan dari Bank Dunia atau ADB.
Dalam melaksanakan kegiatannya, tim yang dibentuk berdasarkan Kepres No.32 tanggal 29 Juli 1986 itu melakukan beberapa prioritas karena banyaknya proyek yang harus dipantau.
Dijelaskan ada empat kelompok proyek yang dipantau tim P4DLN meliputi proyek pembangunan yang setelah dua tahun dimulai ternyata baru selesai kurang dari 10 persen dari rencana semula, proyek yang sudah dilaksanakan lima tahun tapi pelaksanaannya sangat rendah, proyek yang daya serapnya disbursement sangat rendah dan kelompok proyek yang disbursementnya sangat tinggi.
“Sudah ada berbagai proyek yang dapat dipercepat pelaksanaannya,” ujar Moerdiono tanpa menyebut angkanya.
Ia mengatakan, dari hasil penelitian tim ternyata dijumpai berbagai prosedur yang dapat dipercepat, sehingga mempercepat pelaksanaan proyek bersangkutan. Ia memberi contoh prosedur pembukaan L/C yang ternyata dapat disederhanakan.
Demikian pula prosedur intern departemen, umpamanya masalah yang harus diputuskan pada tingkat yang lebih tinggi, selama ini ternyata memerlukan waktu yang agak panjang. “Ini ternyata bisa diatasi,” tambahnya. Selain itu, menurut Moerdiono, tim juga telah berhasil memperpendek prosedur antar instansi.
Wakil Ketua Tim P4DLN juga mengatakan, tim tersebut telah membentuk suatu kelompok kerja untuk mempercepat disbursement (pencairan dana) yang selama ini dirasa agak lambat.
“Selain itu, tim juga telah melakukan pembicaraan, intensif dengan pihak luar negeri pemberi dana. Tim telah menyampaikan harapan agar local cost, dalam bentuk rupiah itu dapat diperbesar,” kata Moerdiono
Mengenai dana rupiah sebagai dana pen damping yang harus disediakan indonesia sendiri, Moerdiono mengingatkan kembali, dana itu sesungguhnya sudah tercantum dalam APBN. “Sementara ini dilakukan realokasi dana-dana itu di intern departemen,” tambahnya.
Menurut Moerdiono, hal positif lain yang dilakukan Tim P4DLN adalah dapat dilaksanakan lebih mantapnya kebijaksanaan umum untuk meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri pada proyek berbantuan luar negeri itu.
Mengenai hal ini, sebelumnya timbul masalah karena pelaksanaan proyek belum mengetahui barang apa saja yang dapat dipergunakan. Padahal, sejak beberapa waktu lalu Menmud UP3DN sudah mengeluarkan daftar barang produksi dalam negeri yang sudah memenuhi standar industri Indonesia.
“Barang produksi Indonesia itu dapat dipergunakan, dan mutunya pun tidak kalah dari luar negeri,” demikian Moerdiono.
Jepang Sudah
Di antara negara-negara donor, sebegitu jauh Jepang sudah menanggapi himbauan Indonesia mengenai peningkatan pembiayaan lokal itu. lni dikemukakan Menlu ad interim Surono hari Senin siang di Deplu Pejambon pada acara penanda tanganan dan penukaran nota diplomatik tentang bantuan Jepang pada Indonesia sebesar 80 mi1yar yen atau sekitar Rp. 592 milyar.
Sementara itu Dubes Jepang Toshiaki Muto mengatakan, peningkatan pembiayaan local dalam pinjaman, yang diberikan dalam rangka IGGI untuk tahun fiscal 1986 itu cukup besar.
“Dalam tahun ini jumlah pembiayaan lokal, besarnya 26 persen dari seluruh pinjaman. Sedangkan pada tahun sebelumnya hanya 3,5 persen,” ujarnya.
Bantuan sebesar Rp 592 milyar itu akan digunakan untuk membiayai 29 proyek terdiri dari 12 proyek baru dan 17 proyek yang sedang berjalan.
Ke dua belas proyek itu, rehabilitasi irigasi Way Umpu dan Way Pangubuan, rehabilitasi jalan-jalan di Sumatera Selatan, pembangunan jalan layang Semanggi dan Taman Ria Senayan, jalan kereta api Jabotabek, pelaksanaan tahap pertama Pelabuhan Udara Internasional Ngurah Rai, Bali, kabel laut optical fibre Surabaya-Banjarmasin, pembangunan center line elevation, perluasan peralatan komputer untuk Biro Pusat Statistik, rekayasa untuk pengembangan penyediaan air bersih di Ujung-pandang, rekayasa untuk pencegahan banjir di hilir Sungai Asahan, rekayasa untuk jalan raya Jakarta Merak, dan rekayasa untuk rehabilitasi dan pengembangan pelabuhan laut Semarang.
Sedangkan 17 proyek yang sedang berjalan, rehabilitasi akibat bencana alam gunung Semeru, pencegahan banjir di Jakarta Barat, peningkatan mutu jalan-jalan di Jawa Tengah, pengadaan peralatan untuk perbaikan jalan-jalan daerah, pembangunan dan rekayasa untuk jalan layang di Tomang, perpanjangan, highway Jagorawi, rekayasa untuk jalan-jalan di pelabuhan Jakarta, pembangunan jalan layang Tomang tahap ke dua, jalan layang Slipi, Cawang, penyediaan air minum untuk Jakarta tahap ke dua dan ke tiga, sistem transportasi Jakarta Raya, pengadaan peralatan kereta api untuk Jakarta Raya, peningkatan dan pembangunan perkeretaapian daerah Jabotabek tahap I.
Bantuan itu diberikan dengan persyaratan pembayaran kembali dalam 30 tahun, termasuk masa tenggang selama 10 tahun, dengan bunga 3,5 persen setahun. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (10/09/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 510-515.