PRESIDEN TETAPKAN LANGKAH LANJUTAN DEVALUASI

PRESIDEN TETAPKAN LANGKAH LANJUTAN DEVALUASI

 

Presiden Soeharto dalam sidang kabinet terbatas bidang ekuin di Bina Graha Kamis menetapkan langkah-langkah lanjutan dari Keputusan Pemerintah melakukan tindakan devaluasi rupiah terhadap dolar AS.

Berbicara kepada wartawan setelah sidang kabinet, Menteri Negara Urusan perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Dr. J.B. Sumarlin yang didampingi Menpen Harmoko mengatakan, langkah-langkah yang diputuskan oleh Presiden dalam sidang itu antara lain penyesuaian kontrak kerja pekerjaan sipil borongan, masalah utang piutang dalam valuta asing, kenaikan fiscal ke luar negeri dan revaluasi harta kekayaan perusahaan.

Mengenai penyesuaian kontrak kerja pekerjaan sipil borongan dan pekerjaan borongan lainnya akibat devaluasi, Sumarlin mengatakan penyesuaian ini dilakukan untuk proyek-proyek pembangunan baik proyek APBN, APBD maupun proyek BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Ia mengatakan, penyesuaian ini dilaksanakan dalam batas plafond anggaran yang sudah ada, jadi tidak perlu ada tambahan anggaran bila ada proyek yang belum selesai maupun anggarannya tidak ada untuk penyelesaiannya, maka proyek itu dimasukkan lagi dalam tahun anggaran berikutnya atau “dijereng” pelaksanaannya.

Bagian-bagian pekerjaan yang dapat disesuaikan, kata menteri ialah pekerjaan borongan yang belum dibayar atau belum mendapat SPM (Surat Perintah Membayar) dan kontraktornya belum terima duit.

Selain itu pekerjaan borongan yang sudah memperoleh SPM sebelum 12 September 1986 (devaluasi) tidak bisa dikenakan penyesuaian, kata menteri.

Pekerjaan sipil borongan yang sudah ditender pada tanggal 12 September dan penawarannya sudah masuk tetapi belum diputuskan, maka evaluasi tender untuk menentukan pemenang tender tetap dilanjutkan. Namun kontraknya disesuaikan dengan pedoman penyesuaian yang akan ditetapkan oleh Pemerintah, pedoman penyesuaian itu dikeluarkan hari Kamis ini.

Sumarlin mengatakan, pekerjaan sipil borongan yang pada tanggal 12 September sudah ditender tetapi penawarannya belum masuk, maka batas waktunya diperpanjang satu bulan.

Jika pekerjaan sipil borongan pada tanggal 12 September belum ditender dan belum mendapat SPK (Surat Perintah Kerja), maka pekerjaan itu ditender sesuai dengan prosedur Keppres 29 Tahun 1984.

Ia menegaskan penyesuaian kontrak kerja pekerjaan sipil borongan ini dikeluarkan bersama oleh Departemen Keuangan dan Bappenas yang mendapat persetujuan Presiden. Dengan penyesuaian ini diharapkan ada kepastian bagi para kontraktor dan pimpinan proyek untuk melaksanakan pembangunan, katanya.

Utang-Piutang Dalam Valuta Asing

Mengenai langkah-langkah Pemerintah dalam masalah utang-piutang dalam valuta asing, Menteri Sumarlin mengatakan dengan adanya devaluasi baru-baru ini terdapat selisih kurs rupiah terhadap dolar.

Selisih kurs ini bisa menguntungkan atau merugikan tergantung dari apakah seseorang itu atau perusahaan mempunyai hutang atau piutang. Kalau mempunyai hutang tentu rugi, tetapi kalau memiliki pimang pasti untung dengan adanya devaluasi.

Ia mengatakan, selisih tukar lama dengan niai tukar baru akibat devaluasi dibukukan dalam suatu perkiraan khusus yang dinamakan “selisih nilai tukar karena devaluasi” yang fungsinya sebagai perkiraan antara.

Menurut Sumarlin, perobahan nilai tukar itu dibukukan sebagai penghasiian (jika piutang) atau sebagai kerugian (jika hutang) pada saat dilakukan pembayaran hutang-piutang yang bersangkutan.

Dengan demikian maka beban pelunasan atau pembayaran hutang karena perobahan kurs dikurangkan dari laba sebelum dikenakan pajak penghasilan perusahaan yang bersangkutan, katanya.

Ia mengatakan, kenaikan nilai tukar piutang dalam valuta asing dikenakan pajak dalam tahun pajak saat piutang itu dibayar pada wajib pajak. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku bagi deposito dalam valuta asing, kata Sumarlin yang menjabat menteri keuangan antara lain.

Ia mengemukakan, keuntungan karena piutang merupakan bagian pendapatan yang dikenakan pajak dari perusahaan yang bersangkutan.

Fiskal

Dalam kesempatan itu, Sumarlin juga mengungkapkan keputusan sidang kabinet yang diambil oleh Presiden Soeharto mengenai naiknya biaya fiskal ke luar negeri dari Rp 150.000 per orang setiap kali keluarnegeri menjadi Rp 250.000,-

Kalau bepergian dibiayai dinas (pemerintah), maka biaya fiskal tidak dapat dikresitkan terhadap kewajiban pembayaran pajak penghasilan yang terhutang dari wajib pajak bersangkutan, katanya.

Tetapi kalau biaya fiskal itu atas tanggungan pribadi maka biaya fiskal itu dapat mengurangi pembayaran pajak pribadi itu sendiri. Jika biaya fiskal ditanggung oleh perusahaan maka biaya itu dapat dikurangkan sebagai biaya atas penghasilan bruto sebelum kena pajak dari perusahaan yang bersangkutan.

Biaya fiskal baru ini mulai berlaku tanggal 6 Oktober mendatang dengan tujuan lebih menghemat devisa, kata Sumarlin.

Sidang yang dipimpin Presiden itu juga memutuskan perlunya melakukan revaluasi kekayaan dan harta perusahaan yang dimiliki dan masih digunakan.

Revaluasi ini dimaksudkan untuk membantu menyehatkan posisi keuangan masing-masing perusahaan dan untuk mendorong kegiatan ekonomi. (RA)

 

 

Jakarta, Antara

Sumber : ANTARA (03/10/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 515-517.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.