Soerjadi: Pak Harto Kuat Pada Prinsip, Rendah Hati Dalam Sifat

Kuat Pada Prinsip, Rendah Hati Dalam Sifat

Soerjadi

(Wakil Ketua MPR/DPR Masa Bakti 1988-1992/ PDI)

Sejak masih pelajar SMA di Yogya saya sudah mengenal nama Pak Harto sebagai Panglima Divisi Diponegoro di Semarang. Pada masa itu banyak pemimpin ABRI yang dikenal sampai keluar lingkungan militer. Artinya pada waktu itu KSAD, Menpangad, dan panglima-panglima divisi merupakan figur-figur atau tokoh-tokoh yang dikenal dalam masyarakat luas. Antara lain adalah Pak Harto. Saya mengenal beliau melaJui koran, radio dan majalah karena pada waktu itu saya masih sangat muda dan belum terlibat sama sekali dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat politik praktis. Keluarga isteri sayalah yang mengenal keluarga beliau lebih dahulu. Jalinan perkenalan ini terjadi pada waktu mereka berada di Semarang. Hubungan antara ayah mertua saya yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah dan Pak Harto sebagai Panglima Diponegoro berjalan dengan erat dan baik. Mereka, Pak Harto dan Pak Hadisubeno, mertua saya, sama-sama mempunyai prinsip yang kuat dan tegas dalam menghadapi bahaya komunisme. Disamping itu hubungan antar keluarga juga terjalin dengan baik dimana pada waktu itu ibu mertua saya suka mengantarkan masakan kegemaran keluarga beliau yaitu sayur lodeh. Sampai sekarangpun ia masih sering mengantarkan ratus yaitu alat pewangi kain, yang dibuatnya sendiri, kepada lbu Tien dan teman-teman lainnya.
Pertemuan saya yang pertama kali dengan Pak Harto terjadi pada waktu pemberontakan G-30-S/PKI. Saya datang ke rumah beliau di Jalan H Agus Salim sekitar jam 9.00 malam bersama dengan beberapa aktivis PNI. Seperti kita ketahui, pada waktu terjadinya coup yang gagal tersebut, PNI telah pecah menjadi dua kubu. Saya adalah salah seorang dari kelompok Osa-Usep. Kami datang menemui beliau karena kami beranggapan hanya beliaulah yang dapat memberikan informasi yang dapat dipegang, karena begitu semrawutnya berita-berita yang tersiar, padahal waktu itu saya diserahi tugas untuk membina GMNI yang juga sudah terpecah.
Mengapa kami pergi kepada beliau? Karena menurut pendapat kami, beliau pada waktu itu kami anggap sebagai tokoh militer yang paling senior setelah Pak Nasution. Selain itu beliau sebagai perwira tinggi telah mengambil prakarsa untuk memegang tanggungjawab kepemimpinan TNI-AD sehubungan dengan pemberontakan PKI dan gugurnya hampir seluruh pimpinan teras TNI-AD, sehingga posisi beliau menjadi sentral.
Kesan saya yang pertama pada waktu itu adalah, saya berhadapan dengan seorang pemimpin militer yang low profile dan sederhana, baik dalam sikap maupun tutur katanya. Sama sekali tak ada kesan garang atau angker. Di situ beliau memberikari gambaran dan pandangan-pandangan mengenai situasi politik yang berkembang pada waktu itu. Ternyata Pak Harto adalah seorang yang menunjukkan rasa tanggungjawab yang besar dalam menghadapi situasi negara yang bersifat darurat. Pada waktu itu kami tidak mengira kalau pada akhirnya beliaulah yang akan menggantikan Bung Karno sebagai Presiden, karena dalam dialog tidak terkesan sedikitpun ambisi beliau ke sana.
Pertemuan saya yang kedua adalah di Kostrad bersama-sama dengan teman-teman dari KAMI, dimana saya pada waktu telah menjadi ketua Umum GMNI. Kemudian masa-masa selanjutnya saya beberapa kali beraudiensi dengan Pak Harto dalam rangka kerja organisasi GMNI dan KNPI. Sesudah saya menjadi pimpinan PDI, dan memegang jabatan yang sekarang ini, sebagai pimpinan DPR, pertemuan-pertemuan formal sering terjadi sebagai konsekuensi dari tugas-tugas saya sebagai Wakil Ketua DPR tersebut.
Pertemuan yang tidak formal terjadi bila saya mengantarkan ibu mertua saya berkunjung kepada keluarga beliau yang ketika itu telah pindah ke Jalan Cendana. Saling kunjung-mengunjungi ini memang sudah terjalin sejak dahulu; bahkan setelah pernikahan saya juga diajak keluarga mertua untuk sowan kepada beliau berdua untuk mohon doa restu. Suatu hal yang biasa pada keluarga Jawa untuk mengunjungi seseorang yang kita anggap tua atau yang kita hormati seusai atau sebelum melakukan suatu langkah yang besar dalam hidup kita. Saya kira pada masyarakat yang lainpun berlaku hal yang sama. Pada waktu itu, tahun 1969, Bapak Soeharto telah menjadi Presiden dan saya adalah anggota DPR-GR.
Komunikasi yang kami pergunakan terhadap beliau adalah bahasa Jawa halus kalau dalam pertemuan yang tidak formal. Tetapi dalam pertemuan-pertemuan formal saya selalu memakai bahasa Indonesia dan beliaupun demikian pula, meskipurr dalam menyata¬ kan hal-hal tertentu saya tidak kuasa untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia. Jadi untuk kata-kata tertentu saya tetap memakai bahasa Jawa halus sesuai dengan unggah-ungguh paramasastra Jawa. Secara pribadi memang saya dihadapkan pad a suatu dilema pribadi. Di satu segi saya sebagai seorang pimpinan, bagaimanapun kualitasnya, saya dituntut untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dalam berhadapan dengan orang tua atau orang yang saya hormati, saya tidak dapat melepaskan diri dan tidak mampu menerobos unggah-ungguh tersebut. Apalagi kalau yang saya hadapi adalah orang Jawa, dan karena saya orang Jawa, maka sukarlah untuk tidak memegang etika Jawa tersebut. Pak Harto selalu berbahasa Indonesia dengan• semua orang termasuk kepada para pembantunya. Bahkan dengan para tamu asingpun bahasa Indonesia tetap dipakainya.

“Kalau bahasa Inggris dapat dipakai di mana-mana oleh orang-orang yang bukan Inggris, mengapa kita tidak menggunakan bahasa kita sendiri?” demikian pendapat beliau.

Pak Harto adalah seorang yang selalu membuka diri terhadap suatu masalah yang kita hadapi, meskipun hal tersebut bukan men¬jadi wewenangnya. Berperannya saya dalam pimpinan PDI yaitu sebagai Ketua Umum sekarang, meskipun tidak langsung, adalah juga karena persetujuan beliau. Bermula dari Konggres PDI ke-3 tahun 1986, yang tidak mampu untuk menyusun secara langsung pimpinan PDI. Akhirnya kongres lalu mengambil keputusan untuk menyerahkannya pada pemerintah, dalam hal ini Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sebagai pembina politik dalam negeri, dengan harapan bahwa Presiden akan dapat inemberikan jalan keluar. Akhirnya pimpinan PDI terbentuk dan ternyata saya dipercaya sebagai Ketua Umum PDI. Komposisi dan personalia DPP PDI tersebut ternyata mendapat sambutan yang sangat positif baik dari warga PDI maupun masyarakat umum, khususnya karena DPP yang baru tersebut terdiri dari orang-orang muda.
Untuk memilih pimpinan Badan Legislatif basil Pemilu 1982, misalnya, lobby dengan Bapak Presiden sebagai Bapaknya rakyat Indonesia ini tak dapat dihindarkan oleh semua pihak. Secara formal dan legal saya memang dipilih sebagai Wakil Ketua oleh DPR dan MPR lewat fraksi-fraksi yang ada, tetapi saya yakin bahwa pandangan dari Presiden juga tidak dapat diabaikan. Hal ini tidak berarti bahwa DPR berada dibawah Presiden, karena kita semua mengetahui bahwa dalam UUD 1945 kedudukan DPR adalah sejajar dengan eksekutif; keduanya harus bersama-sama sebagai pasangan kerja.
Sikap beliau sangat terbuka terhadap usul atau saran yang kami kemukakan dan selama saya memegang jabatan baik sebagai pimpinan partai maupun sebagai wakil dalam lembaga legislatif, saya tidak pernah merasakan adanya komunikasi yang kaku. Beliau itu cukup responsif. Contohnya pada waktu kami meminta doa restu untuk maju ke kongres, beliau memberikan tanggapan demikian:

“Ya silakan, partai kan mempunyai otonomi. Silakan maju kalau memang mendapat dukungan, tetapi kan harus dipersiapkan segalanya supaya nanti semuanya bisa berjalan dengan baik. Pemerintah tidak akan mencampuri, silakan jalan”.

Jadi beliau selalu memberikan spirit tetapi juga menunjukkan batasan-batasan untuk sesuatu yang akan kami lakukan kalau hal tersebut akan membawa manfaat tentunya.
Pada waktu saya menghadapi suatu masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin partai oleh para anggota PDI yang “nakal-nakal”, saya berusaha menghadap beliau untuk mengutarakan masalah tersebut. Saya berpendapat bahwa saya harus menyampaikannya karena teratasinya kemelut dalam Kongres ke-3 PDI adalah karena campur tangan beliau. Jadi dapat dikatakan bahwa secara formal lahirnya PDI sekarang ini atau DPP PDI hasil Kongres ke-3 adalah atas peranan beliau. Wajarlah kalau kami selalu menyampaikan perkembangan PDI kepada beliau.
Pertama-tama saya meminta maaf pada beliau bahwa kami akan menindak salah seorang anggota DPP yang keanggotaannya adalah juga melalui tangan beliau, tetapi karena sesuatu hal yang prinsip, dan masalah ini tentu saja kami uraikan pada Pak Harto, kami terpaksa akan memecat dan kemudian me-recall-nya. Beliau bisa mengerti sepenuhnya, karena menurut beliau tindakan DPP PDI tersebut merupakan bagian dari usaha menegakkan disiplin nasional. Hanya beliau meminta agar segala sesuatunya haruslah dilaksanakan sesuai dengan aturan permainan yang telah digariskan dalam AD/ART partai.
Dari pengalaman-pengalaman di atas saya berpendapat bahwa beliau akan selalu memberikan jalan keluar berupa petunjuk-petunjuk maupun memberikan nasihat-nasihat mengenai apa yang sebaiknya dilakukan berkaitan dengan suatu kegiatan ataupun pelaksanaan suatu program dan apa yang harus dihindarkan supaya nantinya jangan menghadapi kesulitan. Contoh lain misalnya pada waktu sebagai Ketua Umum saya bersama-sama dengan DPP PDI menghadap Pak Harto untuk memperkenalkan diri, beliau dengan jernih sekali melihat dan menunjukkan permasalahan-permasalahan PDI. Beliau memberikan saran dan nasihat mengenai apa-apa yang perlu dilakukan dan apa-apa yang sebaiknya dihindarkan. Dalam menyampaikan nasihat tersebut, beliau selalu menggunakan ungkapan-ungkapan filosofis yang sangat dalam. Saya merasakan bahwa setiap petunjuk dan nasihat beliau selalu mengandung kearifan.
Dalam hidup saya ini, saya mempunyai tiga idola dan semua saya kagumi yaitu, Bung Karno, Kennedy dan Pak Harto. Semuanya presiden dengan kebesarannya sendiri-sendiri sesuai dengan zaman dan tantangan pada waktu itu. Kebesaran Bung Karno adalah kemampuannya menyadarkan dan menumbuhkan harga diri bangsa ini, yang telah dijajah selama 350 tahun, dan juga kemampuannya mempersatukan bangsa Indonesia dengan kondisi masyarakat kita, yang menurut istilah Mpu Tantular adalah ber-bhinneka yang kemudian dapat menjadi tunggal yang akhirnya kita mengenalnya dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika. Kita lihat saja umpamanya India yang terdiri dari satu benua, sampai sekarang masih tetap dipusingkan oleh persoalan integrasi nasionalnya karena timbulnya bermacam persoalan seperti regionalisme, bahasa, agama dan lain-lainnya. Kita harus mengakui bahwa tumbuhnya Indonesia yang bersatu dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika tak dapat dilepas¬kan dari peranan Soekarno. Demikian juga peranan Bung Karno dalam usaha mengangkat Indonesia dalam percaturan politik dunia dengan membangun solidaritas Asia-Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Disamping membangkitkan solidaritas dunia ketiga lewat gerakan Non-Blok dan lain-lain.
Kekaguman saya pada Kennedy, adalah bermula dari suatu peristiwa yang kecil, tetapi yang tak pernah bisa saya lupakan. Pada zaman Kennedy, Amerika Serikat bagian selatan masih sangat rasialis, di sana ada sekolah untuk kulit putih dan kulit hitam yang masing-masing terpisah. Pada saat itu ada seorang anak kulit hitam yang nekad mau masuk ke sekolah kulit putih, karena merasa bahwasebagai warganegara ia mempunyai hak yang sama. Ia mendaftarkan diri dan memenuhi segala persyaratan yang diminta, sehingga sekolah tersebut menerimanya sebagai murid. Namun ternyata ia ditolak oleh masyarakat kulit putih, terutama yang anak-anaknya bersekolah di sana. Masalah tersebut muncul dalam berita-berita surat kabar.
Kennedy sebagai Presiden memerintahkan militer untuk melindungi dan menjamin hak anak itu untuk bersekolah di sekolah tersebut. Kelihatannya memang sederhana, masalah anak yang mau masuk sekolah; tetapi bagi saya kepemimpinan Kennedy telah memberikan kesan yang mendalam, dan saya mengaguminya. Mengapa? Karena, Kennedy betul-betul menghayati apa yang dinamakan hak-hak asasi, hak politik dan pendidikan, serta tanpa ragu-ragu mem¬bela dengan segala risikonya. Ia mengajarkan orang untuk menghargai hak seseorang secara konsekuen.
Pada Pak Harto, konsistensi akan prinsip yang telah digariskan merupakan kekuatan yang menimbulkan kekaguman saya. Seperti kita ketahui, prinsip yang digariskan oleh pemerintah Orde Baru adalah menegakkan kehidupan konstitusional dengan tekad melak¬sanakan UUD 1945 secara konsekuen dan memegang teguh Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Kedua hal inilah yang harus tercermin pada semua aspek kegiatan kehidupan ke-negaraan. Kenyataannya perjuangan kita selama ini adalah memang demikian. Pembangunan yang kita pacu ini baik dalam bidang fisik, ekonomi ataupun mental spiritual selalu kita usahakan agar tetap berlandaskan pada kedua hal tersebut.
Proses pembangunan ideologi sebagai dasar kehidupan bernegara dapat berjalan dengan halus dan konsisten sehingga tanpa disadari kita telah sampai kepada suatu konsensus nasional dimana Pancasila telah menjadi satu-satunya asas dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita sudah lebih dari 40 tahun menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara, tetapi selama itu kita melihat bahwa disamping Pancasila berkembang pula ideologi-ideologi lain dengan subur, yang bahkan sebenarnya bertentangan dengan Pancasila, sehingga mempunyai akibat terpecah-belahnya masyarakat dan kekuatan pembangunan kita.
Terwujudnya pembangunan ideologi kita adalah karena tekad Presiden untuk secara konsisten berjalan di atas prinsipnya. Bagai¬mana beliau menggarap hal tersebut, saya sebagai seorang politisi, benar-benar kagum. Perubahan yang dilakukan beliau selalu berjalan dengan halus, terencana dan konsisten, sehingga banyak orang yang tak bisa menangkap esensi dari proses perubahan tersebut, tiba-tiba seperti tersentak ternyata bahwa kita telah sampai kepada konsensus tersebut. Lahirnya satu-satunya asas adalah jelas melalui tangan beliau.
Didalam hal ini PDI sebetulnya mempunyai andil yang cukup berarti. Pada tahun 1975, kita telah memutuskan UU tentang Parpol dan Golkar (UU No. 3/1975) dimana dalam salah satu pasalnya ditetapkan bahwa parpol dan Golkar (pada akhirnya ormas juga), harus berasaskan Pancasila. Tetapi disamping itu masih diharuskan untuk memiliki ciri asas sebagai tambahan. Umpamanya Golkar adalah kekaryaan, PPP adalah Islam, dan PDI sebenarnya tidak mempunyai ciri asas seperti pada Golkar dan PPP. Bagi PDI, kalau sudah Pancasila ya Pancasila saja. Memang akhirnya PDI dengan terpaksa menerima disahkannya UU No.3 tahun 1975. Tetapi PDI tetap tidak bisa menemukan hal yang dipersyaratkan tersebut. Hal ini merupakan beban bagi PDI, sehingga dalam Kongres PDl ke-2 tahun 1981, dengan tegas PDI mengambil keputusan prinsipil. Dalam hal ini PDI mencoret ciri asasnya, sehingga PDI hanya berpegang dan memiliki Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Sebenarnya tindakan tersebut melanggar UU No.3 tahun 1975, tetapi hal ini kami lakukan demi komitmen dan konsistensi kita kepada Pancasila dan Orde Baru. Ternyata dalam Sidang Umum tahun 1983, MPR mengambil keputusan (dalam Tap MPR yang tertuang dalam GBHN) bahwa Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas untuk parpol dan Golkar (UU No. 3/1985). Dan pada akhirnya juga untuk ormas yang dituangkan dalam UU No.8 tahun 1985. Jadi perjuangan monumental bangsa yang tertuang dalam UU No. 3 tahun 1975 dan UU No. 8 tahun 1985 telah terwujud atas ketegasan dan kerja keras Pak Harto. Ini boleh kita anggap sebagai penutup dari perjuangan dalam bidang pembangunan politik bangsa tahap pertama, yaitu pembentukan lembaga-lembaga politik secara normatif dan kultur politik sesuai UUD 1945. Sesudah itu mestinya kita sudah harus memasuki tahap kedua, yaitu memfungsikan dalam UUD 1945.
Kita boleh beranggapan bahwa sejak 1985 semua yang bersifat normatif dalam kehidupan politik, yaitu semua supra-struktur seperti MPR, DPR, Presiden, DPA, MA, Bepeka, sudah terpenuhi. Demikian juga infra-struktur seperti parpol, Golkar, ormas, pers, dan lain-lain sudah terpenuhi. Dan yang tak kalah pentingnya, menyangkut ideologi negara telah terjadi suatu konsensus nasional, yaitu Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tetapi masalahnya apakah semua lembaga politik tersebut telah memenuhi fungsinya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh UUD 1945? Oleh karena itulah pembangunan politik tahap kedua pada dasarnya adalah berkenaan dengan dimensi fungsional dan substansial dari lembaga-lembaga tersebut. Pancasila jangan hanya dinyatakan sebagai satu-satunya asas saja, tetapi ia harus betul-betul merupakan acuan tingkah laku semua segi hidup negara. Presiden tidak henti-hentinya menekankan masalah ini. Sekarang hanya tinggal kesadaran pada seluruh rakyat dan semua kelompok/organisasi, baik yang formal maupun yang non-formal, untuk menegakkan kesadarannya sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Disiplin nasional seperti yang selalu diserukan Pak Harto, dan baru-baru ini juga oleh Menteri Dalam Negeri Rudini, sebenarnya adalah prasyarat, prasarana atau sarana untuk dapat memperkuat proses fungsionalisasi maupun materialisasi lembaga-lembaga tersebut. Tanpa disiplin semuanya akan merupakan slogan saja. Disiplin nasional harus dimulai dari disiplin pribadi, terutama para pemimpin, baru dikembangkan ke semua arah. Umpamanya gerakan kebersihan. Ini adalah hal yang sederhana tampaknya, tetapi kalau para pejabat ikut melakukannya, maka ini akan merupakan suatu langkah yang baik untuk menumbuhkan disiplin dalam masyarakat. Orang membuang sampah dan puntung rokok di mana mana, itu menunjukkan bahwa pada dasarnya orang tersebut tak mengetahui di mana tempatnya berada, bukan sekadar tak tahu tempat sampah. Juga umpamanya kita membudayakan antrian, hal yang ringan tetapi kalau semua bisa dilakukan, maka disiplin nasional tentu akan membudaya bagi kita semua. Ibu Tien dan Pak Harto telah banyak memberikan contoh dengan ikut terjun langsung ke masyarakat, umpamanya dalam kerja bakti membersihkan lingkungan. Memang semuanya adalah suatu proses, tetapi berlangsungnya suatu proses juga memerlukan suatu kedisiplinan yang tinggi.
Tekad Pak Harto untuk menjalankan UUD 1945 terlihat juga dalain pembangunan perekonomian kita. UUD 1945 pasal 33 menempatkan koperasi sebagai sistem perekonomian kita. Pada mulanya koperasi dimasukkan dalam suatu departemen dengan penanggungjawab seorang direktur jenderal. Tetapi kemudian berdiri sendiri dengan adanya Menteri Muda Koperasi dan sekarang
telah menjadi departemen tersendiri yaitu Departemen Koperasi. Ini merupakan contoh konsistensi beliau dalam segi kelembagaan. Sedangkan dalam segi operasionalnya, beliaulah yang memerintahkan dibentuknya BUUD/KUD di seluruh Indonesia. Konsepsi Pak Harto ini harus dioperasionalkan dengan tindakan-tindakan nyata dilapangan oleh aparat pelaksana tersebut agar mampu memberikan bobot terhadap koperasi itu dalam praktek di masyarakat sebagaimana digariskan dalam pasal 33 UUD 1945.
Hal tersebut perlu segera dikerjakan karena sekarang ini sudah mulai ada suara-suara yang mengatakan bahwa perekonomian kita sudah cenderung mengarah ke liberalisme. Untuk menunjukkan bahwa anggapan tersebut tidak benar, maka kita hanya dapat menjawab dengan tindakan-tindakan kongkrit, yaitu menumbuhkembangkan koperasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan segala kebijaksanaan pemerintah secara menyeluruh. Dalam arti, semua departemenyang terkait harus mendukung secara ter koordinir sehingga akhirnya akan mampu menempatkan koperasi benar-benar sebagai tulang punggung atau soko guru perekonomian kita. Seperti kata Pak Mubyarto, kalau dalam pembangunan kita mengenal trilogi pembangunan, maka dalam perekonomian ketiga hal tersebut bisa dianalogikan yaitu: stabilitas adalah tanggungjawab sektor negara, pertumbuhan adalah tanggungjawab sektor swasta, dan pemerataan adalah tanggungjawab sektor koperasi.
Dikaitkan dengan program tinggal landas, maka koperasi harus digenjot untuk masa lima tahun mende}tang agar mampu menempatkan dirinya sejajar dengan sektor-sektor lainnya. Political will sudah ada pada Presiden, sekarang hanya tinggal political adion dari para pembantu beliau untuk mengoperasionalkan hal tersebut dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan di lapangan. Koperasi harus digerak¬kan oleh orang-orang yang bersemangat koperasi.
Kehidupan demokrasi yang teratur sesuai dengan budaya masyarakat kita telah terbentuk dibawah kepemimpinan beliau Hal tersebut baru kita rasakan kalau umpamanya kita membandingkan¬nya dengan demokrasi yang berkembang di India. Banyak orang mengatakan bahwa demokrasi di sana hebat. Apakah demokrasi yang diikuti dengan pembunuhan-pembunuhan pada waktu pemilihan seperti di Lok Sabha cermin dari demokrasi yang baik? India sampai sekarang belum dapat mengatasi masalah yang paling mendasar bagi suatu bangsa, seperti masalah bahasa, agama dan regionalisme, dimana Indonesia telah menyelesaikannya jauh sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1928 yang tertuang dalam Sumpah Pemuda yang diciptakan/ dilahirkan oleh para pemuda yang masih sangat muda usianya.
Kitapun telah mempunyai konsep SARA yang dicetuskan di bawah kepemimpinan Pak Harto sehingga kita tidak lagi mengalami ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh permasalahan yang bersumber pada perbedaan agama, suku atau ras, dimana banyak bangsa yang sampai sekarang masih terus dipusingkan oleh hal-hal tersebut. Di sinilah kita dapat menunjukkan kebesaran bangsa kita kepada dunia internasional, betapa besarnya rasa tangg ngjawab dan toleransi kita demi kesatuan bangsa, yang sekaligus menunjukkan kedewasaan dan kematangan bangsa Indonesia.
Selama saya menjadi pimpinan formal baik sebagai pemimpin partai maupun sebagai pimpinan DPR, saya merasakan adanya kepercayaan yang ditumpahkan kepada saya. Begitu pula kalau saya perhatikan para pembantu beliau, semuariya mendapat Iimpahan kepercayaan. Beliau selalu membedkan perhatian yang penuh, artinya kami semua mendapatkan keleluasaan untuk bekerja melaksanakan tanggungjawab. Apalagi terhadap lembaga kepartaian, saya tidak merasakan adanya intervensi beliau. Beliau baru campur tangan kalau kami memintanya, seperti halnya dalam kongres PDI ke-3. Mengenai anggapan orang bahwa eksekutif cenderung lebih kuat dari legislatif, bukankah hal itu telah tercermin dalam UUD 1945 yang mengatakan bahwa kekuasaan legislatif tidak berada di tangan DPR, tetapi dipegang Presiden, meskipun harus dengan persetujuan DPR? Jadi ini bukan berarti ada dominasi dati Presiden atau campur tangan Presiden dalam legislatif, melainkan memang demikianlah pengaturannya dalam UUD 1945. Bukankah kita ingin melaksanakan UUD 1945 dengan konsekuen?
Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa DPR itu lumpuh, tidak bisa atau tidak mampu menyuarakan suara rakyat, semata-mata karena pemerintah terlalu kuat. Kalau hanya me¬nyuarakan aspirasi rakyat, DPR sudah cukup membuktikannya. Masalahnya adalah bagaimana sesudah suara tersebut disampaikan kepada pemerintah? Mekanisme proses inilah, yang sampai sekarang, belum ada aturannya. Inilah barangkali yang merupakan ,salah satu permasalahan yang harus dirumuskan sebagai bagian dari usaha untuk menyempurnakan kehidupan konstitusional. Demikian juga misalnya terdapat pasal dalam UUD yang mengatakan bahwa perjanjian dengan negara lain harus diratifisir oleh DPR, tetapi sampai hari ini belum ada undang-undang yang mengaturnya. Sebagai akibatnya tidak jelas kriterianya mana perjanjian yang benar behar perlu diratifikasi, mana yang cukup hanya diketahui oleh Presiden, dan mana yang cukup ditangani oleh menteri saja. Dengan segala kekurangan yang selalu ada pada setiap kepemimpin-an, namun menurut pendapat saya, komitmen beliau untuk menegakkan kehidupan konstitusional merupakan salah satu kekuatan dan sekaligus juga prestasi beliau dalam masa kepemimpinan selama ini. Dalam menegakkan kehidupan konstitusional ini beliau melahirkan suatu motto:

“pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila”.

Dengan motto tersebut Indonesia telah menggebrak pembangunan sehingga menghasilkan hal-hal spektakuler di dunia, yaitu pembangunan kependudukan dan pertanian yang mendapat pengakuan dan penghargaan dunia. Keberhasilan program KB dan pencapaian swasembada beras merupakan bukti keberhasilan dan hasil kerja keras seluruh rakyat dibawah pimpinan beliau.
Yang membuat saya heran adalah Pak Harto mempunyai daya ingat yang kuat sekali. Beliau mengetahui hampir semua hal sampai yang sekecil-kecilnya. Sekali suatu hal kita bicarakan maka beliau akan mengingat hal itu meskipun beberapa tahun telah dilewati. Hal-hal ini yang kadang membuat heran para pembantu beliau.
Suatu hari kami bersama-sama pergi ke Tapos, Pembicaraan menyangkut pula hal-hal yang berkaitan dengan peternakan dan pertanian. Diluar dugaan saya, beliau bercerita segala hal mengenai peternakan dan pertanian begitu mendalam dan mendetail seperti beliau itu seorang dokter hewan atau seorang insinyur pertanian saja. Pada waktu kami tanyakan, mengapa beliau dapat mengetahui semua itu dengan baik, jawabnya selalu:

“Sebagai seorang anak petani, tentu saja saya mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan pertanian dan peternakan”.

Kalau kita perhatikan maka penguasaan beliau terhadap suatu masalah secara baik, baik makro maupun mikro, ternyata bukan hanya menyangkut bidang pertanian saja, tetapi juga di bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu perlu jadi perhatian bahwa siapapun yang akan berbicara dengan Pak Harto harus siap secara mendetail, karena pasti akan dibawa ke arah itu oleh beliau.
Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Jawa, wajarlah kalau nilai-nilai Jawa sangat mewarnai tindak dan cara beliau bersikap. Prinsip-prinsip filsafat Jawa betul-betul dipegang dan dijalankannya. Seperti prinsip nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, yang berarti “menyerang tanpa pasukan, menang tanpa mempermalukan”; atau miku/ dhuwur mendhemjero. Yang pertama tampak pada waktu beliau melemparkan suatu gagasan politik yang dilakukan dengan halus dan tanpa menimbulkan konflik, umpamanya dalam hal pembangunan ideologi kita. Pepatah yang kedua contohnya adalah dalam halnya Bung Karno. Beliau selalu mengatakan Bung Karno adalah seorang pemimpin dan beliau pulalah yang tidak setuju tuntutan agar Bung Karno diajukan ke pengadilan. Falsafah tut wuri handayani, selalu beliau pergunakan dalam kaitan kerja dengan para pembantu beliau, yang selalu diberikan kepercayaan yang penuh. Tegas, kebapakan, bijak dan rendah hati adalah sifat-sifat yang melekat pada pribadi beliau dan sifat-sifat beliau yang seperti inilah yang menempatkan beliau sebagai seorang pemimpin yang berhasil.
Semakin dekat hubungan kita dengan beliau, saya yakin semakin banyak catatan yang dapat kita buat sebagai pelajaran atau tuntunan, khususnya bagi generasi muda. Sebagai pemimpin dan negarawan besar sudah sewajarnya bila rakyat dan khususnya generasi muda menjadikan gaya, konsepsi dan nilai-nilai kepemimpinan Pak Harto sebagai salah satu referensi dalam belajar politik pada umumnya, dan kepemimpinan pada khususnya.
Sebagai orang yang mencintai dan bangga akan bangsa ini, secara mutlak saya yakin bangsa Indonesia akan selalu dikaruniai putera-putera yang besar oleh Tuhan sesuai dengan kebesaran bangsa dan negara Indonesia itu sendiri. Karena, hanya putera-putera bangsa yang besar yang mampu membawa republik tercinta ini menjadi besar atau berwibawa.

***

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.