TANGGUNG JAWAB KITA : MENUMBUHKAN SIKAP YANG PAS

TANGGUNG JAWAB KITA : MENUMBUHKAN SIKAP YANG PAS

 

 

Kepada para peserta kursus reguler angkatan ke-19 Lembaga Pertahanan Nasional, Presiden Soeharto memberikan petunjuk yang khas tentang kewaspadaan keamanan.

Dikatakan oleh Kepala Negara : “Adalah keliru menganggap kewaspadaan keamanan boleh dikendurkan demi kemakmuran”.

Namun sebaliknya, juga sama kelirunya jika kewaspadaan keamanan itu berlebih-lebihan sehingga membatasi ruang gerak.

Dengan kata lain, yang menjadi pegangan, tujuan dan sekaligus situasi ideal ialah, suatu sikap yang pas tidak mengendurkan tidak pula berlebihan.

Petunjuk itu kita katakan khas, karena hal itu mengungkapkan sikap dasar kita orang Indonesia perihal kehidupan serta berbagai manifestasi, permasalahan serta orientasinya. Yang kita pegang dan yang kita cari adalah yang serba pas. Keadaan itu disebut juga keadaan yang selaras, serasi, seimbang.

Ini adalah akhir minggu. Apa salahnya berdialog sejenak perihal sikap dasar pokok itu. Sebab itu melihat dan kita juga merasakan di sana-sini timbul gejala-gejala yang tidak sesuai dengan kebajikan itu.

Di satu pihak, kiranyakita sependapat, keadaan pas, keadaan seimbang dan serasi, timbang rasa dan berbagai kebijakan hidup itu adalah kebijakan-kebijakan yang cocok dan sesuai dengan sikap dasar kita.

Apakah juga karena jalan tengah yang seimbang dan serasi itu pula, maka almarhum Dr. Mohammad Hatta pernah menulis bahwa Pancasila adalah jalan lurus?

Di pihak lain, terutama dalam arus dan bergolaknya periode pembangunan sekarang ini, kita melihat dan kita merasakan di sana-sini muncul hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi ideal seimbang, selaras, serasi atau sikap dasar pas.

Kita dapat menjawab kerisauan kita sendiri dengan mengatakan gejala itu jamak, kita sedang berada dalam proses. Dalam proses itu, masuk akal apabila kita ikut serta muncul dan berkembangnya ekses.

Bahkan dalam proses itu masuk akal, jika terjadi perbedaan, bahkan benturan kepentingan, yakni perbedaan dan benturan kepentingan dalam upaya mencari situasi pas tersebut.

Argumen itu ada benarnya, gejala disharmoni atau gejala yang tidak sejalan dengan sikap pas, timbang rasa, seimbang, untuk sebagian dibawa oleh ekses. Sebagaian lagi timbul, karena proses mencari keseimbangan dan keserasian itu sendiri.

Di samping menerima argumen-argumen itu, pikiran kita masih juga digugat, apakah gejala-gejala yang sama-sama kita pandang tidak sejalan dengan sikap dasar pas itu juga bukannya disebabkan oleh hal-hal lain lagi.

Sekurang-kurangnya untuk bahan dialog atau bahan gunandiko berbicara pada dan dalam diri sendiri pada akhir minggu, kiranya hal-hal itu dapat kita bicarakan.

Sikap dasar pas, selaras, serasi, seimbang, timbang rasa dan lain-lain terutama jika dikaji dari latar belakang kebudayaan ialah sikap-sikap dasar yang etis.

Sikap dasar itu adalah kesadaran serta kewajiban moril yang timbul dari dalam. Ia membawa amanat, petunjuk dan ukuran tentang yang patut, yang seharusnya yang das Sollen. Akar serta motivasi pokok penggeraknya dan pelaksanaannya adalah kemampuan serta motivasi etis.

Sikap dasar serta motivasi etis amat sentral peranannya dalam hidup bermasyarakat. Sikap dasar dan motivasi itu hadir dan berkembang sepanjang zaman dan akan terus bertahan serta berkembang pula.

Sementara itu, pengalaman bangsa-bangsa lain sepanjang sejarah, menunjukkan untuk mengatur pergaulan masyarakat untuk mengembangkan peri kehidupannya dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, sekadar sikap dasar serta amanat etis saja tidak memadai.

Untuk peri kehidupan orang banyak dalam kebersamaan bernegara misalnya diperlukan suatu perangkat yang mempunyai legitimasi untuk menggunakan paksaan. Pada dasarnya itulah asal mula perangkat dan sistem negara.

Agar perangkat yang mempunyai legitimasi untuk menggunakan paksaan itu terlaksana demi kepentingan umum, disusunlah perundangan dan tumbuhlah berbagai doktrin politik.

Dalam doktrin politik dan perundangan itu, niscaya sikap-sikap dasar etis masyarakat menjadi sumber serta ramuan yang amat pokok. Namun, sekali sikap-sikap dasar etis itu telah menyatu dengan sistem perundangan dan politik, ia lantas ikut mempunyai legitimasi untuk di mana perlu, lantas dipaksakan berlakunya.

Proses inkorporasi sikap-sikap dasar etis atau nilai-nilai etis masyarakat dalam perundangan dan sistem politik merupakan proses yang makan waktu. Tidaklah harus menjadi alasan berkecil hati apabila demikian pula prosesnya dalam masyarakat kita.

Yang pokok, asal kita sadari bersama, bahwa demikianlah keadaannya. Yakni, sikap-sikap dasar seperti pas, seimbang, serasi, selaras perlu semakin dijadikan unsur dan jiwa pokok dalam perundangan dan sistem masyarakat kita, agar mempunyai legitimasi untuk dipaksakan.

Masih ada satu segi lagi yang menjadi bagian dari bangunan pikiran kita, dan karena itu juga mempunyai peranan pokok.

Pikiran itu ialah, manakala suatu rangkaian sikap dasar etis telah menjadi bagian dalam suatu perundangan dan sistem kenegaraan, maka menjadilah ia bagian proses politik atau proses kekuasaan.

Secara intern seperti dikatakan di atas, hal itu berarti dalam bentuknya sebagai kebijakan atau undang-undang negara dan pemerintah, kebajikan-kebajikan itu lantas memiliki legitimasi untuk dipaksakan.

Secara ekstem suatu proses politik atau proses kekuasaan memerlukan lembaga-lembaga pengingat, pengontrol, pengoreksi. Sebab ketika sikap­sikap dasar itu dipertemukan dengan dinamika politik dan dinamika ekonomi, terjadilah kompetisi dan adu dinamika bahkan juga terjadilah perbedaan serta benturan kepentingan.

Jika misalnya kini, ada kalanya kita rasakan di sana-sini terjadi gejala yang berlawanan dengan arus pas, arus timbang rasa, arus keseimbangan, menurut hemat kita, salah satu sebab pokoknya ialah kurang bobot dan kurang berfungsinya lembaga kontrol, koreksi dan pengingat.

Andaikata hal itu benar, salah satu langkah keluar dari gejala itu ialah, membangun kebudayaan kekuasaan yang terbuka untuk kontrol, serta membangun lembaga-lembaga yang sanggup dengan penuh tanggung jawab melaksanakan kontrol tersebut. (RA)

 

 

Jakarta, Kompas

Sumber : KOMPAS (06/12/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 562-565.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.