USAHA DALAM FARMASI JUGA PERLU PENGABDIAN

USAHA DALAM FARMASI JUGA PERLU PENGABDIAN

Selain Mencari Keuntungan

PRESIDEN SOEHARTO :

Usaha di bidang farmasi bukanlah sekedar hanya mencari keuntungan, karena usaha itu menyangkut perbaikan kesejahteraan rakyat Indonesia, yang harus ditingkatkan. Karena itu, kecuali memerlukan ketekunan dan keahlian usaha itu juga memerlukan pengabdian. Malah lebih dari itu, masih diminta kecintaan kepada sesama manusia dan masyarakat Indonesia.

Penegasan ini dikemukakan Presiden Soeharto pada pembukaan Musyawarah Nasional ke-VI Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Kamis pagi, yang dibacakan Menteri Kesehatan dr. Suwardjono Surjaningrat.

Diingatkan Presiden, kesadaran kesehatan masyarakat bertambah tinggi dan perlu didukung dengan mutu pelayanan kesehatan. Maka perusahaan farmasi perlu ikut menunaikan peranannya sebaik-baiknya.

Sebab perusahaan yang bergerak di bidang farmasi itulah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan perbekalan kesehatan, khususnya obat-obatan. Peranan perusahaan farmasi terasa makin penting, karena di samping mengandung khasiat untuk memberantas penyakit, obat juga mengandung berbagai kerawanan, jika obat-obatan disalahgunakan. Bahkan penyalahgunaan dapat berakibat fatal bagi manusia.

Dalam usaha pemasaran produksi obat, diingatkan pula oleh Presiden, etika usaha farmasi yang digariskan GP Farmasi hendaknya benai-benar dipegang teguh dan ditaati segenap anggotanya. Promosi obat yang disampaikan kepada masyarakat luas dan tenaga kesehatan, hendaknya dilakukan terbatas, sebagai upaya penyampaian informasi yang wajar dan obyektif.

Pembagian Porsi

Obat memang merupakan komoditi khusus sebagai alat usaha penyelenggaraan kesehatan. Tapi jika obat hanya diperlakukan sebagai alat pengabdian belaka tanpa ditunjang aspek ekonomi, tidak mungkin perusahaan farmasi mengadakan obat bermutu, tidak mungkin membiayai penelitian dan pengembangan. Apalagi ekspor obat berkualitas dan pengolahan bahan baku farmasi, yang dewasa ini sebagian besar masih diimpor.

Demikian pengakuan Ketua Umum GP Farmasi Drs. Sudirman dalam sambutannya pada pembukaan Munas ke-VI GP Farmasi.

Ketua Umum GP Farmasi, Drs. Sudirman, mengemukakan adanya ketimpangan dalam porsi pembagian produksi obat dewasa ini. Perusahaan farmasi swasta nasional yang berjumlah sekitar 240, harus memperebutkan porsi yang hampir sama dengan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sebanyak 2 dan PMA 40 buah.

Tiap perusahaan farmasi swasta nasional hanya kebagian rata-rata 0,22 persen dibanding dengan perusahaan BUMN dan PMA, yang masing-masing mendapat bagian 5 persen dan 1 persen. Malah diakuinya, perusahaan swasta nasional pasti tidak mampu bersaing terhadap PMA, yang memiliki teknologi tinggi, modal besar, pengalaman dan ketrampilan yang jauh lebih banyak.

Menurut catatan Kompas, tahun 1930 nilai obat yang beredar di Indonesia berkisar 463 juta Dollar AS, padahal tahun 1973 baru mencapai sekitar 92 juta Dollar AS. Dari jumlah 483 juta Dollar AS itu yang disalurkan melalui unit pelayanan kesehatan pemerataan berkisar 11.38 persen atau 55 juta dollar AS. Dari jumlah itu yang dihasilkan unit produksi pemerintah bernilai sekitar 18,5 juta dollar AS atau 3,83 persen dari nilai obat yang beredar.

Sudirman memperkirakan gagasan pemerintah untuk mengadakan DUKM (Dana Usaha Kesehatan Masyarakat) sebagai asuransi kesehatan karyawan swasta pasti memerlukan obat esensial produksi BUMN. Sedangkan persentase 0,22 persen itu akan menurun lagi kelak.

Tapi janganlah perusahaan farmasi swasta nasional dan kecil dibiarkan tercepat di antara swasta nasional besar, PMA dan BUMN, sehingga mereka merasa terdesak hidupnya dan jangan heran, jika mereka dalam keadaan sesak mencari jalan keluar dengan rupa-rupa cara termasuk cara yang sangat tercela, seperti pelanggaran kode etik yang sempat menarik perhatian masyarakat akhir­akhir ini, kata Sudirman.

"Seorang pencuri pasti dihukum, tapi perlu diselidiki kenapa orang itu sampai mencuri. Begitu pula pelanggaran pasti ditindak, tapi sudahkah dipikirkan, kenapa pengusaha farmasi menyeleweng?," tanya Sudirman, yang mendapat sambutan para anggota GP Farmasi peserta Munas ke-VI ini.

Diingatkannya, penurunan standar obat pasti terjadi sebagai usaha jalan keluar. Tiap perusahaan farmasi yang merasa terpojok, pasti akan berusaha mempertahankan eksistensinya baik dengan manipulasi kualitas, menjual obat daftar G ke pasar ataupun menjual obat kepada dokter serta cara negatif lainnya.

Munas ke-VI GP Farmasi ini berlangsung tanggal 23 – 25 Agustus dan diikuti oleh sekitar 600 peserta dari 25 propinsi. (RA)

Jakarta, Kompas

Sumber : KOMPAS (24/08/1984)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 854-855.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.