Wawasan Nusantara (Bagian 2)
(Unsur Ke-2 Wawasan Nusantara: Idiologi Bangsa Sebagai Penopang Tegaknya Peradaban)[1]
Oleh:
Abdul Rohman
Merupakan cara pandang bahwa tegaknya peradaban skala kebangsaan harus ditopang oleh ketersediaan road map idiologis yang kuat dan mampu menyangga tumbuh tegaknya peradaban besar yang sejalan dengan komitmen spiritual masyarakat nusantara. Road map idiologis seperti itu hanya dimungkinkan apabila memiliki kesejiwaan dengan hukum-hukum kehidupan universal (hukum-hukum ketuhanan)[2]. Penegasian terhadap hukum-hukum kehidupan bukan saja menjadikan cita-cita tegaknya peradaban besar sebagai fatamorgana, akan tetapi juga dapat memberi kontribusi terjadinya erosi potensi-potensi positif, yang secara given telah tersedia dalam komunitas peradaban yang hendak dibangun.
Nusantara memiliki pengalaman kesejarahan sebagai entitas peradaban independen skala besar —sebagai contoh era Majapahit yang pengaruhnya hampir mencakup sepertiga dunia—, dan eksistensinya ditopang oleh tata nilai maupun komitmen spiritual yang terkandung dan mengakar dalam masyarakatnya. Oleh karena itu para pendiri negara menggali kembali nilai-nilai dan komitmen spiritual itu, untuk kemudian dielaborasi dan diformulasikan kedalam Pancasila sebagai road map idiologis Indonesia modern.
Kesesuaian nilai-nilai kenusantaraan dengan hukum-hukum kehidupan universal menjadikan orientasi pembangunan nusantara tidak berdimensi sempit sebagaimana idiologi fasisme (pemujaan terhadap keunggulan ras, seperti Nazisme Jerman dan Jepang pada PD II), romantisisme kejayaan clan keagamaan (seperti bangsa Yahudi melalui pembentukan negara Israel modern dengan membenarkan genocide terhadap Palestina), liberalisme tanpa transendensi (AS) ataupun kekuasaan kelompok klas sebagaimana idiologi negara-negara Komunis. Bangsa Nusantara merupakan entitas peradaban yang dibangun oleh nilai-nilai universal kehidupan —transendensi, perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan serta perlindungan keadilan dalam sebuah pranata yang berkeadaban—. Eksistensi peradaban Nusantara bukan untuk menegasikan atau merendahkan peradaban-peradaban lain, melainkan merupakan salah satu pilar penyangga tegaknya peradaban dunia, sekaligus kontributor terwujudnya pranata internasional yang berkeadaban.
Sebagai konsekuensi diperlukannya road map idiologis bagi tegaknya peradaban besar, Pancasila sebagai road map idiologis bangsa Indonesia harus diimplementasikan secara sungguh-sungguh dan konsisten dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kesungguhan implementasi idiologi bangsa memerlukan pemahaman segenap elemen bangsa agar mampu mengaplikasikannya ditengah dinamika perubahan lingkungan strategis yang akan terus berlangsung. Oleh karena itu Pancasila perlu ditransformasikan melalui proses edukasi publik yang terorganisasi secara baik dan dilakukan secara berkelanjutan. Konsep operasionalisasinya juga harus semakin disempurnakan dengan mengelaborasi kemajuan konsep maupun praktek manajemen pembangunan yang dicapai negara-negara maju dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Pancasila.
Kelembagaan P4 yang dibentuk oleh pemerintahan Presiden Soeharto sebenarnya merupakan instrumen edukasi publik idiologi kebangsaan, agar idiologi bangsa dapat ditransformasikan secara kontinyu, dipahami dan didialektikakan implementasinya oleh segenap komponen bangsa. Adanya pemahaman segenap rakyat atas idiologi bangsa akan dapat meredusir munculnya konflik-konflik idiologi (konflik nilai) yang destruktif serta dapat menumbuhkan kolektifitas partisipasi rakyat dalam mewujudkan cita-cita pembangunan peradaban bangsa.
Pada era reformasi, kelembagaan P4 dihapuskan tanpa mempertimbangkan urgensinya sebagai salah satu pilar tegaknya peradaban bangsa yang hendak dibangun kembali. Implikasi keroposnya pemahaman dan penjiwaan terhadap substansi Pancasila —beserta konsep operasionalisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara— menjadikan partisipasi elemen-elemen bangsa dalam pembangunan dikendalikan oleh orientasi-orientasi pragmatis. Secara makro nasional dan dalam jangka panjang penghapusan tersebut dapat menyebabkan munculnya krisis orientasi kebangsaan, karena masing-masing elemen bangsa tidak lagi memahami landasan pijak, arah dan tujuan pembangunan peradaban bangsa.
***