Wawasan Nusantara (Bagian 5)

Conferce Ke 3 ASEAN di H.I. Jakarta Tahun 1970

Wawasan Nusantara (Bagian 5)

(Unsur Ke-5 Wawasan Nusantara: Kedaulatan NKRI dan Kesejarahan Konflik Politik Antar Kawasan)[1]

 

Oleh:

Abdul Rohman

 

Merupakan cara pandang terhadap keutuhan kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan kesejarahan interaksinya secara politik dengan kawasan-kawasan luar. Cara pandang terhadap keutuhan kedaulatan NKRI telah dirumuskan secara sistematis sebagaimana konsepsi Wawasan Nusantara yang dipublikasikan secara meluas pada era orde baru. Merupakan cara pandang terhadap keutuhan kedaulatan NKRI yang mencakup seluruh bidang kehidupan nasional meliputi aspek teritori fisik, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Sedangkan cara pandang terhadap kesejarahan interaksi politik antar kawasan adalah merupakan pemahaman background (latar belakang) kesejarahan dinamika konflik antara Nusantara dengan kawasan-kawasan di luarnya. Pemahaman kesejarahan itu sangat penting untuk dapat mengantisipasi kemungkinan munculnya ancaman konflik serupa pada hari ini maupun pada masa yang akan datang.

Keutuhan Kedaulatan (Teritori Fisik) NKRI

Wawasan Nusantara dalam konteks keutuhan kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dikonstruksikan sebagai cara pandang terhadap Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh, menyeluruh, mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Wawasan Nusantara dalam konteks keutuhan wilayah NKRI merupakan sikap politik bangsa Indonesia untuk merajut kembali eksistensinya sebagai archipelagic state (negara kepulauan) setelah didekonstruksi oleh kolonialis Eropa.

Sebelum kedatangan kolonialis Eropa, Nusantara merupakan bangsa berdaulat yang membentang antara lautan Hindia-Pasifik dan benua Asia-Australia. Keberadaan lautan bukan menjadi faktor pemisah akan tetapi justru merupakan sarana pemersatu suku bangsa antar pulau yang ada diwilayah Nusantara maupun dengan bangsa-bangsa yang berada di luarnya. Keutuhan kedaulatan wilayah Nusantara terbelah-belah setelah diberlakukan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie1939 (Staatsblad 1939 No.422) atau dikenal dengan Ordonantie 1939, sebagai hukum laut yang keberadaanya diakui secara internasional pada waktu itu. Ordonantie 1939 menetapkan jarak teritorial laut bagi tiap-tiap pulau (termasuk Nusantara) sejauh tiga mil, sehingga menciptakan zona-zona (kantong-kantong) kedaulatan bebas di tengah-tengah wilayah lautan Nusantara.

Keberadaan Ordonantie 1939 masih berlaku efektif hingga lebih dari satu dekade sejak Indonesia merdeka. Untuk mengembalikan keutuhan kedaulatan wilayah, Kabinet Djuanda mengeluarkan deklarasi yang isinya menetapkan pemberlakuan Archipelagic State Principle (prinsip atau azas negara kepulauan) dalam tata hukum Indonesia. Berdasarkan deklarasi tersebut, batas teritorial laut Indonesia diperlebar menjadi 12 mil (sebelumnya 3 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah Indonesia pada saat air laut surut (asas straight base line atau asas from point to poin).

Upaya kabinet Djuanda mewujudkan archipelagic state (negara kepulauan) dilanjutkan pemerintahan Presiden Soeharto dengan memasukkan rumusan konsep Wawasan Nusantara kedalam GBHN pada tahun 1973. Tahun 1980 Pemerintahan Indonesia mendeklarasikan klaimnya atas Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) sejauh 200 mil dari bibir pantai yang dikukuhkan melalui UU No. 5 Tahun 1983. Perjuangan Indonesia pada forum internasional membuahkan pengakuan dalam forum konvensi hukum laut PBB (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS), pada tahun 1982 di Montego Bay. Konvensi mengakui Indonesia sebagai archipelagic state dengan batas kedaulatan wilayah sejauh 12 mil, diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah Indonesia pada saat air laut surut. Pengakuan lembaga internasional tersebut kemudian diratifikasi oleh pemerintahan Presiden Soeharto melalui UU No.17 Tahun 1985.

Kronologi Terwujudnya Konsep Archipelagic State

  •  Sebelum era Kolonialis Eropa Daratan dan lautan Nusantara merupakan satu kesatuan kedaulatan. Lautan berfungsi sebagai sarana interaksi antar suku bangsa dan antar pulau serta kawasan-kawasan diluar Nusantara
  • Tahun 1608 Hugo de Groot (Grotius), seorang ilmuwan Belanda mengajarkan prinsip kebebasan lautan sehingga mendorong Kerajaan Belanda merasa memiliki hak yang sama untuk berlayar ke Timur —sebagaimana bangsa Eropa lainnya— dan melakukan penguasaan daratan Nusantara beserta lautnya. Fungsi laut bagi masyarakat Nusantara pada akhirnya menjadi pemisah antara penghuni pulau yang satu dengan pulau yang lain.
  • Tahun 1939 Berlaku Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau Ordonantie 1939 sebagai hukum batas wilayah laut Nusantara yang diakui secara internasional. Ordonantie 1939 menetapkan jarak teritorial laut bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga mil sehingga menciptakan ‘kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah Nusantara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas.
  • 17 Agustus 1945  Indonesia Merdeka dan memutuskan teritori fisiknya meliputi eks jajahan Belanda.
  • Tahun 1951  Mahkamah Internasional menetapkan asas Archipelago bagi negara kepulauan setelah mendengar pendapat Norwegia dalam masalah Norwegian Fisheries Case
  • Tahun 1956 Kementerian Pertahanan RI mendesak pemerintah untuk merubah hukum laut warisan kolonial yang tidak dapat menjamin keutuhan dan keamanan wilayah Indonesia
  • 17 Oktober 1956 Berdasarkan Keputusan No. 400/P.M./1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo membentuk panitia interdepartemental untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.
  • Pertengahan 1957 ‘Panitia Pirngadi’ menyelesaikan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim yang pada prinsipnya sama dengan ordonantie namun dengan perubahan batas teritorial dari 3 mil menjadi 12 mil. RUU belum disetujui pada saat Kabinet Ali Sastroamijoyo digantikan kabinet Djuanda.
  • 1 Agustus 1957 Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja agar mencari dasar hukum untuk mengamankan keutuhan wilayah RI. Mr. Mochtar Kusumaatmadja memberikan gambaran ’asas archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951. Ketetapan MI telah dijadikan pertimbangan dalam penyusunan RUU hasil ‘Panitia Pirngadi’ namun tidak berani untuk menerapkannya dalam hukum laut Indonesia
  • 13 Desember 1957 Dewan Menteri Kabinet Djuanda memutuskan penggunaan ’Archipelagic State Principle’ dalam tata negara Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’ yang isinya “segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Keamanan lalu-lintas kapal-kapal asing untuk keperluan damai (berdagang) di perairan pedalaman Indonesia dijamin selama tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia” Keputusan ini dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Selain menetapkan prinsip negara kepulauan, Deklarasi Djuanda juga menetapkan batas teritorial laut menjadi 12 mil.
  • Tahun 1973 Berdasarkan Tap. MPR No.IV tahun 1973, pemerintahan Presiden Soeharto memasukkan Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia kedalam GBHN. Unsur-unsur dasar Wasantara itu ialah cara pandang terhadap Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah (darat-laut-udara), satu kesatuan bangsa, satu kesatuan budaya, satu kesatuan ekonomi dan satu kesatuan hankam.             
  • 21 Maret 1980  Pemerintahan Presiden Soeharto mendeklarasikan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sejauh 200 mil di hitung dari garis dasar (200 mil – 12 mil = 188 mil) mengelilingi batas laut Nasional Indonesia
  • Tahun 1982 Pemerintah Presiden Soeharto berhasil memperjuangkan prinsip negara kepulauan bagi Indonesia sehingga diterima dan ditetapkan dalam konvensi Hukum Laut PBB ke-III (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982) pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay.
  • Konvensi ini juga menetapkan batas Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) maksimal 200 mil.
  • Tahun 1983 Pemerintahan Presiden Soeharto Menerbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sejauh 200 mil
  • Tahun 1985 Pemerintah Presiden Soeharto menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia Negara Kepulauan (batas laut 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah Indonesia pada saat air laut surut).

Pengakuan lembaga internasional terhadap Indonesia sebagai archipelagic state telah mengembalikan keutuhan kedaulatan teritori fisik Nusantara dalam lingkup wilayah eks jajahan Belanda yang meliputi lautan, udara dan daratan tanpa terpisah-pisahkan. Di atas bentangan wilayah itulah kedaulatan NKRI ditegakkan dengan cakupan segala bidang kehidupan nasional, meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.

Permasalahannya terletak pada lingkup kedaulatan teritori fisik NKRI yang tidak lagi meliputi wilayah Nusantara secara penuh —-dengan adanya negara baru seperti Malaysia dan Brunei di Kalimantan maupun Singapura didekat kepulauan Riau— sehingga penentuan batas 12 mil laut untuk wilayah-wilayah tertentu mengharuskan adanya delimitasi. Permasalahan perbatasan ini tidak jarang menimbulkan konflik seperti dalam kasus blok Ambalat, sehingga pada era reformasi memicu ketegangan antara Malaysia dan Indonesia. Kemampuan kepemimpinan nasional untuk menjadikan negara-negara lingkar dekat maupun lingkar luar Nusantara dalam satu kesatuan orientasi dengan arah kebijakan Indonesia merupakan prasyarat agar eksistensi NKRI tidak memperoleh ancaman serius sebagaimana dikhawatirkan Muhammad Yamin. Strategi ini tampaknya diterapkan Presiden Soeharto —membalut Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembangunan peradaban— sehingga pada masa pemerintahannya, konflik perbatasan tidak mencuat hingga titik meresahkan. Berbeda dengan era reformasi dimana konflik perbatasan telah mencuat kembali sebagai isu-isu regional yang menyedot energi bangsa.

 Kesejarahan Interaksi Politik Antar Kawasan

Wawasan Nusantara tidak cukup hanya dilakukan dengan inward looking (melihat kedalam) dalam batasan sempit NKRI, akan tetapi juga harus outward looking (melihat keluar) dengan melibatkan dinamika eksternal yang dapat mempengaruhi eksistensi peradaban Nusantara. Diluar pertimbangan realitas lingkungan strategis yang ada pada saat ini, pemahaman eksternalitas juga harus melibatkan referensi kesejarahan yang dimungkinkan memiliki kontektualisasi pada hari ini maupun masa-masa yang akan datang. Pemahaman eksternalitas itu berupa bentuk-bentuk pengalaman kesejarahan interseksi politik antara peradaban Nusantara dengan imperium-imperium di luarnya. Kombinasi pengalaman kesejarahan dengan realitas lingkungan strategis hari ini akan memberikan gambaran secara utuh eksistensi makro peradaban Nusantara pada saat sekarang, sekaligus memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan tantangan yang akan dihadapi pada masa-masa mendatang.

Apabila kita menengok sejarah masa lalu, sumpah Gajah Mada untuk menaklukkan Formosa (Taiwan), Temasik (Singapura), Siam (Thailand) dan daya jelajah armada lautnya hingga Madagaskar, Solomon Island, New Zealand (Maori) —dan bahkan ada yang memperkirakan hingga Hawai— seringkali hanya dipahami dalam perspektif mentalitas ekspansionis. Para ilmuwan politik atau sejarawan hampir tidak ada yang melacak relevansinya dengan geostrategi mempertahankan eksistensi peradaban Nusantara dari ancaman laten ekspansi imperium-imperium besar yang datang dari kawasan lain. Lemahnya pemahaman terhadap makna sumpah Gajah Mada dalam perspektif geostrategi, menyebabkan upaya sejumlah kalangan untuk mengembalikan kejayaan Nusantara —sebagaimana masa keemasan Majapahit— tidak memiliki visi maupun orientasi yang jelas dan hanya berkutat dengan romantisisme kejayaan masa lalu.

Gajah Mada muncul dalam pentas sejarah sebagai Perdana Menteri (kepala pemerintahan) Majapahit, setelah peradaban Nusantara dihantam oleh dua kali ekspansi militer dari dua imperium besar kawasan Asia Selatan dan Tengah. Kerajaan Sriwijaya merosot dan tercerai berai kekuatannya setelah dihantam oleh ekspansi brutal kerajaan Cola India. Kubilai Khan menusuk jantung pertahanan Nusantara dengan mengirimkan armada militernya menyerang Kediri di Pulau Jawa. Ekspansi kerajaan Cola gagal merontokkan peradaban Nusantara karena segera dijawab dengan berdirinya imperium Majapahit di Pulau Jawa. Sedangkan ekspansi Kubilai Khan juga mengalami kegagalan karena armada militernya dibuat cerai berai oleh calon suksesor kekaisaran Nusantara yang baru dalam hal ini Raden Wijaya yang pada akhirnya mampu meletakkan fondasi baru kekaisaran Majapahit.

Dua peristiwa besar interseksi politik dengan kawasan luar itu tampaknya menjadikan pertimbangan Gajah Mada dalam merumuskan geostrategi baru bagi kekaisaran Nusantara. Kekaisaran India dan Mongolia (termasuk Cina) kemungkinan dinilai sebagai potensi laten imperium luar yang akan selalu mengancam eksistensi peradaban Nusantara (memiliki tabiat ekspansionis secara militer)[2]. Oleh karena itu ia merumuskan geostrategi dengan menjadikan kawasan perbatasan Nusantara sebagai cincin pertahanan dari terulangnya ekspansi dua kekaisaran tersebut. Formosa (Taiwan), Temasik (Singapura), Siam (Thailand) dan kawasan-kawasan sekitarnya merupakan batu pijakan bagi kawasan luar (India: Asia Selatan, Mongol: Asia Tengah dan Cina dari utara) untuk memasuki sekaligus konsolidasi kekuatan dalam menguasai Nusantara.

Sumpah Gajah Mada dapat diartikan sebagai rumusan geostrategi Majapahit untuk menutup skenario ekspansi imperium luar dengan menjadikan kawasan-kawasan perbatasan berada dalam satu kebijakan stabilitas, sekaligus early warning system bagi kedaulatan peradaban Nusantara. Jatuhnya kawasan-kawasan itu kedalam pengaruh kekaisaran luar, akan menjadi pertanda datangnya ancaman serius terhadap eksistensi peradaban Nusantara. Oleh karena itu kerajaan-kerajaan mandiri yang berada di kawasan perbatasan harus dikonsolidasi untuk mendukung eksistensi peradaban Nusantara, atau setidaknya dibebaskan dari kemungkinan dijadikannya kawasan-kawasan tersebut sebagai pintu masuk kekuatan-kekuatan luar dalam menghantam wilayah inti kekaisaran Nusantara.

Sebagai bukti misi Gajah Mada berorientasi pembangunan peradaban adalah pola relasi antara kerajaan Induk Majapahit dengan kerajaan-kerajaan taklukan dalam bentuk konfederasi atau persemakmuran. Majapahit memberi otonomi seluas-luasnya —-dibidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun militer— kepada kerajaan-kerajaan taklukan dan misi milternya tidak dilakukan dengan cara pembersihan etnis maupun klan penguasa setempat. Tindakan militer Majapahit baru dilakukan manakala kerajaan-kerajaan tersebut melakukan perlawanan atau berafilisasi dan memberikan dukungan kepada kekaisaran-kekaisaran di luar Nusantara untuk menyerang Majapahit.

Pelajaran yang dapat kita petik dari geostrategi Gajah Mada adalah tegaknya peradaban Nusantara tidak cukup hanya didukung oleh kukuhnya kedaulatan wilayah inti (pulau-pulau besar Nusantara dan pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya). Tegaknya peradaban Nusantara juga harus ditopang oleh kemampuannya melakukan kendali terhadap wilayah-wilayah yang secara tradisional menjadi pintu masuk atau daerah pancangan awal serangan bagi imperium asing menguasai Nusantara. Jepang dan Korea merupakan wilayah kebangsaan mandiri dan tidak memiliki tradisi mengusik eksistensi peradaban Nusantara, sehingga keberadaanya tidak dinilai sebagai ancaman (kasusnya menjadi beda sejak PD II). Begitu pula dengan Australia yang pada saat itu belum mencerminkan hegemoni Eropa sebagaimana saat ini[3]. Memori kesejarahan masyarakat Nusantara —khususnya dalam pandangan orang-orang tua/dituakan di Jawa— bahkan memiliki ikatan perinteraksian yang kuat dengan suku Aborigin Australia dan Maori Selandia Baru.

Presiden Soeharto tampaknya mengaplikasikan geostrategi Gajah Mada kedalam konsepsi Wawasan Nusantara tiga lapis yang dikombinasikan dengan perubahan lingkungan strategis pada saat itu. Wawasan Nusantara lapis pertama merupakan konsepsi dengan menekankan cara pandang terhadap Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh, menyeluruh, mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Konsepsi ini diaplikasikan dengan mengukuhkan kedaulatan NKRI sebagaimana konsep archipelagic state yang dirintis oleh Perdana Menteri Djuanda. Presiden Soeharto juga menekankan perlunya disiplin segenap komponen masyarakat untuk secara konsekuen dan konsisten dalam memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya rekonstruksi (pembangunan kembali) peradaban Nusantara yang berporos dalam wilayah inti NKRI.

Wawasan Nusantara lapis kedua merupakan konsepsi Nusantara (kawasan yang berada diantara lautan Hindia-Pasifik dan benua Asia-Australia) sebagai satu kesatuan orientasi pembangunan peradaban. Konsepsi ini diaplikasikan dengan menjadikan negara-negara mandiri di kawasan Nusantara —yang terbentuk pasca penjajahan Eropa— sebagai bagian tidak terpisahkan dari skenario kebijakan pembangunan Indonesia. Upaya merangkul negara-negara tersebut tercermin dari kemesraan Presiden Soeharto dengan Lee Kuan Yew (perdana Menteri Singapura), Sultan Brunei dan Mahathir Mohammad dari Malaysia.

Sedangkan Wawasan Nusantara lapis ketiga merupakan konsepsi untuk menjadikan kawasan lingkar luar Nusantara (Thailand, Kamboja, Vietnam, Philipina, Laos), sebagai satu kesatuan konsolidasi stabilitas kawasan, sehingga tidak menjadi pintu masuk bagi campur tangan asing terhadap kawasan Nusantara. Konsepsi ini diaplikasikan dengan munculnya ASEAN way dalam penyelesaian konflik internal maupun antar negara anggota ASEAN.

Komitmen solidaritas kenusantaraan ditunjukkan oleh dukungan Presiden Soeharto kepada Presiden Philipina pada saat diguncang ancaman Kolonel Gregorio Honasan untuk menggagalkan KTT ASEAN di Manila Pilipina[4]. Presiden Soeharto mengabaikan ancaman itu dan memutuskan untuk tetap hadir, sehingga KTT berhasil dilangsungkan. Keberhasilan KTT di Manila merupakan buah dukungan Indonesia yang juga ikut mengatur pengamanan kota Manila.

Pada saat menyampaikan pidato —dalam pertemuan puncak KTT itu— Perdana Menteri Singapura secara terang-terangan menyatakan sempat timbul keraguan, apakah pertemuan puncak di Manila akan berlangsung atau diundur. Namun ketika Presiden Soeharto menyatakan, “Mari kita pergi. Maka kita pun mengikuti keputusan Pak Harto[5]. Ketegasan sikap Presiden Soeharto untuk tetap hadir dalam KTT menunjukkan komitmen Indonesia bahu membahu menghadapi tantangan yang dihadapi para pemimpin negara di wilayah Nusantara.

Presiden Soeharto disinyalir juga memiliki kedekatan dan bahkan memberikan perlindungan atau dukungan masyarakat asli Taiwan yang dalam sejarahnya berseberangan dengan penguasa RRC. Ia juga berhasil mendapatkan dukungan Amerika maupun Australia dalam menggabungnya Timor-Timur sebagai bagian provinsi Indonesia dan tidak menjadi perpanjangan tangan faksi-faksi Eropa maupun kelompok-kelompok kepentingan kawasan lain yang hendak menusuk Indonesia dari belakang. Timor-Timur akhirnya tidak bisa dipertahankan oleh pemerintahah Habibie dan proses pemisahannya menjadi negara merdeka didukung penuh oleh komunitas internasional[6].

Wawasan Nusantara tiga lapis yang diimplementasikan Presiden Soeharto itu secara sederhana dapat kita klasifikasikan kedalam dua konsepsi wawasan Nusantara, yaitu Wawasan Nusantara skala mikro dan Wawasan Nusantara skala makro. Wawasan Nusantara skala mikro telah dirumuskan secara formal dan sistematis sebagaimana sering dikampanyekan selama ini. Yaitu cara pandang terhadap keutuhan kedaulatan NKRI yang mencakup seluruh bidang kehidupan Nasional meliputi aspek teritori fisik, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Sedangkan wawasan Nusantara skala makro merupakan cara pandang terhadap seluruh kawasan Nusantara —-termasuk negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar— sebagai satu kesatuan orientasi pembangunan peradaban dan kebijakan stabilitas kawasan, yang diimplementasikan sesuai kaidah-kaidah hubungan antar negara berdaulat.

Penguasaan konsepsi Wawasan Nusantara secara mikro dan makro menjadikan Presiden Soeharto mampu secara efektif mengelola stabilitas bangsa, baik yang disebabkan oleh gangguan dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah pihak menuding kemampuannya menciptakan stabilitas dalam negeri disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang otoriter. Namun jika melihat begitu menurutnya negara-negara ASEAN terhadap kebijakan Presiden Soeharto, maka kamampuan manajemen kenusantaraan[7] itu menjadi jawaban kenapa ia berhasil mengelola stabilitas di kawasan ini.

Pimpinan negara-negara ASEAN tentu bukan pemimpin lemah dan bodoh yang bisa ditekan begitu saja oleh Indonesia. Kebijakan otoriter tidak bisa menjadikan negara-negara ASEAN menaruh kepercayaan besar kepada Indonesia sebagai regional leader kawasan ini. Kemampuan Presiden Soeharto mengelola stabilitas kawasan ASEAN dapat menjadi cerminan atau perbandingan bahwa keberhasilannya membangun stabilitas di dalam negeri juga bukan oleh kebijakan otoriter namun penguasaan yang baik terhadap manajemen kenusantaraan.

Implementasi wawasan Nusantara skala mikro dapat dengan mudah dilakukan secara terbuka dalam bentuk campaign, edukasi publik maupun derivasi cara pandang tersebut kedalam program-program pembangunan Indonesia. Sedangkan wawasan Nusantara skala makro dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto diimplementasikan dengan bertumpu pada kepekaan intelektual dan spiritualnya pada saat mengambil keputusan-keputusan strategis terkait stabilitas kawasan maupun kebijakan luar negeri. Hal itu dikarenakan implementasi Wawasan Nusantara skala makro (khususnya lapis kedua dan ketiga) harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip hubungan antar negara berdaulat tanpa adanya sikap saling merendahkan.

Keberhasilan Presiden Soeharto mengaplikasikan konsep wawasan Nusantara skala makro dimungkinkan oleh dua alasan. Pertama, para pembantu dekatnya —khususnya dalam urusan luar negeri— mampu merumuskan orientasi kepentingan bersama bagi negara-negara ASEAN sehingga kepemimpinan Indonesia bisa diterima oleh negara-negara yang ada di kawasan itu[8]. Kedua, kepekaan Presiden Soeharto dalam memahami kesejarahan konflik politik maupun kompetisi kekuasaan di negara-negara yang berada dalam kawasan Nusantara dan kemampuanya mengelola konflik tersebut untuk sejalan dengan kebijakan stabilitas Indonesia. Hal itu tercermin dari keterlibatan aktif Indonesia dalam penyelesaian kasus Moro Philipina, Patani Thailand maupun bentuk–bentuk operasi atau misi khusus yang dilakukan secara rahasia.

Adanya dua konsepsi dengan strategi implementasi berbeda itu menyebabkan banyak pihak —pasca Presiden Soeharto mundur dari jabatannya— hanya memahami dan memfokuskan Wawasan Nusantara pada aspek mikro (konsep Wawasan Nusantara dalam batasan NKRI). Sedangkan aspek makro Wawasan Nusantara hanya dipahami dalam konteks romantisisme sejarah kejayaan Majapahit tanpa didukung road map untuk mereaktualisasikannya dalam konteks hari ini. Bahkan kemampuan pengendalian stabilitas di kawasan Nusantara tereduksi dalam lingkup mikro (NKRI) dimana Indonesia disibukkan oleh ancaman disintegrasi.

Maraknya ancaman disintegrasi NKRI pada era reformasi dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, lemahnya pemahaman para penyelenggara negara terhadap wawasan Nusantara makro (komprehensif)[9]. Akibatnya terjadi pelonggaran kendali terhadap negara-negara yang berada di kawasan lingkar dekat atau lingkar luar Nusantara, sehingga dimanfaatkan kelompok-kelompok kepentingan internasional sebagai pintu masuk dalam mewujudkan agenda disintegrasi NKRI. Pasca mundurnya Presiden Soeharto, Singapura menjadi basis kelompok-kelompok kepentingan ekonomi internasional dalam pengendalian potensi dan aset-aset strategis Indonesia. Begitu pula dengan sengketa Blok Ambalat, diduga kuat merupakan implikasi konflik kepentingan korporasi minyak internasional dengan menjadikan Malaysia sebagai ujung tombak perebutan wilayah eksplorasi.

Kedua, lemahnya kompetensi penyelenggara negara dalam menyusun orientasi kepentingan bersama sehingga menyebabkan renggangnya solidaritas negara-negara lingkar dekat maupun lingkar luar nusantara terhadap arah dan kebijakan Indonesia. Kerenggangan itu tercermin dari megaphone diplomacy Singapura yang tidak jarang statemen-statemen pimpinan puncaknya mendiskreditkan Indonesia. Sebuah pola relasi antar negara di kawasan nusantara yang selama era kepemimpinan Presiden Soeharto tidak pernah terjadi.

***


[1]     Disarikan dari buku Politik Kenusantaraan

[2]     Pada saat itu, benua Australia belum muncul sebagai kekuatan yang dapat mengancam peradaban Nusantara. Berdasarkan kesadaran kesejarahan masyarakat, suku-suku bangsa Nusantara bagian timur mimiliki hubungan harmonis dengan suku Aborigin (Aastralia) dan Maori (Selandia Baru).

[3]     Sejarah ketegangan Australia-Nusantara dimulai ketika para eksodan Eropa mengukuhkan eksistensinya dengan menjadi penguasa baru di benua tersebut dan menggeser peranan penduduk asli.

[4]     KTT Asean diselenggarakan pada tanggal14-15 Desember 1987

[5]     Sabam Siagian, Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto, http:// www.suarapembaruan.com/ 2005/ 08.

[6]     Habibie dinilai tergesa-gesa membuat keputusan, karena pada saat Menteri Luar Negeri Ali Alatas hampir berhasil meyakinkan PBB, Habibie memutuskan menerima opsi referendum.

[7]     Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembanguan peradaban, konsistensi terhadap idiologi bangsa, pengelolaan kekuatan multikulturalisme karakteristik SDM Nusantara, pemahaman dan kemampuan pengelolaan kronik politik dalam masyarakat Nusantara serta pemahaman kesejarahan geostrategi wilayah Nusantara.

[8]     Sebagai contoh dalam hal penerimaanya terhadap format kerjasama Asean dan formula Asean Way dalam penyelesaian konflik.

[9]     Mungkin banyak pihak justru tidak menyadari jika Presiden Soeharto menerapkan cara pandang wawasan nusantara makro dalam mengelola Indonesia

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.