Berpikir Mengenai Tinggal Landas

Berpikir Mengenai Tinggal Landas [1]

Saya merenungkan lagi memikirkan Repelita-Repelita yang sudah kita mulai sejak 1969 itu. Sesungguhnya sewaktu saya berbicara di Pasar Klewer sebelum Pemilu 1971 itu, saya sudah menggambarkan tahap-tahap Repelita itu. Cuma waktu itu saya belum mempergunakan istilah tinggal landas, sementara saya sudah menyebut landasan-landasannya.

Rakyat harus diberi pengertian, bahwa masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila yang menjadi cita-cita perjuangan kita itu, tidak bisa dicapai sekaligus, tidak bisa jatuh dari langit begitu saja. Harus diperjuangkan lewat pembangunan, secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Untuk mulai mewujudkan masyarakat adil dan makmur, kita harus mempunyai landasan yang kuat. Landasan dalam bidang ekonomi adalah kondisi kehidupan ekonomi yang ditunjang oleh industri yang kuat dan didukung oleh pertanian yang tangguh. Tanpa landasan industri yang kuat dan tanpa didukung oleh pertanian yang tangguh sulit mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Pembangunan dalam bidang pertanian harus memperoleh prioritas yang pertama agar segera dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia, terutama ialah pangan. Fungsi pertanian selanjutnya adalah mendukung industri, sedang pembangunan industri, karena keterbatasan kemampuan kita harus bertahap. Dimulai dengan industri yang mendukung pertanian agar pertanian terjamin keberhasilannya. Tahap berikutnya adalah industri yang mengolah kekayaan alam yang masih merupakan bahan mentah menjadi bahan baku. Selanjutnya bahan baku menjadi barang jadi untuk memenuhi konsumsi rakyat dan ekspor. Selanjutnya diperlukan industri suku cadang, industri mesin, baik kecil maupun yang besar. dengan teknologi mutakhir.

Dalam Repelita I (1969-1974), kita melaksanakan pembangunan industri yang kita prioritaskan pada pembangunan industri yang mendukung sektor pertanian.

Dalam Repelita II (1974-1979), kita membangun industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

Dalam Repelita III (1979-1984), kita tingkatkan lagi, lebih mengutamakan pembangunan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan barang jadi.

Pola umum pembangunan jangka panjang dalam GBHN yang merupakan strategi pembangunan jangka panjang menggambarkan bahwa landasan masyarakat adil dan makmur itu bisa dicapai setelah melakukan lima sampai enam kali Repelita. Berkat hasil pembangunan sampai Pelita III, sudah dipastikan bahwa landasan itu bisa dicapai pada akhir Repelita V. Oleh karena itu, Repelita IV (1984-1989) ditentukan untuk membuat kerangka landasan, sedang Pelita V (1989-1994) memantapkan landasan. Sehingga, pada Repelita VI (1994-1999) dapat mulai diwujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dengan kekuatan sendiri yang kemudian dikenal dengan istilah tinggal landas.

APBN·1984/1985 mempunyai arti yang khusus dan sangat penting. APBN itu merupakan pelaksanaan tahun pertama Repelita IV yang merupakan pelaksanaan GBHN yang ditetapkan dalam Sidang Umum MPR tahun 1983.

Berdasarkan GBHN 1983 itu, hasil Repelita IV harus merupakan kerangka landasan bagi pembangunan nasional tahap berikutnya, yang setelah kita mantapkan kerangka landasan dalam Repelita V, itu akan memungkinkan bangsa Indonesia tinggal landas. memacu pembangunan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dalam Repelita VI. Karena itu, Repelita IV, Repelita V, dan Repelita VI merupakan satu rangkaian yang erat kaitannya satu dengan yang lain, setelah kita melaksanakan dan mempunyai pengalaman berharga dari pelaksanaan Repelita I, II, dan III. Karena itu, Repelita IV sampai dengan Repelita VI bukan saja merupakan kelanjutan dan peningkatan dari Repelita-Repelita sebelumnya, melainkan juga merupakan babak penting dan menentukan dalam perjalanan pembangunan nasional kita jangka panjang dalam mencapai sasaran-sasaran pembangunan di bidang ekonomi, politik, kebudayaan, hankam, dan sebagainya.

Saya melihat waktu itu, Repelita I, II, dan III telah mencapai banyak sukses awal dalam menuju tinggal landas di Repelita VI (1994-1999), sekalipun tentu saja kita telah menemukan kekurangan­kekurangannya dan kelemahannya. Melihat Repelita-Repelita itu, sungguh lebih gampang membicarakannya daripada melaksanakannya. Saya merasa betapa melelahkan perjuangan dan pergulatan di masa-masa itu, sementara keringat keluar dari seluruh badan saya dan rambut hitam menjadi cepat putih disebabkan oleh semua usaha itu menuntut tenaga dan pikiran yang tiada berhingga. Tetapi saya tidak mau menyerah dalam menghadapi tantangan-tantangan itu, dan saya tidak menyerah dalam melaksanakan harapan rakyat kita itu.

Dengan ini pun belumlah lagi akan berarti bahwa kita sudah berada dalam zaman adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kita baru akan berada dalam masa tinggal landas. Namun, walaupun kita berada dalam rangka membuat landasan, tahap-tahapan itu sekaligus sudah memperbaiki taraf hidup.

Ada yang mengatakan bahwa sampai sekarang masih ada kekurangan akibat pembangunan ini. Masih ada orang yang melarat, sementara di pihak lain sudah ada yang jadi kaya. Tetapi ini memang proses.

Kalau kita tidak mengambil kebijaksanaan demikian, misalnya terus langsung melakukan pemerataan, mana ada orang bermodal yang mau bekerja mati-matian tanpa melihat bakal untung banyak. Orang yang bermodal ingin menikmati keuntungan. Kalau hal itu juga yang kita laksanakan, langsung melakukan pemerataan, modal akan lari ke luar negeri.

Tetapi sekarang ini, dalam mempersiapkan landasan industri, kita anjurkan dan kita desak kaum bermodal untuk berpikir pula tentang orang lain. Kita akan berkata kepada mereka, “Kamu boleh dan ikut serta menanam modal, boleh menikmati hasilnya, tetapi yang didirikan itu sudah harus pula dinikmati oleh rakyat Indonesia.”

Umpamanya saja mengenai pabrik tekstil yang didirikan oleh satu orang atau beberapa orang. Dari usaha itu mereka mendapat keuntungan. Mereka kelihatan kaya. Dengan ini seolah-olah Indonesia dewasa ini membiarkan orang menjadi kaya sendiri.

Tetapi sementara itu, harap diingat, kebutuhan rakyat akan tekstil sudah terpenuhi. Namun besok dan selanjutnya, menghadapi rangka keadilan, kita tidak akan lagi membiarkan pemilik modal terus menikmati keuntungan itu secara sendirian. Saham-sahamnya itu nanti harus dijual kepada umum. Jadi, modal yang sekarang dimiliki hanya oleh satu atau beberapa orang saja, nanti akan dimiliki oleh masyarakat.

Tetapi belum sekarang. Sekarang ini (1986) masih belum mungkin.

***



[1]        Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 362-365.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.